Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

SMS

14 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irfan Budiman *
*) Wartawan

TELEPON seluler saya berbunyi. Sebaris pesan pendek masuk. Isi pesan itu: ”Posi2 dmn boz?”

Dengan lahirnya era Internet, telepon seluler, dan chat (berbincang melalui Internet), lahir pula lalu lintas pesan singkat, dengan bahasa yang tidak lazim, bahkan cenderung ”memberontak” dari tata bahasa Indonesia. Namun pesan dari teman kerja yang memang usianya jauh di bawah saya ini cukup membingungkan. Sedang bertanya soal apakah dia? ”Posi2” (dalam pola umum begitu kan dibaca ”posi-posi”), siapakah dia? Apakah ini nama binatang peliharaan?

Setelah lama kebingungan, akhirnya saya paham. ”Posi2” yang dimaksud ternyata posisi atau lokasi. ”Ktr. watzup bro?” balas saya mencoba menandingi gayanya.

SMS atau short message service adalah media mutakhir yang ikut mempengaruhi bahasa di masyarakat kita. Sebelumnya, pada 1980-an, radio komunikasi meramaikan istilah baru dalam perbincangan. Farid Hardja, penyanyi kondang, saat itu membuat lagu Bercinta di Udara yang memakai idiom percakapan radio komunikasi ini.

Pengaruhnya luar biasa. Sampai sekarang, satu-dua kata yang berasal dari kebiasaan ngebrik itu masih ngendon. Di antaranya ”kopdar” alias kopi darat buat menyebutkan istilah untuk bertemu secara fisik. Sisa istilah yang masih populer, setidaknya dari pria usia 40-an tahun, antara lain ”YL” yang diucapkan ”wai el” yang berarti young lady, untuk menyebutkan wanita muda.

Pada akhir 1990-an, awal era chatting dan electronic mail, lagi-lagi muncul berbagai istilah yang tanpa disadari ikut masuk perbincangan sehari-hari. Kata ”japri” alias jalur pribadi, yang berarti komunikasi khusus antara si pengirim dan penerima e-mail, menclok dalam perbincangan sehari-hari.

Dengan pentingnya peran SMS sebagai alat pengirim pesan tercepat, berbagai istilah komunikasi yang baru ikut lahir dan populer.

Pemakaian singkatan serta penggunaan lambang-lambang perasaan atau emoticons bercampur aduk dengan bebas.

Ini bisa dimaklumi. Pesan pendek adalah layanan yang melekat pada telepon seluler. Pada awal kelahirannya, dengan kapasitas yang terbatas, pengatur kebijakan harus menetapkan jumlah karakter yang resmi dalam layanan ini.

Adalah Friedhelm Hillebrand, yang pada 1986 duduk menjadi ketua layanan non-voice dalam jaringan Global System for Mobile Communications (GSM). Dialah yang menetapkan jumlah karakter untuk tiap pesan pendek, yaitu 160 karakter. Jumlah ini mengacu ke maksimal huruf dan spasi pada dua baris kata yang ditulis di mesin ketik. Penemuan Hillebrand itulah yang disepakati sebagai jumlah karakter dalam telepon seluler hingga sekarang. Temuan ini pun dikenal sebagai magic number.

Keputusan itulah yang mempengaruhi bahasa dalam pesan pendek di seluruh dunia. Namanya juga pesan pendek. Apalagi karena ada tarif untuk setiap pengirimannya. Alhasil, kreativitas pun sangat dibutuhkan. Sebab, untuk berkomunikasi tertulis, Anda dibatasi tarif.

Apa yang terjadi di sini sebenarnya hanyalah ekor dari perkembangan serupa yang terjadi di luar negeri. Di negara-negara berbahasa Inggris, bahasa SMS pun mengalami perkembangan yang tidak pernah dibayangkan.

Kata-kata ”FYI” dan ”IMHO” hanyalah sedikit dari kumpulan kata baru. Selain itu, masih banyak, misalnya ”M$ULkeCrZ” (miss you like crazy!), ”M8” (mate), ”CMIIW”, untuk menggantikan ”correct me if I'm wrong”, dan ”JstCllMe”, untuk kalimat ”just call me” yang berarti seseorang minta ditelepon.

Bahasa pesan pendek di Indonesia tak hanya menggunakan singkatan dari bahasa asing, tapi juga dari bahasa sehari-hari, yang hanya dipahami mereka yang menggunakannya. Penggunaan bahasa SMS di Indonesia tak memiliki pola yang jelas. Terkadang ada yang mengganti huruf dengan angka. Ada pula yang gemar menggabungkan huruf dalam ejaan bahasa Inggris untuk menggantikan bahasa Indonesia.

Ini contohnya: ”4” untuk ”a”, ”5” untuk ”s” , ”0” untuk ”o”, dan seterusnya. Itu sebabnya huruf vokal pun banyak yang hilang entah ke mana. Lainnya, muncul pula kombinasi huruf dan angka: ”s4” untuk kata ”sempat” atau ”t4” untuk kata ”tempat”. Ada juga ”c2” yang diucapkan sesuai dengan ejaan bahasa Inggris. Artinya? ”Situ”. Lihat kalimat kreatif ini: ”ok g k c2”, yang berarti ”oke gue ke situ”.

Itu belum seberapa. Ada lagi kata-kata yang lazim di kalangan mereka, seperti sotoy untuk ”sok tahu” yang kemudian ditulis ”sty”; lalu pw untuk ”posisi wuenak”. Bingung?

”k0q gt az bngng?” Seorang remaja perempuan mengirimkan pesan pendek ke ponsel saya (maksudnya: ”kok gitu saja bingung?”). Bagi mereka, bahasa jenis ini bagian dari identitas mereka: bahasa gaul. Gaya bahasa ini juga muncul dalam catatan harian, entah di buku, blog, atau situs jaringan pertemanan.

Barangkali benar juga, kita tak perlu bingung, apalagi ketakutan. Anggap saja ini hanya tren yang akan hilang. Di masa lalu, pesan pendek dilakukan melalui telegram, dan kita juga selalu berulang-ulang membacanya agar bisa memahaminya.

Mungkin saja seperti telegram yang kemudian hilang, gaya bahasa pesan pendek ini bisa mengalami hal serupa. Yang jelas, sampai saat ini mereka masih menjawab pertanyaan di kertas ulangan sekolah atau kampus dengan kalimat yang jelas, dan bisa dipahami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus