Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adakah yang lebih kotor daripada politik ketika kita membuka lini masa media sosial hari ini? Dalam aras praksis politik sebagai tindakan luhur mengelola dan memajukan negara, kita bertanya-tanya: apakah para politikus telah secara kolektif merelakan politik di hadapan publik menemukan makna baru sebagai laku yang sungguh tercela?
Bahkan, ketika perayaan-perayaan politik kita tak pernah meninggalkan seni dan budaya, politik tak bisa benar-benar lurus—sebagaimana anjuran masyhur John F. Kennedy: “Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Ingatan publik ihwal politik telah dipenuhi pelbagai sisi kelam: politikus penilap duit rakyat, orang dengan banyak pengikut di media sosial yang gemar saling hujat, atau mereka yang tak dikenal tapi tiba-tiba berharap dipilih sebagai “wakil rakyat”.
Realitas itu terekam dalam benak masyarakat Jawa. Dalam Bausastra Jawa (W.J.S. Poerwadarminta, 1939), politik bermakna “(1) babagan iguhing ngereh negara; (2) pc. reka kang ora beres”, yaitu “(1) mengenai cara negara memerintah; (2) niat dan rancangan yang tidak beres”. Realitasnya, kebudayaan Jawa merekam makna politik sebagai tindakan yang tak selamanya sarat dengan tujuan mulia mengelola negara. Politik dalam pandangan Jawa juga ihwal penindasan dan kesewenang-wenangan karena ratusan tahun mereka hidup di bawah kolonialisme. Kebudayaan Jawa menganggap politik sebagai tindakan yang mengabaikan masyarakat sebagai subyek.
Hal itu bukan tanpa sebab. Jawa melihat kekuasaan mesti diduduki mereka yang kewahyon, yaitu orang yang menerima wahyu, atau dalam tataran tertentu jelas nasabnya: trahing kusuma, rembesing madu, wijiling atapa (keturunan orang luhur, ibarat rembesan madu, hasil dari bertapa). Siapa pun yang ada di luar orbit tersebut dianggap durung mangsane, belum waktunya. Tak aneh jika dalam realitas kosmis Jawa polah tingkah orang yang ingin masuk orbit “politik” akan tampak aneh dan justru merusak tatanan.
Stange dalam buku Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa memang menyatakan masyarakat tak cukup bisa membedakan kekuasaan dan politik. Hal tersebut sejalan dengan kritik keras Plato (427-347 sebelum Masehi), yang berpendapat bahwa masyarakat merupakan hakim yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan dorongan hati, sentimen, dan prasangka. Yang paling buruk dari kungkungan realitas itu adalah mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Untuk itu, dalam Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon (Wibowo, 2017), Plato menawarkan cara yang sistematis dan terukur dalam membentuk pemimpin dan negarawan, yaitu melalui gimnastik dan musik, “…supaya calon pemimpin memiliki kepekaan pada harmoni yang indah dan baik”.
Pakubuwana IV (1768-1820), raja ketiga Kasunanan Surakarta, dalam Wulangreh menyebutkan politikus ideal antara lain mesti gemar hidup prihatin, tahu malu, memahami hukum, dan tak berharap pamrih. Tapi politik pada praktiknya ialah mantra sekaligus kejutan-kejutan. Dalam aksi-aksi politik berupa kerumunan, adu volume suara, dan perang kata di media sosial, kita justru disuguhi kepentingan-kepentingan politikus yang jauh dari sikap reflektif-idealistis para pemikir besar. Sebagaimana ditulis Tempo edisi 24-30 Desember 2018, perang retorika politik di media sosial bahkan sampai pada titik mengabaikan kebenaran ilmiah dan hasil kerja pers.
Pada awal kemerdekaan, cita-cita mewujudkan negara ideal diupayakan secara serius oleh para pemikir. Politik diharapkan menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan, kesusilaan, sekaligus kebatinan setiap individu. Sebagai subyek politik dalam negara demokrasi, masyarakat didorong memiliki pengetahuan memadai ihwal politik yang akan dijalankan negara. Dalam buku Tata Negara Indonesia: Kitab Peladjaran dan Batjaan (1948), dialektika politik berada pada aras idealistis, “…supaja tertjapai ketertiban dan keadaan damai jang mengandung mempertahankan hukum, jang menentukan kekuasaan negara, hak-hak dan kewadjiban-kewa-djiban rakjat” (Mawardi, 2018).
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan juga lebih adem dalam memaknakan politik, yaitu “cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan”. Ini berarti mesti ada sisi kebijaksanaan, dalam kaitannya dengan kepandaian menggunakan akal budi, yang dikedepankan dalam laku politik. Namun, sebagai “cara bertindak”, tidak kita tampik jika kemudian politik sama halnya dengan ideologi fleksibel, yang bisa diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan hasrat individual atau kelompok. Agaknya pemaknaan itulah yang cenderung dipilih para politikus negeri ini dalam menjalankan laku politiknya.
*) Dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo