Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Simbiosis Mutualisme PDIP dan Jokowi

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi menjadi partai politik kedelapan dan mengajukan Joko Widodo sebagai calon presiden untuk Pemilihan Umum 2019.

26 Februari 2018 | 06.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Panitia Pengarah Rakernas Prananda Prabowo dan Ketua Bidang Politik dan Keamanan PDIP Puan Maharani saat penutupan Rakernas III PDIP di Sanur, Denpasar, Bali, 25 Februari 2018. Rakernas memutuskan mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia tahun 2019-2024. Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi menjadi partai politik kedelapan dan mengajukan Joko Widodo sebagai calon presiden untuk Pemilihan Umum 2019. Dalam studi ilmu politik, perilaku PDIP mencalonkan orang yang bukan dari lingkaran dalam partai itu dapat disebut sebagai presidentialized party.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Studi-studi mengenai presidentialized party memberi titik tekan yang berbeda-beda. Samuels (2002) tertarik pada insentif yang diterima partai politik dengan presidensialisme. Poguntke dan Webb (2005), Shugart dan Samuels (2005), serta Ufen (2017) berfokus pada dampak presidensialisasi terhadap perilaku partai dan elitenya. Adapun Kawamura (2013) mempertanyakan mengapa tidak semua partai di Indonesia mengalami presidensialisasi. Studi terbaru dari Alhamid dan Perdana (2018) menangkap fenomena pencalonan Jokowi pada Pemilu 2014.

Pencalonan Jokowi sebagai presiden pada 2014 bukan sesuatu yang bisa diterima dengan logika umum. Partai lainnya, seperti Partai Demokrat dan Partai Gerindra, mencalonkan ketua umumnya dalam ajang sebesar pemilihan presiden. Selain itu, figur Megawati begitu kuat di partai berlambang banteng moncong putih tersebut. Sebagai akibatnya, keputusan pencalonan Jokowi saat itu juga bukan tanpa riak. Di internal PDIP ada kelompok yang setuju dan tidak setuju (Alhamid dan Perdana 2018).

Nyatanya, menjelang pemilihan presiden 2019, pola yang sama dipakai kembali. Padahal Jokowi bukan berasal dari trah Sukarno. Ada Puan Maharani atau keturunan Bung Karno lainnya yang juga telah terjun ke politik praktis. Selain itu, Jokowi dalam sejumlah kesempatan sering disebut sebagai "petugas partai". Hal ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi bukanlah orang dalam PDIP. Lantas, mengapa strategi mencalonkan Jokowi kembali dipakai oleh PDIP? Saya berpandangan bahwa perilaku PDIP ini disebabkan oleh dua hal: desain sistem kepemilihanumuman dan sosok Jokowi yang "sukses" membangun daya tawar politik.

Dalam teori ilmu politik, ada beberapa variabel yang ditengarai menjadi musabab terjadinya presidentialized party. Variabel pertama adalah sistem kepemilihanumuman. Poguntke dan Webb (2005) berpendapat bahwa presidensialiasi partai salah satunya disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang memberi penekanan pada figur pemimpin, khususnya di lembaga eksekutif dan partai politik. Shugart dan Samuels (2010) berpendapat kurang-lebih sama. Hanya, Shugart dan Samuels lebih suka mengaitkan hal itu sebagai akibat dari pemisahan kekuasaan. Sebab kedua adalah faktor figur. Poguntke dan Webb (2005) dan Ufen (2017) menyebutkan bahwa, dalam terbentuknya presidentialized party, terdapat faktor figur pemimpin yang berperan besar di dalamnya.

Pertama, terkait dengan desain sistem kepemilihanumuman. Pemilihan presiden dengan menggunakan sistem suara terbanyak mendorong partai politik wajib mengedepankan faktor popularitas dan elektabilitas figur calon presiden. Meskipun ada yang menyebut keterpilihan Jokowi belum sepenuhnya aman, namun sampai Januari 2018, menurut beberapa lembaga survei, dia diprediksi akan meraih suara terbanyak. Ditambah lagi, calon lain, Prabowo Subianto, diprediksi terlalu jauh jarak elektabilitasnya dengan Jokowi (berkisar 17-25 persen). Pada saat yang sama, di internal PDIP belum ada calon alternatif yang mendekati, setara, atau lebih tinggi elektabilitasnya dibanding Jokowi.

Penjelasan lainnya adalah PDIP berharap adanya efek positif dari adanya efek ekor jas (coattail effect). Seperti Pemilihan Umum 2014, diyakini ada pengaruh relatif besar dari pencalonan Jokowi terhadap meningkatnya perolehan suara dan kursi PDIP di DPR.

Kedua, figur Jokowi juga relatif berhasil membangun daya tawar di mata banyak partai, terutama PDIP. Ada simbiosis mutualisme yang terbentuk di antara keduanya. Di satu sisi, Jokowi sadar bahwa dia bukan ketua partai dan butuh PDIP untuk tiket mencalonkan diri. Pada saat yang sama, Jokowi juga sadar bahwa PDIP tidak akan mau memberi tiket secara cuma-cuma. PDIP perlu diyakinkan oleh Jokowi. Elektabilitasnya, yang sejauh ini paling tinggi, merupakan salah satu yang dia ditunjukkan. Citra "berhasil" membangun infrastruktur merupakan poin lainnya. Jokowi juga relatif akomodatif terhadap PDIP dengan memberi kursi, baik di kabinet maupun memuluskan jalan diberikannya kursi pimpinan DPR.

Di sisi lain, PDIP juga memerlukan Jokowi untuk mengerek perolehan suara mereka dalam pemilihan legislatif 2019. Kaitan antara perilaku presidentialized party dari PDIP dengan sistem pemilihan umum di Indonesia dan faktor figur sejalan dengan apa yang dimaksudkan Poguntke dan Webb (2005) serta Ufen (2017).

Pada akhirnya, hubungan saling menguntungkan antara PDIP dan Jokowi dalam pencalonan Jokowi sebagai presiden merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Hal itu terjadi tak lain akibat dari sistem kepemilihanumuman dan menguatnya figur Jokowi di mata PDIP.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus