Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJATINYA ekspansi bisnis dilakukan lewat mekanisme bisnis pula. Misalnya dengan mengakuisisi perusahaan lain atau melakukan investasi baru. Namun Lion Group memilih "jalan berbeda" dalam mengembangkan usaha.
Kelompok bisnis milik Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Rusdi Kirana ini menjajal bisnis baru menjadi operator Bandar Udara Halim Perdanakusuma dengan "menyingkirkan" PT Angkasa Pura II lewat jalur hukum. Cara kilat yang ditempuh Lion bermula dari putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Induk Koperasi TNI Angkatan Udara (Inkopau) dan Angkasa Pura II hengkang dari Halim. Pengelolaan bandara komersial di pangkalan militer TNI Angkatan Udara itu kemudian diserahkan ke PT Angkasa Transportindo Selaras, anak perusahaan Lion dan Inkopau.
Gugatan hukum terhadap hak pengelolaan Halim mulai dilakukan Lion, yang secara diam-diam bermitra dengan Inkopau, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 2010. Kontrak kerja sama yang sudah dikantongi membuat Lion merasa lebih berhak menjadi pengelola Halim. Setahun kemudian, gugatan itu dikabulkan majelis hakim. Pada tahap banding hingga kasasi, yang dibacakan Juli lalu, putusan itu tetap tidak berubah.
Timbullah sejumlah kerumitan. Sebab, 21 hektare lahan Bandara Halim untuk kegiatan komersial telah dikuasai Angkasa Pura II sejak 1992. Semua aset, seperti landasan pacu, apron, dan gedung, telah diserahkan ke perseroan dan dicatatkan sebagai penyertaan modal pemerintah.
Meski regulasi memungkinkan pihak swasta sebagai operator, semestinya Kementerian Perhubungan tidak serta-merta mengizinkan Lion menggantikan Angkasa Pura II. Apalagi sejumlah kejanggalan terkuak di balik kerja sama yang dirintis Lion pada 2006 itu. Misalnya, beredar kabar Lion beroleh hak eksklusif lewat "lobi-lobi" khusus dengan seorang pensiunan perwira tinggi TNI Angkatan Udara.
Putusan hukum yang memenangkan Lion juga mengandung kelemahan. Salah satu yang mencolok adalah legal standing yang dimiliki Inkopau dalam menjalin kongsi dengan Lion. Semestinya, menurut Undang-Undang Keuangan Negara, semua aset di Bandara Halim merupakan milik negara, yang hak dan kewenangannya berada di tangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. Artinya, kerja sama hanya boleh dilakukan Lion dengan Kementerian Keuangan, bukan dengan koperasi pegawai instansi pemerintah.
Kejanggalan lain, kerja sama itu dibuat dengan perusahaan yang belum memiliki izin badan usaha bandara. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah perusahaan yang tidak punya pengalaman mengatur berbagai kegiatan penerbangan komersial di sebuah ibu kota negara. Hak sebagai operator juga akan membuat Lion menguasai bisnis penerbangan dari hulu sampai hilir: sebagai maskapai dan pengelola bandara. Hak eksklusif ini berpotensi menabrak Undang-Undang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sekarang, ketika putusan in kracht sudah dikantongi Lion, Angkasa Pura II mesti bergegas mengajukan permohonan peninjauan kembali. Lemahnya posisi hukum Inkopau yang dijadikan pintu Lion untuk menggugat semestinya dipersoalkan. Apalagi, belakangan, Kementerian Keuangan menyatakan belum pernah memberi izin kepada Inkopau menyewakan aset negara di Bandara Halim. Pemerintah juga mesti lebih tegas mengatur pengelolaan aset milik negara. Tanpa itu, praktek gelap seperti di Bandara Halim ini akan langgeng dan berpotensi menjadi "model" bagi pengelola induk koperasi pegawai instansi pemerintah menjajakan aset negara kepada swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo