Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanah

Saya teringat Pakhom. Saya teringat tokoh cerita Tolstoy ini ketika saya dengar seorang jenderal mengakui—ia orang Indonesia, ia ingin jadi Presiden Indonesia—bahwa ada 340 ribu hektare tanah yang dikuasainya, lebih luas ketimbang Kerajaan Luksemburg, empat kali Republik Singapura.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tanah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahdan, dalam dongeng Rusia ini—Sebanyak Apakah Seseorang Perlu Tanah?—Pakhom, seorang petani, ingin seperti itu. Ia mendengar istrinya berkata: “Perut petani kecil, tapi bisa tahan lama; kami tak akan bertambah kaya, tapi kami akan selalu cukup makan.”

Pakhom bergumam: “Tanah kita terlalu sempit.... Andai kata luas, aku tak akan takut kepada siapa pun—bahkan kepada Iblis sekalipun.”

Iblis, yang menyimak percakapan itu, langsung ketawa dan memutuskan: ia akan mencelakakan Pakhom dengan membujuknya jadi pemilik tanah besar.

Maka Pakhom pun bertambah uang. Ia membeli tanah-tanah di sekitar ladangnya. Karena makin sering bersengketa dengan tetangganya, akhirnya ia meninggalkan dusun dan tinggal di tempat lain.

Pada suatu hari, datang seseorang yang bercerita: di wilayah orang Bashkir, tanah sangat murah dan mudah dimiliki. Tapi dengan perhitungan yang ganjil.

Di sana tanah bisa dibeli dengan uang 1.000 rubel sehari. Dengan kata lain, ukurannya waktu: Pakhom bisa menguasai tanah seluas wilayah yang ditempuhnya dengan berjalan sehari penuh. Bila matahari terbenam, ia harus kembali berada di tempat ia bertolak; kalau gagal, haknya hilang.

Pakhom bergairah. Ia pun berjalan terus, berjalan terus, memperluas tanah yang akan diambilnya.

Tapi suatu saat ia sadar senja mendekat. Cepat-cepat ia berjalan kembali. Takut terlambat dan kehilangan haknya, ia berlari, berlari, walaupun tubuhnya lelah. Sesampai di tempat ia tadi bertolak, nyawanya putus.

Berapa luas orang perlu tanah? Tiga arshin saja, seluas kuburnya....

Tentu saja, cerita rakyat ini diadopsi Tolstoy (pengarang termasyhur novel besar Perang dan Damai) untuk menunjukkan betapa absurdnya keserakahan.

Itu memang pandangannya. Ia bahkan berhenti menulis sastra untuk menegaskan prinsip moral itu. Di pengujung hidupnya, novelis dan aristokrat ini meninggalkan tanah dan hutan miliknya seluas 1.600 hektare di Yasnaya Polyana, sekitar 200 kilometer di selatan Moskow. Setelah bertahun-tahun merawat dan memperluas estate warisan ayahnya itu, ia “hijrah“. Ia jadi zuhud yang menampik harta. Itu sebabnya ia bersenang hati ketika gagal mendapatkan Hadiah Nobel: ia bisa bebas dari persoalan bagaimana membuang ribuan rubel yang menyertai penghargaan itu. Uang, katanya, “hanya akan mendorong orang ke perbuatan cela”.

Mungkin itu sebabnya ia menulis dongeng tentang Pakhom: ada hubungan antara Iblis dan milik yang berlebihan.

Tolstoy pernah hidup sebagai prajurit, bertempur dan membunuh; di masa mudanya ia penjudi berat yang terlibat dalam beberapa duel. Tapi pada suatu saat, dalam kegalauannya, ia membaca khotbah Yesus di Bukit. Ia pun berubah; ia jadi “kristen” yang menolak Gereja dan menampik Negara. Hanya hidup para petani yang ia jadikan petunjuk. Tulisnya kepada Alexandra Tolstoy, sepupunya: kehidupan yang bersahaja, tawakal, dan soleh itulah yang jadi “biaraku, gerejaku, tempat aku berlindung dari cemas, ragu, dan godaan”.

Kian dekat ia dengan orang miskin, tulis Alexandra, kian tak sanggup lagi pengarang Anna Karenina itu hidup dalam kemewahan di estate-nya yang luas. Bertambah sadar para tetangganya tak punya cukup tanah, peralatan, dan makanan, Tolstoy akhirnya memutuskan bekerja bersama orang-orang melarat itu: membajak tanah, mengumpulkan jerami, menanam perdu, membuat sepatu. Berangsur-angsur ia berhenti menulis dan berubah jadi aktivis yang menyerukan sejenis sosialisme yang lebih dekat ke Yesus ketimbang Marx.

Akhir hidupnya mengingatkan akhir hidup Pakhom, meskipun dengan detail yang berbeda. Pada 20 November 1910, Tolstoy wafat pada usia 82 tahun di stasiun kereta api Astapovo, sebuah desa yang jauh, setelah lebih dari seminggu, di tengah malam, ia meninggalkan istri dan rumahnya.

Agaknya itulah takdirnya: ia mendengar “tiga jeritan sejarah” yang disebut John Steinbeck dalam The Grapes of Wrath—sebuah novel yang dengan memukau menggambarkan kemiskinan dan keserakahan tanah yang ditanggungkan orang-orang Oklahoma di masa krisis ekonomi 1920-an. “Para pemilik tanah yang luas mengabaikan tiga jerit sejarah,” tulis Steinbeck. “Tanah jatuh ke tangan segelintir orang, jumlah orang yang jadi miskin bertambah, dan tiap usaha para juragan besar akan mengarah ke penindasan.”

Di negeri Tolstoy, keserakahan para juragan membawa tragedinya sendiri pada 1917. Tak tahan ditindas ketidakadilan feodal, revolusi meletus. Partai Komunis menang. Atas nama keadilan, semua tanah dihimpun dijadikan pertanian kolektif Negara. Ketika ribuan pemilik melawan, Lenin, sang pemimpin revolusi, mengeluarkan perintah: “Gantung sedikitnya 100 orang tuan tanah, umumkan nama mereka!”

Sejarah menjerit; kadang seperti Iblis ketawa.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus