Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sengkarut Layanan Aborsi Aman

Perempuan korban pemerkosaan tidak dapat mengakses layanan aborsi meski sudah diatur undang undang. Perlu harmonisasi aturan.

29 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAK melakukan aborsi bagi perempuan korban kekerasan seksual di Indonesia masih jauh panggang dari api. Banyak perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan tak bisa menggugurkan kandungannya, meski undang-undang memberikan ruang untuk itu. Ketidakpahaman aparat penegak hukum dan tenaga kesehatan berkontribusi pada gagalnya negara melayani hak perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Data dari Good Mention Institute pada tahun lalu memperkirakan isu kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia antara 2015 dan 2019 sebanyak 40 persen. Di Indonesia—berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—terdapat 200 juta kehamilan per tahun dengan 75 juta kehamilan atau 30 persen merupakan kehamilan yang tidak diinginkan. Artinya ada jutaan perempuan yang tak bisa mengakses layanan aborsi secara legal, meski punya hak untuk itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca: Belum Aman Layanan Aborsi Aman

Laporan khusus Koran Tempo bersama dua media alternatif, Konde.co dan Project Multatuli, yang dirilis dua hari lalu menemukan begitu banyak kasus penolakan aborsi dari lembaga pelayanan kesehatan dan polisi di berbagai pelosok negeri. Padahal perempuan yang mengajukan permohonan aborsi jelas-jelas korban pemerkosaan dan usia kehamilan pun belum lewat 40 hari. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dua hal itu memenuhi syarat untuk pelaksanaan aborsi secara legal. 

Koran ini menemukan sebuah kasus di Jombang, Jawa Timur, pada Juli 2021 ketika seorang anak, 12 tahun, yang menjadi korban pemerkosaan tidak bisa menggugurkan kandungannya meski jelas-jelas kehamilan itu akan menambah trauma korban. Polisi setempat menolak permohonan aborsi dengan alasan tidak ada prosedur untuk penerbitan surat keterangan yang diminta. Padahal, tanpa surat itu, tidak ada petugas kesehatan yang mau melayani permohonan aborsi yang diajukan korban. Lebih-lebih, tidak ada satu pun fasilitas kesehatan yang ditunjuk resmi sebagai penyedia layanan aborsi aman bagi korban. 

Kehamilan yang tidak diinginkan pasti menambah trauma psikologis bagi perempuan korban pemerkosaan. Trauma tersebut juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Karena itu, negara wajib menyediakan layanan aborsi yang legal secara hukum dan aman secara medis bagi mereka. 

Masalahnya, sejumlah peraturan di Indonesia juga masih tumpang tindih soal pengaturan aborsi legal dan aman ini. Di satu sisi, pemerintah tampaknya menyadari bahwa kehamilan akibat pemerkosaan dapat mengakibatkan trauma psikologis bagi perempuan dan bayinya. Namun, di sisi lain, peraturan pelaksana untuk layanan aborsi ini tak disediakan. Walhasil, sampai pekan ini, tak ada klinik atau rumah sakit yang mendapat penugasan untuk melaksanakan aborsi secara legal.

Padahal ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Sampai saat ini, regulasi itu tidak berjalan optimal. Buktinya, tidak banyak pelatihan untuk tenaga medis agar mereka segera tersertifikasi dalam memberikan layanan aborsi. Selain itu, daftar fasilitas kesehatan yang bisa menjadi tempat rujukan untuk kasus aborsi tidak pernah diumumkan.

Tak hanya itu. Laporan khusus koran ini juga mengungkap bagaimana buruknya standar penanganan korban kekerasan seksual di kantor polisi setempat. Polisi tampaknya belum memahami bagaimana prosedur penanganan korban pemerkosaan yang membutuhkan layanan aborsi aman ataupun darurat. 

Bagaimanapun, aborsi memang masih merupakan isu sensitif di publik kita. Masyarakat masih memberikan stigma negatif pada praktik aborsi, tak terkecuali pada korban kekerasan seksual. Selain memperbanyak pelatihan dan menambah lembaga penyedia layanan aborsi, regulasi yang tumpang tindih harus diperbaiki. Namun yang terpenting adalah mengubah cara pandang sebagian dari kita mengenai aborsi itu sendiri. Keputusan untuk aborsi atau tidak seharusnya merupakan hak perempuan sepenuhnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus