Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukarnya mencari sepuluh kandidat hakim agung adalah alarm yang mengingatkan betapa kita kekurangan hakim berkualitas prima. Dari 180 lebih pelamar yang mengikuti saringan sejak Mei lalu, Komisi Yudisial harus menyeleksi 30 calon untuk dikirim ke seleksi tahap berikutnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi mengaku tak mudah memenuhi syarat kualitas sekaligus kuantitas kandidat sejumlah itu.
Sejumlah pelamar bahkan ditengarai pernah melakukan kekerasan, berselingkuh, atau punya harta mencurigakan. Untuk hal-hal buruk seperti ini, Komisi Yudisial dan tim penguji akhir di Komisi Hukum DPR jangan pernah berkompromi. Tolak saja semua calon bermasalah dari awal. Integritas kandidat harus diletakkan pada skala prioritas tertinggi dan tak boleh ditawar-tawar.
Tim penguji—baik di Komisi Yudisial maupun di DPR—tak perlu kejar target. Bila mereka merasa tak mampu meloloskan kandidat yang berkualitas, kirimkan saja calon yang benar-benar layak. Dengan kata lain, bila hanya ada delapan yang memenuhi syarat, jangan dipaksa jadi sepuluh. Apalagi kelemahan menonjol pada sebagian besar calon menyangkut perkara teramat mendasar: lemahnya integritas serta pengetahuan hukum yang terlalu general.
Syarat dasar hakim agung mungkin mudah dipenuhi sebagian besar dari 6.000-an hakim di seluruh Indonesia saat ini. Mereka harus berusia minimal 50 tahun, berpengalaman minimal 20 tahun sebagai hakim karier dan 25 tahun hakim non-karier, serta tak pernah dipenjara. Yang jauh lebih sulit adalah memenuhi aspek-aspek substansial: integritas pribadi dan kualitas pengetahuan hukum yang kudu excellent.
Keahlian spesifik para calon perlu dikaji secara proporsional. Ahli bidang hukum pajak, misalnya, amatlah langka. Dari 50 anggota Mahkamah Agung sekarang, yang punya keahlian di bidang hukum pajak hanya kurang dari tiga orang. Padahal, dari 13 ribuan kasus mutakhir yang harus dibereskan, sebagian menyangkut korupsi pajak yang pelik serta sengketa perdata.
Aspek integritas mutlak diutamakan, apalagi bila mengingat proses seleksi di DPR yang sangat politis—selain urusan kelayakan dan kepatutan. Untuk menghindari munculnya "permainan" apa pun, Komisi Yudisial perlu memastikan calon-calon yang dikirim ke DPR bersih dari segala kasus. Pengetahuan hukum yang prima dan spesifik memang penting. Tapi pribadi yang bersih dengan rekam jejak terpuji adalah kualitas yang akan menegakkan wibawa Mahkamah Agung.
Hal lain yang perlu perhatian serius adalah proses seleksi di hulu. Sampai sekarang, kita tahu setiap hakim karier yang hendak melamar posisi hakim agung memerlukan lebih dulu persetujuan Mahkamah Agung. Mekanisme ini sebaiknya diubah. Lebih baik berikan kesempatan kepada setiap hakim untuk melamar langsung ke Komisi Yudisial. Syaratnya, si calon harus memenuhi semua kualifikasi seturut undang-undang.
Proses rekrutmen semacam ini bisa memotong jalur "titipan". Cara ini juga membuat seleksi lebih transparan, akuntabel, dan independen. Jangan sampai terjadi lagi, Mahkamah Agung mengirimkan hakim-hakim yang pernah gagal tes untuk dipaksakan ikut seleksi. Pendaftaran secara langsung ke Komisi Yudisial diharapkan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan hakim-hakim agung yang bagus dari jalur karier.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo