TATKALA Soeharto turun panggung, orang berharap perubahan total seketika akan datang. Banyak yang berharap malam segera menjadi siang, hitam menjadi putih, masam menjadi manis, seperti segampang dan sesederhana membalik telapak tangan. Di bidang hukum, masyarakat, yang sudah sangat mafhum bahwa pengadilan dikuasai oleh kekuasaan dan uang, memimpikan apa yang dicita-citakan para pendiri negeri ini: tidak pernah boleh ada yang membedakan warga negara dari rasnya, warna kulitnya, agamanya, pangkatnya, atau kekuasaannya, di muka hukum.
Cita-cita setara di muka hukum, sejujurnya, masih jauh dari kenyataan. Mengapa? Birokrasi, termasuk lembaga peradilan, belum sepenuhnya berubah. Para hakim yang suka disogok dan para jaksa yang suka menerima upeti masih duduk di sekitar ruang pengadilan. Hukum masih menjadi milik si kaya, dan celakalah si miskin yang mencoba mengais-ngais keadilan di sana. Di tangan penguasa, terutama di masa lalu, hukum menjadi alat yang efektif untuk memukul lawan pemerintah, dan menjadi "mandul" ketika dipakai untuk menghukum aparat pemerintah sendiri.
Maka, negeri ini perlu momentum baru. Perlu ada daya dorong yang luar biasa dahsyat untuk membuat penegakan hukum berubah. Daya dorong itu bisa berupa keberanian si penegak hukum, seperti yang ditunjukkan aparat di negeri seperti Italia. Negeri piza yang kekuasaan hukumnya lama berada di tangan geng penjahat mafia itu berpuluh-puluh tahun mencoba menciptakan momentum perubahan. Pada 1984, polizia di Palermo menangkap Buscetta, seorang pentolan mafia, yang kemudian "bernyanyi" tentang kegiatan organisasi itu. Dan tak lama kemudian, mafia membantai habis 33 orang keluarga dekat Buscetta, termasuk istri dan tiga anaknya. Korban di pihak aparat berjatuhan.
Dua tahun kemudian, 350 orang mafioso disidangkan dalam kerangkeng di pengadilan, tapi pembalasan mafia membuat korban terus berjatuhan di pihak pemerintah. Namun, keberanian aparat tak surut, sampai pada 1993, salah satu puncak dari "perang" itu, Salvatore "Toto" Riina, bos mafia yang terlibat 150 kasus pembunuhan, ditangkap aparat. Dan dua tahun kemudian, Perdana Menteri Andreotti pun disidangkan karena terbukti membantu Cosa Nostra, organisasi mafia Italia, dan terbukti menyuruh membunuh seorang editor surat kabar yang memuat pemberitaan jelek tentang dirinya. Italia pun menemukan momentum baru penegakan hukumnya. Italia berhasil "merebut" kembali hukum dari tangan mafia.
Indonesia juga perlu momentum baru agar hukum bebas dari pengaruh nama-nama besar, kekuasaan, uang, dan juga kekuatan senjata. Itu sebabnya banyak yang berharap TNI mengikhlaskan Letnan Dua Agus Isrok disidangkan di pengadilan militer. Nama Agus Isrok barangkali tak dikenal, tapi ada beberapa alasan mengapa kasusnya bisa menjadi momentum bagus bagi penegakan hukum di sini. Pertama, dia adalah anak seorang jenderal: Subagyo H.S., bekas Kepala Staf Angkatan Darat yang baru saja diangkat sebagai penasihat militer Presiden Abdurrahman Wahid. Kedua, ia adalah anggota pasukan khusus baret merah yang sangat disegani di negeri ini (walau dikabarkan ia belum lulus ujian dan berada di sana hanya karena "dititipkan" sang Jenderal). Ketiga, ia ditangkap dengan hampir 7.000 pil ekstasi dan empat kilogram shabu-shabu sehingga mungkin saja ia bagian dari geng narkotik dengan kekuatan uang yang besar. Sudah jamak bahwa uang bisa "melumpuhkan" pengadilan kita.
Orang menduga, kombinasi nama besar sang bapak, kedekatan dengan kekuasaan, militer, dan kekuatan uang inilah yang membuat Agus, yang ditangkap di sebuah hotel di Manggabesar, Jakarta, Agustus lalu, sampai sekarang belum tersentuh hukum. Ia memang dipanggil ke pengadilan, tapi hanya sebagai saksi atas tersangka Donny Hendriawan, yang ditangkap bersama-sama dengan Agus. Sudah begitu, ini lucu tapi sekaligus juga pahit, Agus dipanggil sebagai saksi dengan nama "Deky Setiawan", nama samaran yang disebutnya ketika ia ditangkap polisi di Manggabesar. Yang lebih menjebloskan nama baik Jenderal Subagyo dan TNI, dalam tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, belum sekali pun Agus "Deky Setiawan" Isrok muncul.
Adakah Agus Isrok kebal hukum? Inilah satu lagi ujian untuk TNI. Jika kelak Agus melenggang bebas dan tak diadili, itu jelas berarti TNI belum berdiri di depan sebagai gerbong penarik perubahan bidang hukum. Artinya, TNI memang belum mau dan belum rela membayar "utang" selama ini: membuka sejumlah kasus yang melibatkan aparatnya. Sebutlah kasus terbunuhnya buruh Marsinah (1993) di Sidoarjo, penyerbuan Kantor PDI pada 27 Juli 1996, dan penembakan mahasiswa Trisakti (1998). Peristiwa hilangnya Letkol Sudjono, Kepala Seksi Intel Komando Resor Militer 011/Lilawangsa, Aceh, yang seharusnya menjadi tersangka utama perkara terbunuhnya Teungku Bantaqiah dan sejumlah santrinya, bisa memperpanjang daftar "utang" TNI tadi—karena ada dugaan kuat pihak TNI "tahu persis" di mana Sudjono yang sedang cuti itu berada.
Ujian lain bagi TNI dari kasus Agus Isrok: adakah TNI ikut serta dalam gerakan nasional pemberantasan narkotik? Membiarkan seorang anggota TNI dengan sekian ribu ekstasi dan shabu-shabu, dan membiarkannya tak disentuh hukum, sungguh bukan teladan yang baik bagi upaya pemberantasan musuh utama generasi muda bangsa ini. Lagi pula, dengan jumlah narkoba sebanyak yang dimilikinya, diduga Agus bukan sekadar pemakai. Kalau Agus bergerak sendirian, soalnya tak terlalu mengkhawatirkan. Tapi, kalau ia kelak terbukti sebagai bagian dari jaringan mafia narkotik, urusan bisa jadi sangat runyam. Di titik inilah letak urgensinya pihak militer menyidangkan Agus Isrok: sebagai bukti nyata bahwa aktivitas Agus terpisah dari kegiatan institusi TNI.
Jika TNI lulus ujian dengan membawa si bersalah ke pengadilan dan memberinya hukuman yang adil, barangkali peristiwa ini bisa menjadi satu momentum baru untuk sebuah perubahan yang besar artinya untuk negeri: kelompok bersenjata pun ikut dalam arus perubahan masyarakat. Dan itulah sumbangan penting TNI untuk proses demokratisasi di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini