Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Iklan asing di televisi: menyinggung perasaan nasionalisme

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tulisan "Harus Menunggu sampai Indonesia Mampu" (TEMPO, 19 Januari 1991, Media) yang memaparkan dialog segi tiga (Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film (RTF) RCTI Biro Iklan) sangat menarik untuk dibahas. Apalagi di antara iklan itu banyak kaitannya dengan program "Visit Indonesia Year 1991". Ungkapan Dirjen RTF dapat dijadikan "sinyalemen" bagi mereka yang bergerak di bidang periklanan. Sebenarnya, Sdr. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, yang lebih tepat menangani masalah periklanan ini, yang dalam tugasnya juga membina badan-badan seperti PWI, SPS, SGP, dan P3I. Namun, karena pembahasan menyangkut iklan dalam tayang televisi (RCTI) "sinyalemen" Bung Alex itu juga perlu diperhatikan dunia periklanan kita. Dialog segi tiga itu saya anggap juga dapat membahas iklan-iklan yang dikatakan TEMPO "asal jadi saja", yang antara lain dapat menyinggung perasaan nasionalisme kita. Sebagai contoh saya mensinyalir dua buah iklan yang saya kategorikan secara tak langsung menyinggung perasaan nasionalisme bangsa kita. Kedua iklan itu adalah "adegan dalam andong" dan "adegan dalam taman". Iklan yang terakhir pernah ditayangkan di RCTI dengan menampilkan seorang pemuda Indonesia dan dua orang turis asing sedang duduk santai di atas bangku di taman. Ketika pasangan orang asing itu berdiri untuk berlalu, tanpa sengaja sebuah barang mereka tinggal di bangku. Barang tersebut dilihat oleh pemuda Indonesia sambil berpikir, tentulah barang tersebut milik pasangan asing itu. Dengan berpikir "jernih dan jujur", pemuda itu memungut barang tersebut sambil menuju ke arah pasangan asing itu dan menyerahkan barang tersebut. Dengan melambaikan tangan, pasangan turis asing meneruskan perjalanan meninggalkan sang pemuda, yang telah berhasil mendemonstrasikan keramahan bangsa Indonesia. Ditinjau dari segi psikologis, saya setuju saja mendidlk masyarakat dengan cara di atas. Tapi janganlah mengesampingkan cara-cara yang berbobot dan edukatif. Kalau hanya lapisan "orang awam" yang akan dituju, maka dikhawatirkan kita akan terbentur pada apa yang diperingatkan Sdr. Dirjen RTF di atas. Iklan "adegan andong" tak jauh berbeda dengan adegan "pemuda di taman". Pak kusir menyerahkan suatu barang kepada penumpang turis suami-istri juga menampilkan "kejujuran" bangsa Indonesia. Agent of persuasion yang lemah, jika itu tidak dikatakan "primitif", terbayang dalam kedua iklan tersebut. Itu kalau ditinjau dari segi ilmu komunikasi. Hal demikian tentu tidak diinginkan oleh pihak pemesan dan pembuat iklan, apalagi bagi instansi yang bergerak dalam mempromosikan "VIY 1991". Sambil mengimbau kedua iklan tersebut ditarik dari peredaran, saya juga mengharapkan P3I turut lebih giat membenahi bidang yang dibinanya, agara kita terhindar dari hal-hal yang negatif. H.J. SIRIE Pengadegan Barat IV/12 Pancoran Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus