Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada satu pihak pun yang bisa mengklaim punya pengalaman dan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan untuk memulai rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias pasca-tsunami. Hal ini disebabkan dampak bencana, terutama di kawasan pesisir Aceh, begitu dahsyat dan tanpa preseden. Kehancuran wilayah di sana tak dapat disamakan dengan dampak pasca-perang. Kehancuran akibat perang memakan waktu dan masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk bersiasat demi eksistensinya. Perang adalah petaka buatan manusia dan yang menang punya hak mutlak untuk mengatur skenario dengan leluasa, sebagaimana Sekutu melakukannya usai Perang Dunia ke-2 pada abad lalu.
Tsunami 24 Desember 2004 menyebabkan jutaan orang kehilangan segalanya hanya dalam tempo setengah jam. Tidak ada yang menang dan tidak pula ada yang bisa dipersalahkan. Karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca-bencana tsunami di Aceh dan Nias hanya bisa dilakukan berlandaskan tekad untuk menumbuhkan dua modal sosial yang cedera dalam kehidupan publik, yaitu kepercayaan dan harapan. Ditetapkannya peraturan serta personel Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias telah mampu menerbitkan kepercayaan dan harapan tersebut, walau dalam tahapan yang awal dan tentatif. Selanjutnya, mohon dimaklumi bahwa sebaik-baik aturan dibuat dan sebagus-bagusnya reputasi personel badan di atas, kita harus sadar bahwa mereka bukanlah pembuat mukjizat. Mereka memerlukan komitmen dan dukungan tulus dari seluruh bangsa agar tugas yang tidak mudah dan tanpa preseden ini berhasil.
Bencana besar bisa mempunyai efek sejarah yang besar. Pula, baik-buruknya ditentukan oleh moralitas penanganan bencana, bukan semata oleh keunggulan manajemen dan teknologi serta kelimpahan dana. Jika moralitas kerja rehabilitasi dan rekonstruksi mengalami gangguan berat oleh interest politik, bisnis, maupun sentimen-sentimen sempit, modal sosial yang tengah tumbuh secara embrionik, yaitu kepercayaan dan harapan, akan hilang dan risiko Indonesia menjadi negara gagal (failed state) akan membesar secara eksponensial.
Sebaliknya, jika rehabilitasi dan rekonstruksi berhasil, Indonesia akan mengalami lonjakan semangat baru yang dapat mempercepat pemulihan kehidupan nasional serta membangun kembali martabat bangsa yang sedang terpuruk. Bencana tsunami menciptakan dampak penderitaan yang sedemikian buruk sehingga peluang bangkit pun tidak pernah sebesar sekarang. Krisis besar selalu menciptakan peluang besar, tergantung mana yang unggul dalam persaingan antara sifat-sifat mulia dan sifat-sifat buruk yang ada pada diri orang. Hak hidup bangsa kita sedang diuji dan yang harus lulus ujian bukanlah hanya mereka yang siap pasang badan untuk melakukan tugas berat ini, tapi juga seluruh warga bangsa, terutama mereka para pengambil keputusan di tingkat puncak, baik di pemerintah, di dunia usaha, maupun di kalangan pembentuk opini.
Dengan bermodalkan tekad untuk menumbuhkan modal sosial berupa kepercayaan dan harapan, apa yang bisa dilakukan oleh BRR? Kelihatannya mereka telah melakukan langkah awal yang benar, yaitu melakukan upaya komunikasi sosial untuk membangun empati dan solidaritas. Tentu hal ini harus diteruskan tanpa menciptakan ekspektasi berlebihan. Kemudian tentunya menggalang berbagai tindakan agar apa yang segera dan harus dilakukan dapat dilakukan tanpa menunggu anggaran pemerintah pusat yang konon baru cair September yang akan datang. Akses dengan dunia luar sebagai sumber bantuan kemanusiaan maupun bantuan rekonstruksi tentu harus terus dibuka, seraya BRR sebagai tuan rumah memberikan sinyal yang jelas tentang bentuk bantuan yang diperlukan, lokasi dan komunitas yang memerlukannya.
Salah satu sinyal yang perlu diberikan adalah komitmen tentang transparansi dan akuntabilitas. Sejauh menyangkut pendanaan, standar akuntabilitas dan transparansi sudah ada, namun hanya bermakna jika dilanjutkan dengan transparansi dan akuntabilitas di bidang pengadaan. Hal ini menyangkut manajemen logistik yang sayangnya belum terang duduk soalnya. Kekaburan konsep manajemen logistik ini dapat menciptakan peluang bagi banyak pihak untuk mengambil keuntungan bagi diri dan kelompoknya, serta menimbulkan sikap ragu-ragu bagi para donor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sinyal selanjutnya adalah komitmen terhadap asas pembangunan berkelanjutan yang erat kaitannya dengan pengaturan ruang dan manajemen sumber daya alam. Tidak mudah untuk menciptakan ruang penerimaan bagi asas ini karena situasi darurat menciptakan dorongan untuk solusi berjangka pendek dan segera. Bagaimana menghadapi tantangan bahwa asas pembangunan juga berpihak pada kepentingan yang mendesak dan tidak hanya berpihak pada kepentingan masa depan.
Ilustrasi di atas tentu dapat diperpanjang. Namun, cukup kiranya digambarkan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami menghadirkan tantangan berat: cara kerja berlandaskan moralitas yang benar serta didukung oleh konsep manajemen publik yang sahih, berhadapan dengan budaya koruptif, dan berbagai interest politik maupun bisnis yang bisa saja tidak sejalan dengan kepentingan umum. Apalagi kegiatan ini dilakukan di dua daerah yang sebelum bencana tsunami mengalami masalah berat, yakni konflik bersenjata di Aceh serta isolasi dan kemiskinan di Nias.
Sukses penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami merupakan taruhan besar. Indonesia tertempatkan di ujung tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo