Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUFTI besar Arab Saudi tak perlu kita tunggu fatwanya menanggapi pelbagai sisi gelap ongkos naik haji yang masih saja terjadi. Cukuplah proposal pemerintah tentang kenaikan biaya perjalanan ke Tanah Suci, yang selalu bertambah saban tahun itu, dibahas dan diputuskan bersama wakil rakyat di Senayan, yang sedianya berlangsung pekan-pekan ini.
Omzet ”proyek” haji terbilang gurih, sekitar Rp 7 triliun per tahun. Ini belum termasuk sokongan bujet nasional dan daerah. Karena itulah transparansi penyelenggaraan haji harus dijadikan fokus utama. Sebelum tarif baru diketuk, Dewan harus mempertanyakan ihwal rekening Menteri Agama Rp 24 triliun itu. Mengapa dana nganggur ini tak bisa dimanfaatkan untuk memperingan biaya haji? Uang ini adalah akumulasi setoran dari seluruh calon haji Indonesia.
Uang setoran calon haji kini dipatok Rp 25 juta atau naik Rp 5 juta ketimbang tahun sebelumnya. Fulus ini lalu diinvestasikan ke rekening tabungan, deposito, giro, hingga sukuk, atau surat utang negara berbasis syariah. Seharusnya Kementerian Agama bisa mengelola bunga dana mengendap itu untuk mempermurah biaya. Prinsipnya: dana dari jemaah harus kembali untuk kemaslahatan jemaah. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji, yang mengharuskan kegiatan ini nirlaba.
Yang terjadi justru sebaliknya. Biaya selalu dinaikkan dengan pelbagai alasan, tapi kualitas pelayanannya masih banyak dikeluhkan. Sebagian besar penginapan jemaah haji kita di Mekah dan Madinah tahun lalu, misalnya, tetap saja jauh dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Banyak pemondokan yang kurang bersih. Ada penginapan yang tiap 30 kamar hanya memiliki sebuah kamar mandi. Bahkan ada kamar yang letaknya di basement, minim ventilasi udara dan fasilitas air. Belum lagi masalah katering dan transportasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan menemukan inefisiensi bernilai ratusan miliar rupiah untuk pelaksanaan haji pada 2009. Bulan lalu KPK, yang mengkaji selama Januari hingga April 2010, menemukan 48 titik yang berindikasi menyimpang dalam penyelenggaraan haji tahun lalu. KPK harus segera memproses temuan ini secara hukum. Jangan sampai didiamkan sehingga tahu-tahu kerugian negara makin bengkak. Ingat, selama 2002-2005, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan indikasi penyimpangan kegiatan haji ini yang merugikan negara Rp 700 miliar.
Kini dipastikan sudah ada satu juta calon haji kita yang membayar setoran haji. Fulus di rekening Menteri Agama makin menggunung bak harta karun. Ini belum termasuk Dana Abadi Umat, yang jumlahnya Rp 3 triliun. Agar terhindar dari korupsi, sebaiknya dana abadi ini dihapuskan. Masukkan saja sebagai penerimaan negara bukan pajak. Seharusnya, dengan uang bejibun itu, kita bisa membangun tower pemondokan haji sendiri di Arab Saudi seperti dilakukan Malaysia. Jangankan memiliki, untuk menyewa penginapan dalam jangka panjang saja pemerintah gagal melobi Saudi.
Peran Kementerian Agama yang mempunyai hak monopoli penyelenggaraan haji harus diakhiri. Fungsi ganda dan tumpang-tindih yang mereka jalankan—sebagai regulator sekaligus eksekutor—jelas rawan penyimpangan. Karena itulah pola penyelenggaraan haji yang tertutup dan tak akuntabel ini harus diberikan ke badan khusus yang dibentuk pemerintah, berisikan figur-figur yang dapat dipercaya dan mumpuni, senyampang mengefektifkan peran komisi pengawas penyelenggaraan ibadah haji.
Terobosan ini sangat diperlukan untuk mencegah ulah tangan-tangan kotor yang kuat diduga masih beroperasi di balik perjalanan suci ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo