Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soal pengeras suara: tak seperti ditulis ali audah

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tulisan "Tentang Suara Keras Itu" (TEMPO, 22 Desember 1990, Kolom) mengesankan bahwa "suara keras" dari azan kini merupakan persoalan yang amat serius, bak miniatur krisis Teluk saja. Sayangnya di situ tidak dijelaskan di tempat mana persisnya pelantunan azan itu dipersoalkan. Setahu saya, di beberapa kota seperti Yogyakarta, Medan, Padang, Denpasar, Ujungpandang, Palu, dan Solo, tidak terdengar permasalahan itu. Lebih-lebih di kampung atau di desa-desa, boro-boro "berlomba" atau "perang suara", masjid saja pun mereka belum punya. Dan tentunya pula tidak semua masjid dan musala memasang pengeras suara untuk mengumandangkan azan, salat, membaca Quran, berzikir, salawat, ceramah, dan sebagainya, sebagaimana yang ditulis. Masjid dan musala di bawah koordinasi DDI, Muhammadiyah, Persis, dan Al-lrsyad, misalnya, jelas tidak mengumandangkan berzikir, salawat, dan terhim. Di samping itu, di banyak masjid kampung dan desa, pesawat pengeras suaranya juga digunakan untuk kepentingan kemasyarakatan. Misalnya mengumandangkan pengumuman tentang kerja bakti. Lalu, di manakah letak mengganggunya suara keras itu? Memang benar, ada beberapa alasan yang membedakan penggunaan pengeras suara antara di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan masjid lain di sekitarnya. Tapi tidak seperti yang ditulis Ali Audah itu. Di Mekah dan Medinah azan dan qamat tak dikumandangkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saja, tapi juga di masjid lainnya, bahkan dilagukan dengan berpanjang-panjang. Karena itu, barangkali, bila ada masjid di Indonesia yang mencoba mengikutinya, itu bisa dimaklumi. Bahkan di beberapa daerah, muazin sering juga disebut bilal, sahabat Rasulullah saw. Nabi memilih Bilal sebagai muazin bukan hanya karena suaranya lebih merdu, tapi justru karena ia bersuara keras. Bagaimanapun juga, Indonesia jelas bukan Mekah dan Medinah, juga bukan Roma, sehingga "suara keras" itu tentunya tidak perlu ditanggapi dengan "suara keras" pula. Barangkali ada yang merasa terganggu dengan "suara keras" itu, seperti "hati nurani" calon manipulator, calon pemasang SDSB, atau mungkin juga para pelajar muslim yang bersekolah swasta non-muslim, yang tak dapat memenuhi panggilan "suara keras" itu untuk menunaikan salat Jumat. Nah, bagaimana, Bung Ali Audah, tentang terakhir ini? MUHAMMAD HIDAYAT NUR WAHID PO BOX 10111 Al-Jamiah al-lslamiyyah Medinah Arab Saudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus