Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemilihan Umum telah merusak kepercayaan dengan hasil Pemilu 2024 yang semestinya mereka jaga. Sederet praktik lancung dan kekisruhan terjadi di semua tingkatan, dari awal pemilu, pemungutan suara, hingga rekapitulasi. Akibatnya, keabsahan hasil pemilu pada 14 Februari lalu ini patut dipersoalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, keraguan atas legitimasi pemilu sudah muncul akibat sepak terjang KPU dalam mengelola penyelenggaraan pemilihan. Pada tahap permulaan, misalnya, pejabat KPU pusat memerintahkan pengurus komisi pemilihan daerah meloloskan partai yang tak memenuhi syarat. Sedangkan saat pemungutan suara, muncul berbagai laporan soal adanya surat suara yang sudah tercoblos.
KPU baru-baru ini juga menghentikan rekapitulasi di tingkat kecamatan dengan alasan menyinkronkan data yang tercatat pada Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dengan formulir C yang memuat perolehan suara di tempat pencoblosan. Ada kejanggalan dan kekeliruan dalam aplikasi pencatatan suara milik KPU itu. Beberapa sampel di tempat pemungutan suara memperlihatkan adanya penambahan suara untuk pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sirekap bukan alat hitung utama yang menentukan hasil Pemilu 2024. Hasil resmi pemungutan suara tetap ditentukan lewat rekapitulasi berjenjang dari tingkat kecamatan hingga nasional. Itu sebabnya kerancuan dalam pengolahan data pada sistem aplikasi Sirekap semestinya tak sampai menyetop rekapitulasi manual di sebagian besar kecamatan yang sedang berjalan. KPU dapat memakai formulir model C yang memuat hasil pencoblosan serta ditandatangani para saksi.
Baca Liputannya:
Aplikasi Sirekap memang hanya alat bantu pencatatan suara. Namun sistem itu merupakan bagian dari akuntabilitas dan transparansi KPU dalam menyelenggarakan pemilihan, khususnya penghitungan dan pencatatan suara. Ia menjadi salah satu sarana bagi publik agar memiliki akses untuk mengawasi hasil pemilu. Sebab, potensi kecurangan, seperti penambahan suara serta perpindahan suara antarpartai dan antarcalon legislator dalam satu partai sangat besar terjadi pada tahap rekapitulasi, khususnya di level kecamatan.
Langkah KPU menghentikan rekapitulasi karena kekacauan Sirekap patut menimbulkan wasangka. Keputusan itu disinyalir untuk mengakali perolehan suara peserta pemilu. Dengan persaingan Pemilu 2024 yang sengit, KPU harus menyelidiki, menyelesaikan, dan mengumumkan hasil pemecahan masalah Sirekap kepada publik agar tak menimbulkan gejolak.
KPU mesti sesegera mungkin melanjutkan proses rekapitulasi manual berjenjang di tingkat kecamatan yang sempat dihentikan. KPU menghadapi tenggat yang telah ditentukan untuk pencatatan suara di level kecamatan, yang harus tuntas pada 2 Maret mendatang. Keterlambatan rekapitulasi di tingkat paling bawah hampir pasti berimbas pada jenjang berikutnya. Jangan sampai pemecahan masalah Sirekap justru menghambat rekapitulasi manual bertingkat yang akan dipakai sebagai rujukan resmi hasil Pemilu 2024.
Tanpa penyelesaian yang sungguh-sungguh, berbagai kejanggalan dalam setiap tahapan pemilu akan makin menjatuhkan legitimasi penyelenggaraan dan hasil pemungutan suara. Pemilu yang tak demokratis—yang diwarnai berbagai kecurangan dan kekisruhan—hanya akan menghasilkan pemimpin yang tak kredibel.