Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolahku, Sasanaku, dan Tawuran

Pelajar SLTA di Jakarta dilatih bertinju. Upaya untuk menghentikan tawuran ini diragukan.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK mengurangi tawuran di jalan, pelajar SLTA di Jakarta dilatih tinju. Apakah resep ini manjur atau tidak, hasilnya bisa dilihat dalam kompetisi tinju antar-SLTA yang akan digelar tiga bulan lagi. Mereka dilatih oleh pelatih tinju dari Persatuan Tinju Amatir (Pertina). Saat ini, anak-anak SLTA itu menjalani latihan teknik dasar bertinju, yaitu memukul, menghindar, dan bertahan. Syamsul Anwar dari Pertina mengakui, program ini dirancang dengan maksud menekan jumlah tawuran pelajar yang makin meningkat. Sebagai langkah awal, 15 sekolah di lima wilayah DKI dijadikan sasana tinju. Sekolah-sekolah itu dipilih karena siswanya dikenal sering terlibat tawuran. Ada 540 siswa mendaftarkan diri. Salah satu sekolah yang ikut program tinju ini adalah SMK PGRI 10, yang berlokasi di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Andi Tamba, siswa kelas dua, mengaku kapok ikut tawuran setelah pinggangnya robek dibacok "musuhnya". "Daerah kekuasaan saya di Kemayoran sudah saya lepas," kata remaja berusia 18 tahun ini. Ia mengaku ikut tinju agar bisa jadi orang terkenal. "Biar bapak dan emak bangga," katanya tentang orang tuanya yang sudah bercerai. Jika Andi tak tersungkur di awal kompetisi, keinginannya mungkin bakal kesampaian. Sebab, Indosiar sebagai sponsor program ini akan menayangkan partai-partai yang dianggap seru. Televisi swasta ini telah membelanjakan Rp 200 juta untuk menyediakan fasilitas latihan dari sarung tinju, sansak, helm pelindung, sampai honor pelatih. Nantinya, petinju akan dibagi dalam kelas-kelas berdasarkan berat badan, usia, juga lamanya berlatih. "Jangan sampai petinju yang baru latihan jadi bulan-bulanan petinju yang berpengalaman," kata Syamsul Anwar, mantan petinju nasional itu. Tinju pelajar ini menjadi salah satu program paling mutakhir dari Kanwil Diknas DKI Jakarta untuk mengatasi tawuran. Sebelumnya, beberapa terapi sudah dicoba. Dua tahun lalu pernah dibentuk 67 klub olahraga—tidak termasuk tinju. Namun, baru setahun berjalan, jumlahnya sudah kempis tinggal 10 klub. Selain itu, digelar berbagai kompetisi antarsekolah dari lomba menggambar, tarik suara, sampai baris-berbaris. Tawuran tetap marak. Tawuran terjadi hampir saban hari. Yayasan Cinta Anak Bangsa mencatat ada 137 sekolah yang sering terlibat tawuran, dan sekurangnya ada 235 lokasi yang acap dipakai sebagai ajang tawuran. Tahun lalu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah sampai membentuk kelompok kerja (pokja) penanggulangan tawuran pelajar. Pokja berhasil mengumpulkan data, dari satu setengah juta siswa di Jakarta, hanya 0,08 persen yang terlibat tawuran. Dari jumlah itu, korban yang mati akibat tawuran sepanjang tahun 1999 sebanyak 26 siswa, korban luka ringan 109, dan luka berat 56 siswa. Nah, apakah tinju bisa mengurangi peserta tawuran ini? Seorang guru meragukannya. Sebab, menurut guru itu, anak-anak yang biasa tawuran banyak yang tidak ikut latihan tinju. Mereka tak cukup berani untuk diadu satu lawan satu. Pendapat guru itu diamini seorang siswa yang biasa terlibat tawuran. Setelah beberapa kali ikut latihan tinju, dia merasakan perbedaan antara tinju dan tawuran. Untuk bertinju, perlu latihan fisik dan belajar teknik. "Kalau tawuran kan butuh kecepatan lari," kata siswa itu. Logika menyembuhkan tawuran lewat tinju juga dipertanyakan oleh psikolog Dadang Hawari. Dalam bertinju, dibutuhkan keagresifan pribadi, sementara tawuran dipengaruhi oleh psikologi massa. Dadang khawatir, jika kompetisi tinju ini jadi digelar malah akan membangun dendam baru. "Yang di atas ring mungkin tidak dendam, tetapi suporternya bagaimana?" kata Dadang seraya mengusulkan agar pelajaran budi pekerti dihidupkan kembali dengan dasar agama. "Tetapi, jangan dibuat seperti PMP (Pendidikan Moral Pancasila), yang terlalu di awang-awang," katanya. Departemen Pendidikan Nasional sendiri mengaku masih punya sejumlah senjata rahasia untuk mengatasi tawuran. "Rekomendasi dari pokja penanggulangan tawuran masih belum semua kita jalankan," kata Adang Ruchiyat dari Kanwil Diknas DKI Jakarta. Apa pun senjata rahasia itu, rasanya perlu segera dicoba sebelum jumlah korban tawuran terus bertambah. Asal, programnya jangan coba-coba. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus