Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tak Ada Tempat bagi Dwifungsi TNI-Polri

Menyiapkan rancangan PP Manajemen ASN, pemerintah serius menghidupkan Dwifungsi ABRI. Anggota TNI dan Polri berpeluang menguasai jabatan sipil. 

 

18 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMOKRASI di Indonesia benar-benar tengah berada di titik nadir. Setelah ditengarai menodai prinsip Pemilihan Umum 2024 yang jujur dan adil dengan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pemerintahan Presiden Joko Widodo benar-benar akan mengembalikan Dwifungsi ABRI di masa Orde Baru melalui rancangan peraturan pemerintah tentang manajemen aparatur sipil negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rancangan peraturan pemerintah yang merupakan produk turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN itu berpeluang menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI karena mengatur prajurit TNI dan Polri di jabatan sipil. Sebelumnya, pemerintah, melalui Markas Besar TNI, juga tengah menyiapkan perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur jumlah lembaga dan kementerian yang dapat ditempati anggota TNI aktif.  Prajurit TNI dan Polri aktif saat ini dapat menduduki jabatan, antara lain, pada kantor bidang koordinator politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, dan intelijen negara.

Keberadaan Undang-Undang ASN dan upaya mengubah UU TNI serta yang terbaru rancangan peraturan pemerintah manajemen ASN menunjukkan adanya perencanaan secara terstruktur dan sistematis untuk mengupayakan keterlibatan TNI dan Polri di jabatan publik. Apalagi pada tahun lalu telah ada pengangkatan penjabat kepala daerah dari perwira TNI. Temuan maladministrasi pun didapati dalam pengangkatan seorang perwira TNI menjadi penjabat bupati. Sesuai dengan Data Kementerian Pertahanan pada 2019, sebanyak 1.592 prajurit TNI menduduki jabatan sipil. Ombudsman RI pun menemukan 27 anggota TNI dan 13 anggota Polri menjabat di badan usaha milik negara.

Langkah pemerintah tersebut jelas mengkhianati cita-cita reformasi yang telah menghapus Dwifungsi ABRI di era Presiden Soeharto, yang terbukti mengoyak demokrasi, profesionalisme TNI-Polri, dan supremasi sipil. Di era Orde Baru, kebijakan Dwifungsi ABRI menjalankan fungsi rangkap dalam bidang sosial-politik dan pertahanan keamanan. Melalui kebijakan ini, ABRI berhasil mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif. Banyak perwira ABRI yang masuk institusi politik, seperti DPR, MPR, serta DPD tingkat provinsi. Tak sedikit juga perwira tentara yang menjadi kepala daerah, duta besar, pejabat di kementerian, dan petinggi perusahaan milik negara.  

Ketika itu, keterlibatan tentara dalam kehidupan sosial-politik mengakibatkan militer berubah menjadi alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran atas kebijakan pemerintah. Dengan kebijakan dwifungsi ini, ABRI ketika itu terlalu banyak mencampuri urusan sipil negara hingga melanggar hak asasi manusia. Situasi yang sama kemungkinan besar terjadi jika pemerintahan Jokowi benar-benar menerbitkan rancangan peraturan pemerintah manajemen ASN tersebut. 

Sebaliknya, mengembalikan fungsi tentara dan polisi sesuai dengan Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri sama artinya dengan menjaga profesionalisme kedua lembaga ini. TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas untuk berperang. Sedangkan Polri menjaga keamanan, ketertiban, dan menegakkan hukum. Dengan begitu, kedua lembaga ini sepatutnya tak terlibat kegiatan politik atau menduduki jabatan sipil karena memang bukan kompetensinya.
 
Penempatan anggota TNI-Polri aktif di jabatan sipil juga bertentangan dengan sistem merit institusi sipil. Prajurit TNI-Polri yang menduduki jabatan sipil tidak beralih status menjadi pegawai negeri. Mereka tetap berstatus anggota TNI-Polri. Artinya, pemerintah memberi perlakuan khusus kepada prajurit TNI-Polri di jabatan sipil. Penempatan anggota TNI dan Polri di jabatan sipil ini berdampak buruk bagi kehidupan sipil karena akan menghambat sistem promosi serta penghargaan kepada pegawai sipil.

Pada akhirnya, penempatan anggota TNI dan Polri pada jabatan publik akan merugikan masyarakat karena semangat pelayanan publik yang mengedepankan asas-asas pemerintahan yang baik tidak lagi terwujud. Hal itu hanya bisa terwujud jika pengisian jabatan publik dilakukan dengan seleksi terbuka. Karena itu, sudah sepatutnya semua rancangan aturan yang memberi kesempatan anggota TNI dan Polri menguasai jabatan sipil dibatalkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus