Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang tak sadar akan beratnya konsekuensi menjadi pemimpin lembaga pemberantasan korupsi. Bertemu dengan orang lain tidak bisa sembarangan. Segala hobi yang bisa mengundang pertanyaan harus ditinggalkan. Main golf tidak boleh. Berfoto bersama di resepsi pernikahan dilarang. Semua kegiatan mereka, sejak bangun pagi sampai tidur malam, harus dicatat—kalau perlu, menit demi menit.
Seharusnya kesadaran bahwa segala perilaku mereka diawasi publik melekat kuat pada para pemimpin, komisioner, pejabat, dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kelalaian untuk taat pada kode etik macam itu bisa berdampak serius. Salah-salah kepercayaan publik pada integritas dan kredibilitas Komisi yang sangat diandalkan perannya di negara yang masih sangat korup ini bisa tergerus.
Karena itulah kita terpukul mendengar pengakuan terbaru Muhammad Nazaruddin, buron skandal korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games dan seabrek perkara proyek pengadaan di sejumlah kementerian. Pekan lalu, dari tempat persembunyiannya yang entah di mana, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat ini bercerita tentang serangkaian pertemuannya dengan sejumlah pejabat teras lembaga antikorupsi itu.
Nazaruddin mengaku beberapa kali menjamu Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah di rumah mewahnya di Pejaten, Jakarta Selatan. Kali lain, dia mengatakan pernah makan malam dengan deputi penindakan di komisi itu, Ade Rahardja, di sebuah restoran Jepang, tak jauh dari kawasan Casablanca, Jakarta Selatan.
Memang benar, semua pertemuan itu terjadi sebelum kasus korupsi Nazaruddin terbongkar tiga bulan lalu. Memang benar pula, pertemuan semacam ini tidak luar biasa, mengingat posisi Nazaruddin ketika itu sebagai politikus kunci Fraksi Demokrat di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat—mitra kerja KPK di parlemen.
Tapi kealpaan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Deputi Penindakan Ade Rahardja melaporkan serangkaian pertemuan itu kepada pemimpin Komisi yang lain jelas menimbulkan tanda tanya. Kelalaian itu menjadi fatal karena Kode Etik Pimpinan KPK telah tegas mengatur soal-soal semacam ini. Chandra, Ade, atau pejabat lain di Komisi yang mungkin juga bertemu dengan Nazaruddin seharusnya sudah memahami betul aturan main ini.
Tindakan Ketua KPK Busyro Muqoddas yang segera membentuk Komisi Etik untuk memeriksa dugaan pelanggaran etika sejumlah koleganya sudah tepat. Komposisi personalia Komisi Etik juga tidak buruk. Setidaknya, melalui tim ini, khalayak bisa berharap akan ada pemeriksaan yang adil, tegas, dan transparan. Jika kelak ada yang terbukti bersalah, tentu sanksi yang sepadan harus dijatuhkan.
Pembuktian atas tuduhan pelanggaran etika pemimpin KPK ini menjadi penting. Apalagi kini tampaknya ada upaya sistematis untuk menggiring opini bahwa lembaga pemberantasan korupsi itu sudah loyo dan "masuk angin". Bahkan politikus-legislator sekelas Ketua DPR Marzuki Alie pun pekan lalu ikut-ikutan mendorong agar KPK dibubarkan saja.
Pendapat yang asal bunyi macam itu bukannya menjernihkan keadaan. Sampai saat ini, tak ada bukti yang memperkuat tudingan Nazaruddin soal pemberian suap untuk Chandra Hamzah. Tuduhan sang buron tentang adanya kesepakatan antara pemimpin Komisi dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk "tidak memperluas" kasus korupsi wisma atlet juga tak berdasar.
Publik masih berharap banyak kepada KPK. Keraguan khalayak pada integritas pemimpin lembaga ini hanya bisa ditepis dengan satu cara: membongkar habis kasus korupsi Nazaruddin, tanpa tebang pilih, dan tak ada rasa takut menghukum siapa pun yang kelak terseret skandal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo