''Di tempaaat, siap!'' Dan para siswa-siswi yang dari tadi duduk di kursi makan menghadap ransum masing-masing itu pun bersikap siap di tempat. Sambil duduk, anak-anak berseragam biru muda ini membusungkan dada. Mata mereka melihat lurus ke depan. Tangan jatuh di samping badan, jemari menggenggam, di samping dudukan kursi. Mereka menunggu aba-aba selanjutnya. Itulah bagian dari upacara baku yang harus mereka ikuti sebelum makan. Begitu ''komandan makan'' selesai dengan aba-aba ''hap'' dan ''grak''-nya, dengan bersemangat mereka berucap berbarengan. Keras, lugas, serempak: ''Selamat makaaan!'' Dan satu per satu sendok dan garpu pun dipegangnya secara tertib. Bahkan urut-urutan, menuang air minum, mengeduk nasi dan menyantap sayur dilakukan nyaris baku. Tangan-tangannya sangat tertib dan piawai memainkan sendok dan garpu. Table manner mereka itu jelas menyimpang dari budaya makan Tapanuli. Bahkan ketika mengais daging yang ada di sela potongan sayap ayam pun mereka pantang melepaskan sendok dan garpunya. Mereka duduk bercampur laki dan wanita, berselang-seling di tiap meja. Untuk Desa Soposurung, Balige, Sumatera Utara, ketertiban makan dan kemampuan menghilangkan riuhnya mulut mengunyah makanan itu memang menakjubkan. Celoteh canda, yang biasa ditemukan dalam komunitas remaja, hilang dari arena ruang makan yang sangat tertib itu. Itulah civility baru yang membuat saya takjub. Memang. Para alumni SMAN Balige yang pernah menjadi kebanggaan Tapanuli Utara ini mengungkapkan keprihatinannya dengan bertindak konkret. Mereka turun tangan sumbangsurung buat SMA almamaternya. ''Bagaimana tidak prihatin?'' kata Jenderal T.B. Silalahi memulai penjelasannya. ''Tahun 1950-an SMA ini bisa meloloskan tamatannya diterima di ITB rata-rata 7 orang per tahun, padahal SMA Teladan Medan saat itu hanya bisa memasukkan 3 orang saja setahun di antara lulusannya ke center of excellence yang ada di Bandung itu. Tetapi pada tahun 1980-an, jangankan ITB, di Universitas Sumatera Utara saja lulusan SMAN Balige sebelum era Soposurung, hampir tidak ada yang terbawa. Memprihatinkan,'' kata Ketua Yayasan Soposurung, yang sekarang adalah Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, itu memulai penjelasannya. Maka, jenderal yang sangat dinamis dan berkesadaran nasional sangat tinggi ini pun lantas menghimpun teman, adik lulusan, dan kawan sekampung dari Desa Soposurung. Kumpul punya kumpul, terhimpun Rp 1 miliar. Itulah modal awal untuk investasi fasilitas pendidikan menengah atas ''ultramodern'' untuk ukuran Soposurung, bahkan juga Indonesia itu. Sekarang pun, untuk mempertahankan penyelenggaraan lembaga pendidikan menengah terkemuka ini tiap bulan harus bisa disediakan Rp 12 juta. Angka itu untuk biaya bagi 120 siswa terpilih dari sekitar 8.000 lulusan 123 SMP yang ada di sekitar Balige. Mereka itu terdiri dari tiga kelas, masing-masing 40 orang, yang lulus seleksi akademis dan psikologis. Di lembaga pendidikan menengah atas yang penyelenggaraannya ditunjang oleh Yayasan Soposurung ini ada asrama siswa putra dan putri ada laboratorium komputer sumbangan pengusaha nasional terkemuka dari kampung itu, keluarga T.D. Pardede ada laboratorium bahasa, dengan instruktur dari London, yang mengajarkan bahasa Inggris dengan aksen Victorian yang kental. Ada kolam renang, yang airnya mengalir terus-menerus tanpa henti dari pancuran alam. Ada lapangan olahraga. Ada monumen makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja, yang bisa dijadikan acuan untuk menggembleng semangat cinta tanah air para siswa. Sebentar lagi lembaga ini akan dilengkapi dengan gelanggang remaja, hadiah dari Menristek B.J. Habibie, yang sangat terpesona pada upaya rekannya, meningkatkan mutu pendidikan, menyambut dekade-dekade sumber daya manusia Indonesia. Tatkala Jenderal Silalahi meminta tanggapan saya mengenai lembaga pendidikan yang sangat dia banggakan itu, saya terperangah. Apa yang bisa diusulkan lagi, setelah semua begitu baik terselenggara? Tetapi karena Silalahi tulus, saya mesti memberikan pendapat saya secara jujur pula. Pertama, pada tingkat kelayakan seperti apa pendekatan penyelenggaraan pendidikan bisa mempertahankan imbangan yang pas, antara terbangunnya disiplin dan terpeliharanya potensi kreativitas? Di meja makan itu ada Ekonom Pande Raja Silalahi dan saya. Common sense kami otomatis mengajak mencomot potongan daging ayam dan menyantapnya dengan tangan yang sudah dibasuh di air cawan. Karena tidak ada pisau. Perilaku ''barbar'' saya itu sama sekali tidak menggoyahkan siswa-siswi yang berdisiplin tinggi itu. Padahal kelak dalam masyarakat mereka akan ketemu realitas disiplin yang tidak sama dengan standar disiplin yang dibangun dan ditegakkan di sekolahnya. Sebagai pemimpin, apakah kelak mereka akan menuntut masyarakat berstandar disiplin seperti dirinya? Mampukah mereka membangun pemahaman dan toleransi pada potensi akal sehat dari para konstituensinya yang minta tempat untuk diakomodasi? Bukankah peradaban akan berkembang menurut alur budi, suara nurani, serta dampak interaksi yang makin intensif dan manusiawi dari lingkungannya? Kedua, bagaimana kita mempertanggungjawabkan dimensi ambegparamarta proyek percontohan ini pada komunitas sekitar Soposurung, bahkan di Balige atau untuk seluruh Sumatera Utara? Hari itu banyak sekali anak-anak, orang tua dari lapis sosial rentan, yang tampak mengelu-elukan para cream de la cream calon pemimpin masyarakatnya. Tetapi mereka adalah lapis masyarakat yang, jauh dari mimpi, bisa masuk lembaga pendidikan Taruna Nusantara ala Soposurung itu. Anaknya mungkin memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Tetapi mereka itu secara struktural, terhalang bisa termasuk di antara yang terbaik di sekolahnya. Ada yang karena di rumah mereka harus membantu orang tua berladang. Atau karena tidak ada lampu listrik atau buku pelajaran yang diperlukan. Dan kesadaran akan posisi sosial keluarganya yang rentan menyebabkan upaya giat belajar dan berambisi maju terhalang. Yayasan Soposurung pasti tidak ingin melahirkan elite sosial yang komitmennya tercabut dari akar budaya masyarakat dan lingkungannya: elite yang memaling dari kasih dan hormat pada bapak borunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini