SATU-satunya persamaan hak manusia sedunia sejak zaman dahulu, konon, paling nyata dalam urusan buang air besar. Apakah dia kaya atau miskin, apakah dia itu raja atawa cuma badutnya, tentu orang bakal sama terbirit ke belakang jika tiba waktunya. Menurut majalah The Economist, terbitan Inggris, 10 April lalu, ihwal buang hajat akan dibahas dalam Simposium Toilet Internasional bulan Juni depan di Kobe, Jepang. Negeri Sakura itu menaruh perhatian besar pada urusan kamar kecil tempat yang amat pribadi, ketika orang ingin menikmati kesendirian tanpa diusik. Dan sejak tahun 1985 di sana berdiri Asosiasi Toilet Jepang. Anggota asosiasi ini dilukiskan sebagai ''paduan sukarelawan yang terdiri atas para peneliti, arsitek, pejabat pemerintah, pabrik toilet, pengusaha sanitasi dan angkutan, serta para warga negara Jepang yang punya pengabdian total terhadap toilet''. Asosiasi ini juga menyayangi apa yang dijuluki dengan budaya toilet, sehingga melahirkan Hari Toilet Nasional, dan mereka telah menyelenggarakan simposium delapan kali. Mereka mendorong terjadinya perubahan. Dulu rakyat Jepang hanya mengenal WC jongkok, sementara kini mereka disodori dengan aneka model kloset yang nyaman diduduki. Juga, warna yang selama ini serbaputih sudah dianggap kedaluwarsa. Bahkan jenis pelayanan teknisnya pun kian elite. Misalnya, untuk musim dingin, disediakan penghangat di tempat duduknya, semprotan air berpompa jet, dan angin hangat untuk pembilas serta pengering pants. Trik lainnya adalah dengan menyediakan kotak suara. Pencet tombolnya, maka dari situ keluar bunyi air menyemprot. Sound effect ini kayak film saja ternyata penting peranannya, terutama untuk menutup malu kalangan wanita, yang konon sering merasa risih dengan suitan pipisnya sendiri. Selain itu, ya, untuk membikin saru bunyi plung atawa brebet-brebet ketika orang beol alias buang hajat. Budaya toilet Jepang ini lalu menjalar ke luar negeri. Misalnya, dua tahun silam para pemuka Kota Hong Kong telah minta petunjuk khusus mengenai ihwal kakus umum ini dari Jepang. Dan di Eropa, sebuah lembaga terkait mendirikan Asosiasi Toilet Perancis. ''Hidup di planet ini adalah memelihara dua proses fundamental: makan dan buang hajat,'' begitu bunyi catatan mutakhir dari asosiasi tersebut. Namun, di antara keduanya, ternyata ada ketimpangan. Maksudnya, mungkin, jika dalam urusan makan orang bisa mendirikan aneka restoran nyaman dan mewah, kenapa untuk urusan buang hajat tidak? Maka, dengan nada cemas, asosiasi itu mengecam dunia yang masih belum kunjung menyadari keadaan kakus umum dewasa ini serta pentingnya melakukan perubahan. Tampaknya, Jepang memang ingin merajai dunia, bukan hanya dalam urusan makan atau pemasukan, tapi juga untuk urusan pengeluaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini