Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo semoga tak sedang kewalahan menahan tarik-menarik kepentingan politik dalam mencari Jaksa Agung. Waktu dua minggu sejak Kabinet Kerja diumumkan ternyata tidak cukup bagi Jokowi untuk menemukan pemimpin baru Gedung Bundar. Kesan lambat tak terelakkan. Kendati makan waktu, diharapkan terpilih figur ideal: berintegritas, kompeten, dan berani. Sosok Jaksa Agung mesti sanggup membawa kejaksaan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Sayang, sederet kandidat yang mencuat kurang memenuhi kriteria itu. "Orang dalam" seperti Widyo Pramono (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) dan Andhi Nirwanto (Wakil Jaksa Agung, yang juga Pelaksana Tugas Jaksa Agung) kompeten dan berpengalaman, tapi diragukan integritasnya. Mereka ditengarai mudah tersandera mafia perkara yang gentayangan di kejaksaan.
Prestasi kejaksaan selama ini pun masih jauh di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyidik KPK sering membongkar korupsi kelas kakap, sedangkan kejaksaan cuma mengusut yang kelas teri. Kejaksaan Agung mengklaim menyelamatkan uang negara Rp 402 miliar tahun lalu, sedangkan KPK, dengan postur jauh lebih kecil, mampu mengembalikan Rp 1,96 triliun pada periode yang sama.
Calon dari luar kejaksaan seyogianya menjadi prioritas. Alasan terpenting, calon eksternal lebih mudah menggulirkan reformasi kejaksaan. Namun nama yang beredar kurang bersinar. Ambil contoh Hamid Awaludin, bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dikenal dekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia sempat disorot lantaran diduga terlibat sejumlah kasus korupsi. M. Prasetyo, bekas Jaksa Agung Muda Pidana Umum, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem, jauh dari istimewa. Latar belakangnya sebagai orang partai membuat orang ragu akan independensinya.
Tinggal tersisa dua nama calon dari luar kejaksaan: Mas Achmad Santosa (mantan pelaksana tugas pimpinan KPK dan mantan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum) serta Muhammad Yusuf (Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Integritas keduanya lebih dari baik dibandingkan dengan calon lain. Bedanya, Yusuf berpengalaman bekerja di lingkungan kejaksaan, sementara Mas Achmad benar-benar murni dari luar kejaksaan.
Presiden Jokowi bisa mempertimbangkan kedua calon itu. Mereka barangkali tidak sekokoh Baharuddin Lopa, yang pernah memimpin kejaksaan kendati hanya sebentar, tapi rekam jejak keduanya tergolong bagus. Untuk lebih meyakinkan Presiden, seharusnya calon Jaksa Agung juga diverifikasi KPK dan PPATK, seperti para menteri.
Jokowi semestinya paham, figur Jaksa Agung akan menunjukkan keseriusannya memerangi korupsi, seperti janjinya dari panggung kampanye. Apalagi, dalam penentuan Jaksa Agung, Presiden berwenang penuh. Pemimpin Gedung Bundar merupakan satu-satunya posisi penting di lingkungan lembaga peradilan yang pengangkatannya tidak harus mendapat persetujuan DPR.
Kalaupun ada tarik-menarik kepentingan, yang membuat penentuan Jaksa Agung belum juga rampung, itu tentu datang dari lingkaran kekuasaan Presiden sendiri. Satu ujian lagi untuk kepemimpinan Jokowi. Jika sungguh ingin memberantas korupsi, semestinya ia mendorong kejaksaan ikut menangani agenda penting itu. Selama ini KPK terkesan bertempur "sendirian", sembari terus "diusik" kalangan politikus Senayan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal membenahi kejaksaan karena ia tak mampu memilih Jaksa Agung yang tepat. Jokowi semestinya tak mengulangi kesalahan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo