Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Zulkifli
Seorang anak muda pulang ke kampung halamannya di Gunung Kidul, Yogyakarta. Menyandang gelar doktor filsafat dari sebuah universitas ternama di Eropa, ia disambut bagai pahlawan oleh keluarga dan para tetangga. Bapak-ibunya bangga luar biasa. Adik-adik menganga melihat Kang Mas mereka sudah ”jadi orang”. Pesta syukuran disiapkan. Orang sekampung diundang.
Ketika pesta hampir usai, seorang lelaki tua mendekati anak muda tadi dan mengajukan pertanyaan remeh. ”Nak, kamu sekarang ahli filsafat. Sebenarnya filsafat itu apa?” Anak muda itu mengernyitkan dahi. Tak mudah baginya menjelaskan makna filsafat kepada rakyat jelata.
Ia sibuk mencari metafora, dan dalam beberapa menit ia mendapatkannya. ”Begini, Pak De,” katanya.
”Di depan kita ada sepiring ayam goreng.”
Pak De menunggu.
”Buat Pak De dan kebanyakan orang kampung di sini, ayam goreng ini tentu hanya bermakna ayam.”
”Maksudmu?” tanya Pak De semakin tak mengerti.
”Buat filsuf seperti saya, ayam goreng bermakna lebih luas: bukan sekadar soal ayam, melainkan ’keayaman’.”
”Keayaman?” Pak De tak paham dan menggerundel pelan. Katanya, ”Aku mau makan ayam, monggo sampeyan makan ’keayaman’ saja.”
Ini tentu bukan kisah nyata. Seorang teman menceritakannya kepada saya dengan maksud menyindir orang yang suka berbahasa ”sulit”. Di mata Kang Filsuf tadi, di dunia ini tak ada yang sederhana. Semua harus ruwet dan disampaikan dengan canggih. Ndakik-ndakik, bahasa Jawanya.
Berbahasa ruwet disebabkan oleh dua kemungkinan. Si pengucap bahasa ingin tampak pintar, atau sejak dari alam pikir ia tak sederhana. Dalam sebuah rapat evaluasi di redaksi Tempo, ada teman yang memberikan contoh bagus tentang beda antara orang yang berbahasa sederhana dan yang ruwet. Yang sederhana berkata, ”Saya pergi ke pasar”. Yang ruwet, ”Otak saya telah memerintahkan kaki saya untuk melangkah ke pasar.”
Berbahasa ruwet berbeda dengan berbahasa kompleks. Yang kedua mengacu pada konsep yang tak sederhana yang dibahasakan dengan cara tertentu hingga ”ketidaksederhanaan konsep” itu dengan terang sampai kepada lawan bicara. Yang pertama, dasarnya tak melulu konsep yang kompleks tapi, ya, jadi ruwet karena persoalan ndakik-ndakik tadi.
Cerita di bawah ini mungkin bisa jadi contoh bahasa ruwet. Seorang sarjana yang menyandang dua gelar master menulis artikel untuk sebuah buku. Saya kutipkan sepenggal saja. ”Era reformasi tidak hanya membawa Indonesia pada kebebasan publik, namun juga memicu beberapa permasalahan yang sempat lama terpendam atau berlanjut kembali setelah masa Orde Baru”. Kalimat itu sebetulnya bisa disederhanakan menjadi, ”Reformasi di Indonesia selain membawa kebebasan juga memunculkan kembali masalah yang pernah ada di masa Orde Baru.
Kata dan kalimat ruwet juga ciri pejabat—sejak zaman Orde Baru dan berlanjut sampai sekarang. Khusus pejabat, motif berbahasa ruwet tidak melulu untuk memberikan kesan pintar, tapi juga untuk memberikan makna jamak. Orang bilang, politisi selalu mendua dalam berbahasa. Kalau makna yang satu tak menguntungkan dan bikin masalah, ia bisa berbelok ke makna yang lain.
Ini contoh paling baru. Di Helsinki, Finlandia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melempar janji. Tentang penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, ia berkata pemerintah akan merevitalisasi Tim Munir.
Revitalisasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata itu bermakna proses, cara, perbuatan memvitalkan (menjadikan vital). Adapun vital berarti sangat penting (untuk kehidupan).
Lalu apa arti revitalisasi Tim Munir? Kalau yang dimaksudnya adalah Tim Pencari Fakta Kasus Munir—lembaga yang dibentuk Presiden untuk mencari dalang pembunuhan itu—revitalisasi rasanya bukan kata yang cocok. Tim itu sudah dibubarkan, dan revitalisasi tidak pernah bermakna menghidupkan kembali sesuatu yang sudah mati atau tak ada. Membentuk tim baru? Memaksa polisi untuk bergerak? Entahlah.
Atau Presiden sedang mendua: mengatakan sesuatu yang bermakna jamak agar bisa ”dimainkan”? Saya tak ingin menuduh. Bahasa memang soal yang bisa sederhana, bisa ruwet. Tapi soal berbahasa, saya memilih yang sederhana: saya ingin makan ayam, bukan keayaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo