Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang mengatakan seorang presiden adalah seorang yang terperangkap dalam sangkar emas atau menara gading. Yang lain mempercayai presiden adalah jabatan yang sepi karena ia terisolasi dari sekeliling dan tak tersentuh oleh rakyatnya.
Dahulu memang ada kisah Durno atau Rasputin yang dikepung oleh pembisik-pembisik istana yang selalu mencatut informasi untuk presiden. Tapi itu duludalam kisah Seribu Satu Malam atau dalam komik H.C. Andersen. Kalaupun sekarang terjadi, itu hanya mungkin pada negara yang dikuasai rezim otoritarian.
Dalam monarki absolut dan rezim otoritarian, tentu saja perguliran kekuasaan dikuasai oleh sekelompok elite kekuasaan atau bangsawan yang mendapatkan kekuasaannya karena darah, senjata, atau kombinasi keduanya. Persetujuan rakyat (consent of the people) terhadap kekuasaan bukanlah faktor menentukan dan karena itu istilah "akuntabilitas publik" merupakan sesuatu yang asing dalam sistem pemerintahan semacam itu.
Kebebasan pers, tentu juga, bukanlah tonggak atau pilar penyangga seperti yang kita kenal dalam negara demokratis. Dalam monarki absolut dan sistem otoritarian, politik sinonim dengan "intrik istana" sehingga munculnya Durno atau Rasputin tak terelakkan. Distorsi informasi dalam kekuasaan semacam itu merupakan bagian yang melekat.
Sekarang situasi berubah. Demokrasi dan reformasi menuntut persetujuan rakyat secara berkala, bahkan dengan pemilu presiden langsung. Penilaian, tuntutan, dan dukungan dilakukan tidak hanya sekali dalam lima tahun, tetapi terus-menerus dalam bentuk kebebasan berpendapat dalam berbagai macam manifestasinya. Pers yang bebas, bangkitnya civil society, bahkan demonstrasi, adalah gejala biasa dalam masyarakat yang semakin kritis.
Tentu saja, kompetisi politik yang terbuka memberi rakyat kesempatan untuk menentukan pilihan lain jika pemerintahan tidak responsif. Pendek kata, akuntabilitas publik merupakan tuntutan yang tak dapat diabaikan dalam keseharian kekuasaan demokratis.
Presiden negara demokratis perlu membuka dan memelihara akses publik untuk memberi informasi, masukan, tuntutan, dan dukungan seluas-luasnya dengan tetap meminimkan risiko keamanan bagi presiden.
Presiden Yudhoyono sejak awal telah memerintahkan aturan protokoler yang fleksibel dalam pemerintahannya. Ada waktu-waktu ketika Presiden ingin bertemu rakyat secara incognito, tanpa memberi tahu sebelumnya, dengan pengawalan minimal. Ini tampak saat ia berkunjung ke Rengasdengklok, Bekasi, dan desa nelayan di Pandeglang untuk mengetahui langsung situasi masyarakat pasca-kenaikan harga BBM.
Dialog-dialog yang intensif ini berlaku juga terhadap civil society, pers, bisnis, agama, politik, budaya, akademisi, pelajar dan mahasiswa. Masukan dengan data yang lengkap merupakan hal yang ditunggu-tunggu Presiden. Laporan LSM "Telapak" tentang illegal logging di Papua merupakan laporan yang langsung dipakai untuk pemberantasan pembalakan kayu secara terpadu keesokan harinya.
Sementara dulu seseorang paling-paling bisa mengirim surat kepada presiden, sekarang hampir setiap orang bisa mengirim pesan singkat (SMS) kepada presiden. Presiden Yudhoyono memang tidak memegang handphone. Tetapi, entah bagaimana, nomor telepon staf Presiden, ajudan Presiden, bahkan Ibu Negara seakan sudah menjadi rahasia umum. Isinya bisa saja informasi kejadian korupsi, usulan kebijakan, dukungan, protes, doa, permohonan bantuan, baik dengan nama maupun anonim. Banyak dari SMS itu mendapat perhatian dari Presiden, yang diteruskan kepada pejabat terkait, ataupun disinggung dalam pidatonya.
Jika waktu memungkinkan, Presiden memberikan tanggapan langsung. Seorang guru di Pati, Jawa Tengah, pernah ditelepon oleh Presiden setelah ia mengeluh gajinya beberapa bulan belum dibayar.
Tugas staf kepresidenan, seperti saya, adalah memastikan bahwa jalur-jalur komunikasi langsung antara presiden dan berbagai komponen masyarakat bisa terbuka dan terpeliharabaik secara tatap muka, tertulis, melalui media ataupun teknologidi tengah aturan protokoler dan pertimbangan keamanan. Surat terbuka kepada Presiden yang ditulis oleh istri almarhum Munir, Suciwati, di majalah ini juga mendapat perhatian.
Presiden Yudhoyono bahkan menitipkan salam kepada Suciwati, juga kepada si kecil Diva dan Alief, dua anak Suci, sembari menegaskan komitmennya untuk membongkar kasus pembunuhan almarhum Munir dan menghukum pelaku-pelakunya, siapa pun mereka. Tim Pencari Fakta (TPF) dibentuk oleh Presiden dengan komitmen tersebut. Semua lembaga negara, pejabat negara, ataupun BUMN wajib bekerja sama dengan TPF.
Minggu lalu, misalnya, Presiden Yudhoyono meminta "update" dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dan meminta Kepala Badan Intelijen Negara agar jajarannya kooperatif dan membantu TPF. Presiden juga menginstruksikan hal yang sama kepada Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Di lain pihak, Presiden juga mengundang TPF untuk mendengarkan kemajuan tugas tim sambil meminta saran dari mereka. Selalu ada akses bagi TPF untuk melaporkan hasil kerja dan temuan-temuan mereka kepada Presiden. Dengan kewenangannya, Presiden akan memberi sanksi yang tegas bagi mereka yang menghalang-halangi tugas TPF.
Kematian Munir adalah kehilangan kita semua. Tragedi Munir menusuk sanubari kita semua. Pengungkapan kasus Munir adalah bagian dari proses penyembuhan bagi kita sebagai sebuah bangsa yang sedang meretas jalan demokrasi. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden ketika pertama kali bertemu dengan Suciwati, pengungkapan tragedi pembunuhan Munir merupakan ujian bagi kita, untuk memastikan apakah kita sudah berubah atau belum.
* (Tanggapan atas kolom Suciwati tentang kasus Munir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo