Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tawar-menawar BLBI

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam beberapa hari ini Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia akan membahas penataan arus uang dunia, sedangkan di Indonesia, arus dana bak air di rawa-rawa--tidak bergerak. Pada 21 September 1998, ketika pemerintah menunggu pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)--diperkirakan jumlahnya mencapai Rp 143 triliun--yang datang ternyata cuma Rp 1,3 triliun. Pemerintah bagaikan menunggu Godot, sia-sia. Di luar ini, berbagai aset kabarnya disodorkan, dari perusahaan yang dianggap memiliki prospek cerah, aneka properti, aneka saham, sampai perusahaan bermasalah (barangkali menunggak utang) dan sederet mobil mewah. Cara melunasi BLBI yang unik ini seharusnya sudah bisa diduga ketika Subronto Laras mengatakan, untuk BLBI, pihaknya rela melepas Indomobil. Seyogianya pemerintah tangkas membaca isyarat tersebut dan tangkas pula mengirim balik sinyal yang dengan gamblang menolak aset sebagai alternatif pembayaran BLBI. Bukankah sesungguhnya pemerintah cukup jeli untuk mengetahui bahwa aset bank-bank tersebut untuk saat ini tidak terlalu likuid atau bahkan tidak likuid? Lagi pula auditor asing telah diundang untuk mengaudit aset-aset tersebut, sehingga pemerintah tahu persis isi perut mereka. Selain itu, bukankah pemerintah menyadari bahwa perusahaan swasta yang bisnisnya cantik, begitu berpindah tangan, bisa langsung keriput dan kehilangan daya tarik? Semua pertanyaan itu terdengar sangat bodoh, terutama karena sejak semula sangat kuat terkesan bahwa pemerintah mirip orang yang mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar menyambut aset-aset idaman itu. Dikatakan demikian karena beberapa aset tersebut memang merupakan andalan Indonesia menyambut persaingan global tahun 2000. Sebut saja Indocement, Indofood, dan Gajah Tunggal--ketiganya terkategori sebagai yang terbesar di kelasnya untuk tingkat regional. Jadi, mengapa harus dikembalikan? Kini, biarkanlah angka-angka yang berbicara. BPPN menaksir bahwa seluruh aset yang diserahkan kepada badan tersebut bernilai Rp 92,8 triliun, sementara pihak balai lelang negara memperkirakan tidak sampai Rp 60 triliun. Ini berarti hanya 33 persen dari Rp 206 triliun--nilai aset yang dihitung oleh para pemilik bank. Memang nyata sekali bedanya. Berdasarkan angka-angka yang jomplang itulah pemerintah memutuskan mengembalikan semua aset kepada pemiliknya dan menyerahkan penjualan aset kepada mereka. Ditegaskan, pemerintah hanya bersedia menerima uang tunai sebagai alat pelunasan BLBI, dan bukan aset. Untuk itu, bank debitur diwajibkan menyusun rencana penjualan yang harus diserahkan pada akhir Oktober 1998. Dan agar utang BLBI yang Rp 143 triliun bisa lunas, pemerintah, kata Menteri Keuangan Bambang Subianto, memberi waktu lima tahun. Mendengar ini, masyarakat tersulut amarahnya. Bagaimana BLBI yang diharapkan lunas dalam satu bulan tiba-tiba diulur pelunasannya sampai 60 bulan? Adakah tekanan dahsyat sampai pemerintah berubah arah? Bukankah dana Rp 143 triliun itu diperlukan untuk menutup penerimaan yang minus pada APBN 1998/99? Sumber dana di luar pinjaman IMF tak ada, sinterklas yang lain pun tidak kelihatan. Jadi, mengapa lima tahun? Protes ini segera ditanggapi dan masa pelunasan pun dipersingkat, satu tahun saja. Dari kasus penanganan BLBI sangat kuat terkesan bahwa pemerintah bukanlah nakhoda yang memegang kemudi dengan kedua belah tangan yang mantap. Sikap dan kebijakan pemerintah yang tiap saat bisa berubah, tampaknya, merupakan ciri yang menonjol sejak Indonesia dilanda krisis moneter, Juli 1997. Di sisi lain, masyarakat, disadari atau tidak, semakin percaya diri dalam menyuarakan protes, tuntutan, ataupun pendapatnya. Sejauh yang menyangkut pelunasan BLBI, pernyataan pers Perbanas yang ditandatangani Ketua Umum Gunarni Soeworo--kendati ekspresinya tertata halus--ada gemanya juga. Cubitan Perbanas, yang mengimbau pemerintah agar inovatif, fleksibel, dan realistis dalam menyikapi kesulitan perbankan, secara tak langsung bisa mengingatkan pemerintah pada beberapa kelemahannya sendiri. Pertama, ketika pemerintah mengucurkan dana BLBI kepada bank-bank bermasalah, apakah pengembaliannya sudah diatur dengan cermat? Kalau memang ada pengaturan, mengapa pelunasan BLBI harus serentak, padahal pengucuran BLBI kepada bank secara individual berbeda-beda waktunya? Kedua, mengapa ada perlakuan berbeda antara bank swasta yang mendapat dana talangan pemerintah dan bank BUMN seperti Bapindo, BBD, dan BankExim, yang juga bermasalah? Ketiga, bukankah BLBI dikucurkan karena pemerintah menjamin semua dana masyarakat di perbankan, dan jaminan diberikan semata-mata agar kepercayaan masyarakat terhadap sektor ini tidak runtuh? Dalam hal ini pemerintah memang tak bisa lain, karena likuidasi 16 bank yang dilakukan pada November 1997-- atas anjuran IMF--benar-benar menimbulkan krisis kepercayaan pada bank dan juga pada pemerintah. Mata rantai sebab-akibat itu tidak bisa diputus, karena kalau itu dilakukan berarti tidak akan pernah ditemukan jalan keluar dari lingkaran setan yang diwariskan pemerintah Orde Baru. Kelemahan pengawasan Bank Indonesia, kenaifan sejumlah pasal pada UU Perbankan No. 7/1992, ketidaktegasan dalam menangani bank-bank bermasalah, semua itu adalah bagian terbesar dari warisan Orde Baru yang risikonya harus dipikul sekarang. Kata-kata Ketua BPPN Glenn Yusuf, "Jumlah uang yang disalurkan bank-bank itu kepada grupnya sendiri benar-benar mengusik rasa keadilan kita," membuat kita terenyuh. Tapi itu juga bagian dari warisan yang tidak bisa kita mungkiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus