Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel yang begitu terang-terangan di wilayah perairan internasional adalah tindakan kriminal yang tak boleh direspons sekadar dengan kutuk dan protes. Israel harus ditekan untuk bertanggung jawab. Dunia perlu menyegerakan sebuah investigasi internasional terhadap sepak terjang Israel.
Penyerangan kapal Marvi Marmara 31 Mei lalu oleh pasukan militer Israel benar-benar mencerminkan sikap arogan pemerintah Benjamin Netanyahu. Aksi main hantam terhadap satu dari enam kapal misi kemanusiaan Freedom Flotilla—yang mengangkut 600 relawan dan aneka bantuan untuk warga Jalur Gaza yang diblokade Israel—memicu gelombang kejengkelan dunia terhadap Israel. Negara Yahudi itu seharusnya punya cara lebih beradab untuk menahan relawan yang mencoba menembus blokade. Tentu ada cara yang tak harus berujung melayangnya sepuluh nyawa dan puluhan orang cedera—termasuk dua relawan Indonesia.
Sejatinya ini momentum kuat bagi Indonesia untuk bersatu-padu dengan dunia internasional mendesakkan investigasi. Insiden brutal di perairan internasional itu membuat banyak negara berubah sikap terhadap Israel. Negara-negara Arab seperti mendapat pasokan kekesalan setelah tragedi kapal perdamaian itu. Turki, negara Islam di Eropa yang selama ini memihak Israel, berbalik antipati setelah sembilan warganya menjadi korban kapal Marvi Marmara. Sikap ”pukul dulu, urusan belakangan” pemerintah Netanyahu ini, ditambah isolasi kejam atas Gaza, mengubah sikap Eropa dan pemerintah Obama di Amerika Serikat—sekutu paling loyal Israel selama ini.
Amerika memang masih lebih simpati kepada Israel daripada Palestina. Tapi angin berubah di Washington. Semakin banyak orang, terutama anggota Partai Demokrat, yang merasa Amerika perlu meninjau sikapnya terhadap Israel. Presiden Barack Obama lebih sadar ketimbang pendahulunya bahwa kegagalan penyelesaian Palestina merupakan senjata ampuh kampanye anti-Amerika di seluruh dunia. Bahkan sebuah analisis berkembang di Amerika, pemerintah Obama mulai melihat Israel sebagai beban ketimbang aset.
Indonesia mesti memanfaatkan angin yang berubah ini. Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memutuskan investigasi independen memang ditolak oleh Amerika, Italia, dan Belanda. Tapi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia bisa mencari jalur-jalur diplomasi internasional yang lain untuk menggalang dukungan.
Langkah Indonesia—sebagai Wakil Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB—mengusulkan pembentukan Misi Pencari Fakta Independen Internasional merupakan sumbangan yang patut diberi apresiasi. Usul ini diterima sebagai poin pertama Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB 2 Juni 2010. Misi Pencari Fakta akan segera bekerja dan melaporkan hasilnya kepada Sidang Dewan Hak Asasi Manusia, September mendatang.
Solusi yang paling masuk akal setelah peristiwa kapal perdamaian diberesi tentulah menarik semua pihak yang bertikai di sana dalam sebuah perdamaian—termasuk kelompok garis keras Hamas. Blokade Jalur Gaza oleh Israel—dengan alasan melindungi diri terhadap serangan Hamas dan ”teroris Palestina”—merupakan cara salah yang melanggar kemanusiaan. PBB kembali diuji untuk memfasilitasi perundingan damai itu. Indonesia punya kesempatan baik ikut andil di dalamnya. Kebuntuan penyelesaian Palestina-Israel ini sudah membuat begitu banyak nyawa melayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo