Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA waktu terakhir ini media massa banyak memberitakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU terhadap UUD 1945 (judicial review) tanpa batasan waktu, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Seperti diketahui, Pasal 50 UU MK menegaskan, UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau lazim disebut sebagai UUD 1945.
Kontroversi muncul ketika dalam putusannya pada perkara permohonan pengujian UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dalam salah satu amar putusannya, MK juga menyinggung-nyinggung eksistensi Pasal 50 dari UU yang mengatur mengenai dirinya sendiri itu.
Permohonan untuk menguji Pasal 50 UU MK itu diajukan oleh kalangan Kadin Usaha Kecil dan Menengah (Kadin UKM). Kalangan Kadin UKM sebenarnya mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji UU Nomor 1 Tahun 1987 terhadap UUD 1945. Namun, karena UU tersebut dibuat sebelum perubahan UUD 1945, maka berdasarkan Pasal 50 UU MK, UU Kadin tersebut tidak termasuk UU yang boleh diajukan untuk diuji oleh MK.
Pihak pemohon yang mengajukan perkara ini, yakni Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Kadin UKM, karena merasa terhalang dengan keberadaan Pasal 50 UU MK tersebut, kemudian juga mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 50 UU MK terhadap UUD 1945. Hasilnya, dalam salah satu amar putusannya MK menyatakan, Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Isi putusan MK yang terkait dengan Pasal 50 UU MK ini kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra. Para akademisi, kalangan anggota dan mantan anggota DPR, dan berbagai kalangan lainnya menyatakan pro dan kontra terhadap isi putusan itu. Tidak cukup hanya di situ, di kalangan hakim konstitusi di MK sendiri putusan tersebut diambil dengan suara yang tidak bulat, karena tiga dari sembilan hakim konstitusi menyatakan adanya pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut. Tiga hakim konstitusi yang tidak sependapat itu mengemukakan pandangan-pandangan yang cenderung rechtspositivist (berposisi sebagai orang yang mendukung keberlakuan hukum positif).
Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) MKsekarang menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003disusun, penulis yang mengikuti proses pembahasannya dalam kapasitas sebagai salah satu anggota tim ahli pemerintah sudah memprediksi Pasal 50 UU tersebut kelak akan menimbulkan perdebatan yang cukup signifikan, baik di kalangan MK maupun di luar MK.
Latar belakang munculnya pasal tersebut adalah adanya pendapat dari kalangan pemerintah, saat itu diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM, bahwa pemerintahan akan bisa berhenti bila pada saat MK sudah berdiri banyak UU yang diminta untuk diuji dan jika kemudian MK mengabulkan permohonan untuk membatalkan suatu UU. Atas latar belakang itulah, pasal dengan rumusan seperti itu kemudian dimasukkan ke dalam UU MK.
Dalam proses perjalanannya, tidak lama setelah UU tersebut disahkan, sempat timbul perdebatan mengenai substansi Penjelasan Pasal 50. Ada pertanyaan, apakah isi Penjelasan Pasal 50 UU MK tersebut berarti bahwa UU yang bisa diajukan permohonan kepada MK hanyalah sebatas UU hasil Perubahan Pertama UUD 1945 saja? Hal ini sejalan dengan rumusan kalimat yang menyatakan, "yang dimaksud dengan setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 adalah perubahan pertama UUD Negara RI pada tanggal 19 Oktober 1999" (kursif dari penulis).
Dari segi logika hukum yang melatarbelakangi timbulnya pertanyaan tersebut, pandangan yang mendukung pendapat ini sebenarnya bisa dipahami. Pada intinya mereka berpandangan, kata "setelah" seharusnya tetap dicantumkan dalam kelompok kata yang dicetak miring itu, sehingga menjadi setelah perubahan pertama UUD Negara RI pada tanggal 19 Oktober 1999.
Pendapat inijika mendapatkan dukungan yang signifikan pada saat itusebenarnya bisa berdampak pada dorongan untuk mengubah UU MK, namun hingga saat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikatnya pasal ini, perubahan terhadap isi Penjelasan Pasal 50 UU MK tersebut tidak terjadi.
Sebenarnya, sebelum perkara pengujian terhadap UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin itu, sudah ada tiga perkara judicial review yang diajukan dan diputus oleh MK yang terkait dengan kewenangan MK dalam Pasal 50 UU MK. Pertama, pengujian terhadap UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua, pengujian terhadap UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Ketiga, pengujian terhadap UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Dengan demikian, pengujian terhadap UU Nomor 1 Tahun 1987 tersebut merupakan UU keempat yang terkait dengan Pasal 50 UU MK.
Dari keempat perkara tersebut, penulis akan menguraikan perkara yang pertama, permohonan pengujian terhadap UU Nomor 14 Tahun 1985, yang membuka jalan terhadap pencabutan Pasal 50 UU MK. Hal itu muncul dalam putusan MK yang diputuskan pada 23 Desember 2003, dan diucapkan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada 30 Desember 2003.
Putusan ini juga menjadi putusan yang pertama dalam sejarah hukum dan peradilan konstitusi yang mencantumkan adanya dissenting opinion. Dalam perkembangannya selama ini, pencantuman dissenting opinion dalam putusan-putusan pengadilan di luar MK (misalnya di peradilan umum, dan sebagainya) sering kali menimbulkan perdebatan karena ketiadaan landasan hukum. Walau demikian, hal ini berbeda dengan MK, karena Pasal 45 ayat (10) UU MK menegaskan bahwa dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Dalam perkara pengujian UU Nomor 14 Tahun 1985, Machri Hendra, seorang hakim pada Pengadilan Negeri Padang, mempersoalkan substansi Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang dinilainya bersifat diskriminatif. Dalam pasal itu ditetapkan, seorang hakim karier bisa diangkat sebagai hakim agung jika berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Ketua Pengadilan Tinggi, atau 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi. Untuk mencapai kualifikasi tersebut, dihitung-hitung dibutuhkan waktu tidak kurang dari 30 tahun. Padahal, di sisi lain, untuk jadi hakim agung dari jalur nonkarier, hanya disyaratkan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun di bidang hukum.
Permohonan ini sebelumnya telah diajukan ke MA pada 15 Februari 2003, karena pada saat itu MK belum berdiri. Permohonan ini tidak pernah diproses MA hingga dilimpahkan kepada MK setelah lembaga ini berdiri. Dengan demikian, pada beberapa bagian dari pertimbangan hukumnya, MK juga telah berupaya untuk meletakkan konstruksi permohonan ini dalam konteks ketika ia masih menjadi kewenangan MA, yakni dengan meninjau beberapa ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 02 Tahun 2002 yang mengatur tata cara pengajuan hak uji materiil (judicial review). Walau demikian, pada akhirnya para hakim konstitusi memutuskan bahwa MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Machri Hendra dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 50 UU MK.
Salah satu dasar pertimbangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut karena, dalam sumpah hakim konstitusi, antara lain dinyatakan akan " menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ."
Pertimbangan ini mungkin diilhami oleh pendapat John Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang juga mendasarkan pada sumpahnya ketika diangkat sebagai hakim agung AS saat memutuskan kasus Marbury vs Madison (1803) yang sangat terkenal, yang kemudian menjadi tonggak dan yurisprudensi pelaksanaan judicial review di AS, walaupun Konstitusi AS pada saat itu sebenarnya belum mengatur mengenai masalah itu.
Putusan kasus Marbury vs Madison ini kemudian memiliki pengaruh yang signifikan di negara-negara Eropa Kontinental. Sebagai contoh bisa kita lihat bagaimana konstitusionalisme AS ini memiliki pengaruh yang signifikan di Jerman. Banyak gagasan fundamental dari hukum tata negara Jerman yang memiliki akar aslinya pada konstitusionalisme Amerika Serikat. Misalnya, tentang konsep Negara Federal Jerman dan interprestasinya melalui UU Federal tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengaruh dari The Federalist Papers.
Pengaruh lain, misalnya, suatu UU harus dinyatakan null and void (tidak berlaku lagi) karena bertentangan dengan UUD pada awalnya justru lebih berkembang dengan lebih cermat di AS daripada di Eropa. Ketentuan dasar lainnya yang berkaitan dengan constitutional review juga terkonseptualisasi di AS, misalnya, seorang hakim tidak harus menegakkan suatu UU yang secara konstitusional tidak sah. Jika saja tidak dipengaruhi oleh pandangan Ketua MA AS John Marshall tentang hak uji materiil, maka tidak akan ada hak untuk mengajukan judicial review terhadap konstitutionalitas suatu peraturan (the constitutionality of laws) di Jerman.
Becermin pada uraian di muka, maka penulis sangat mendukung isi putusan MK yang mencabut Pasal 50 UU MK. Berdasarkan prinsip null and void, maka ketentuan pasal tersebut tidak lagi berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan yang berimplikasi memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji semua UU terhadap UUD 1945 tanpa batasan waktu ini patut dicatat sebagai salah satu upaya positif untuk melakukan pembaruan hukum di Indonesia, khususnya bidang hukum tata negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo