Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Wiranto Masuk Politik? Mengapa Tidak...

Setelah dinonaktifkan dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal Wiranto rajin berkampanye di media massa. Sebaiknya memasuki dunia politik saja.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan-pekan ini Jenderal Wiranto tampil beda. Masyarakat yang terbiasa dengan citra bekas Panglima TNI ini sebagai tokoh yang serius, berwibawa—bahkan ada yang menyebutnya galak—kini melihat sisi lain penggemar lagu My Way itu. Setelah sempat terlihat marah usai menghadiri acara pelantikan penggantinya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim, Wiranto seperti berkampanye senyum di media massa. Ia bicara santai di stasiun televisi RCTI dan SCTV dan melakukan dialog interaktif di beberapa radio di Ibu Kota (lihat halaman 28-29). Para pembantu dekatnya mengatakan, yudoka berban hitam ini memang ingin menampilkan sisi humanisnya kepada publik sebagai bagian dari upaya keluar dari jepitan opini publik yang melihatnya hanya dari sisi gelap saja. Upaya ini tentu sah-sah saja dan kelihatannya cukup berhasil. Jangankan kawan, pihak lawan pun mengaku kagum atas penampilan Wiranto, yang terlihat tenang dan tabah di saat sulit. Sebuah nilai positif dalam budaya Indonesia saat ini, bahkan merupakan modal yang baik bagi mereka yang ingin menjadi tokoh publik seperti politisi. Wiranto menjadi politisi? Mengapa tidak. Jenderal berbintang empat ini akan pensiun mulai 1 April mendatang dan ia masih muda, baru 53 tahun. Pengalaman politiknya di tingkat elite juga segudang, termasuk pada saat-saat kritis seperti lengsernya Soeharto, masa Habibie menjadi presiden, dan ketika pemilihan umum ataupun Sidang Umum MPR yang menegangkan itu berlangsung. Lagi pula, seandainya Wiranto memutuskan masuk politik, ia punya waktu hampir lima tahun untuk membuat partai sendiri atau masuk partai yang sudah ada dan membangun dukungan di kalangan akar rumput. Skenario seperti ini bukan tidak ada halangannya. Yang segera terlihat adalah soal tuduhan keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur menjelang, saat, dan setelah jajak pendapat berlangsung di bumi Loro Sa'e itu. Kesibukannya membela diri secara hukum dalam proses ini tentu akan menyita tenaga dan waktu. Tapi bukan lantas berarti tak ada waktu untuk politik. Soalnya, bila pemilik suara yang lumayan merdu ini masuk politik, peluang untuk menyelesaikan kasus ini secara politis juga semakin terbuka. Jadi, mengapa tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus