INI adalah suatu esei tentang keserakahan -- tapi mungkin juga
bukan. Sebab sesungguhnya tak ada orang yang bisa mengartikan
persis, apa definisi kata itu.
Keserakahankah memiliki lebih bnyak dari yang diperlukan?
Barangkali. Tapi orang pun bisa menjawab, bahwa dalam hidup kita
kini, begitu banyak hal yang semula sekedar keinginan kemudian
berkembang jadi keperluan. Ada yang butuh punya Volvo, ada yang
perlu jajan bakso. Mereka mengatakan, "manusia tak cuma hidup
dari nasi".
Ataukah keserakahan berarti mmiliki barang yang serupa dalam
jumlah berlebihan? Barangkali. Tapi di sini pun batasan
kuantitas tak selamanya memuaskan. Apa arti "berlebihan"?
Memiliki 15 buah becak dengan cat yang sama tak bisa dengan
serta merta dicurigai tamak. Tapi memiliki 15 eksemplar buku
telepon yang serupa adalah gejala kejiwaan yang aneh.
Kita memang tak tahu dengan tepat apa itu "keserakahan".
Atau barangkali kita perlu bercerita tentang Andrew Carnegie.
Menurut kategorisasi yang disusun Michael Maccoby, dalam buku
termasyhurnya tentang para manajer Amerika, The Gamesman,
Carnegie termasuk seorang jungle fighter: tokoh yang bergulat
dalam rimba bisnis.
Ia melihat hidup dan kerja ibarat rimba. Di sana orang memakan,
atau dimakan. Yang menang merontokkan yang kalah. Maka ideologi
sang jungle figbter adalah "kemajuan", dengan semacam Darwinisme
sosial: ia yakin bahwa siapa yang tak kuat akan binasa.
Demikianlah Carnegie, industrialis Amerika dari abad yang lalu
itu, selalu membuka diri buat teknik baru di bidang industri dan
keuangan -- asal meningkatkan laba. Dialah contoh utama
entrepreneur Amerika dalam zaman yang penuh gairah. Dia sukses
dan sejarah mencatatnya kagum. "Tapi," tulis Maccoby,
"hubungannya dengan rekanrekan bisnis merupakan kisah tentang
manipulasi, bujukan serta pengkhianatan ".
Adakah Carnegie, si pembangun industri baja itu, yang konon
pandai menelan si kecil dengan sekali sedot, dengan demikian
contoh keserakahan? Melihat pengakuannya, kita tak bisa pasti.
"Adalah proses mengejar kekayaan itu yang menggairahkan hidup,"
katanya kemudian dalam usia lanjut. "Buruan yang telah ditembak,
ikan yang telah ditangkap, segera jadi menjijikkan setelah satu
jam."
Ditinjau dari "ikan" yang dikumpulkannya, Carnegie sebenarnya
tak punya hasil yang menjijikkan. Ia bukan seorang buncit yang
loba. Pensiun dari bisnis, ia jadi penyumbang besar yang namanya
kekal untuk perkembanan ilmu dan kesenian. Kata "Carnegie" kini
lebih banyah dikaitkan dengan sebuah gedung konser terkenal
ketimbang dengan sederet pabrik.
Sudah tentu banyak orang akan berkeberatan, bila kita menyorot
keserakahan masa lalu dengan mata yang terpesona oleh filantropi
masa kemudian. Pragmatisme, yang cuma melihat hasil akhir suatu
upaya, konon tak ingin menangis untuk segala yang hancur dalam
proses.
Tapi yang hancur dalam proses barangkali bukan orang lain,
melainkan sebagian dari diri sendiri. Raja Midas, dalam dongeng,
pernah minta kepada para dewa agar apa saja yang disentuhnya
berubah jadi emas. Doanya dikabulkan. Tapi kita tahu apa yang
terjadi ketika ia mencium anak yang dikasihinya.
Dongeng itu memang dengan baik telah bercerita tentang
keserakahan dan korbannya yang terdekat, tentang harta yang
tumbuh dan cinta yang macet. Kuno dan moralistis? Dalam Tbe
Gamesman Maccoby menunjukkan 250 orang Midas modern. Ia, ahli
psikologi sosial dan klinis dari Harvard, rekan sekerja Erich
Fromm, meneliti sikap dan pandangan 250 orang eksekutif dan
manajer perusahaan-perusahaan besar Amerika. Hasilnya
mengejutkan para manajer sendiri: dalam suasana kerja mereka
yang sukses, ternyata kasih sayang, idealisme, dan compassion
tidak pernah berkembang. Kepala mereka menjangkau ke angkasa,
tapi hati mereka kering..
Orang mengatakan, bahwa ambisi dan kompetisi tak membutuhkan
hati yang peka, dan keserakahan tetap tak bisa didefinisikan.
Tapi mengapa Midas tak jadi berbahagia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini