Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tentang keserakahan

Sesungguhnya tak ada yang bisa mendefinisikan secara tepat arti keserakahan. orang selalu berambisi untuk bergelimang sukses dengan segala cara. kepala mereka menjangkau angkasa, tapi hatinya kering.

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI adalah suatu esei tentang keserakahan -- tapi mungkin juga bukan. Sebab sesungguhnya tak ada orang yang bisa mengartikan persis, apa definisi kata itu. Keserakahankah memiliki lebih bnyak dari yang diperlukan? Barangkali. Tapi orang pun bisa menjawab, bahwa dalam hidup kita kini, begitu banyak hal yang semula sekedar keinginan kemudian berkembang jadi keperluan. Ada yang butuh punya Volvo, ada yang perlu jajan bakso. Mereka mengatakan, "manusia tak cuma hidup dari nasi". Ataukah keserakahan berarti mmiliki barang yang serupa dalam jumlah berlebihan? Barangkali. Tapi di sini pun batasan kuantitas tak selamanya memuaskan. Apa arti "berlebihan"? Memiliki 15 buah becak dengan cat yang sama tak bisa dengan serta merta dicurigai tamak. Tapi memiliki 15 eksemplar buku telepon yang serupa adalah gejala kejiwaan yang aneh. Kita memang tak tahu dengan tepat apa itu "keserakahan". Atau barangkali kita perlu bercerita tentang Andrew Carnegie. Menurut kategorisasi yang disusun Michael Maccoby, dalam buku termasyhurnya tentang para manajer Amerika, The Gamesman, Carnegie termasuk seorang jungle fighter: tokoh yang bergulat dalam rimba bisnis. Ia melihat hidup dan kerja ibarat rimba. Di sana orang memakan, atau dimakan. Yang menang merontokkan yang kalah. Maka ideologi sang jungle figbter adalah "kemajuan", dengan semacam Darwinisme sosial: ia yakin bahwa siapa yang tak kuat akan binasa. Demikianlah Carnegie, industrialis Amerika dari abad yang lalu itu, selalu membuka diri buat teknik baru di bidang industri dan keuangan -- asal meningkatkan laba. Dialah contoh utama entrepreneur Amerika dalam zaman yang penuh gairah. Dia sukses dan sejarah mencatatnya kagum. "Tapi," tulis Maccoby, "hubungannya dengan rekanrekan bisnis merupakan kisah tentang manipulasi, bujukan serta pengkhianatan ". Adakah Carnegie, si pembangun industri baja itu, yang konon pandai menelan si kecil dengan sekali sedot, dengan demikian contoh keserakahan? Melihat pengakuannya, kita tak bisa pasti. "Adalah proses mengejar kekayaan itu yang menggairahkan hidup," katanya kemudian dalam usia lanjut. "Buruan yang telah ditembak, ikan yang telah ditangkap, segera jadi menjijikkan setelah satu jam." Ditinjau dari "ikan" yang dikumpulkannya, Carnegie sebenarnya tak punya hasil yang menjijikkan. Ia bukan seorang buncit yang loba. Pensiun dari bisnis, ia jadi penyumbang besar yang namanya kekal untuk perkembanan ilmu dan kesenian. Kata "Carnegie" kini lebih banyah dikaitkan dengan sebuah gedung konser terkenal ketimbang dengan sederet pabrik. Sudah tentu banyak orang akan berkeberatan, bila kita menyorot keserakahan masa lalu dengan mata yang terpesona oleh filantropi masa kemudian. Pragmatisme, yang cuma melihat hasil akhir suatu upaya, konon tak ingin menangis untuk segala yang hancur dalam proses. Tapi yang hancur dalam proses barangkali bukan orang lain, melainkan sebagian dari diri sendiri. Raja Midas, dalam dongeng, pernah minta kepada para dewa agar apa saja yang disentuhnya berubah jadi emas. Doanya dikabulkan. Tapi kita tahu apa yang terjadi ketika ia mencium anak yang dikasihinya. Dongeng itu memang dengan baik telah bercerita tentang keserakahan dan korbannya yang terdekat, tentang harta yang tumbuh dan cinta yang macet. Kuno dan moralistis? Dalam Tbe Gamesman Maccoby menunjukkan 250 orang Midas modern. Ia, ahli psikologi sosial dan klinis dari Harvard, rekan sekerja Erich Fromm, meneliti sikap dan pandangan 250 orang eksekutif dan manajer perusahaan-perusahaan besar Amerika. Hasilnya mengejutkan para manajer sendiri: dalam suasana kerja mereka yang sukses, ternyata kasih sayang, idealisme, dan compassion tidak pernah berkembang. Kepala mereka menjangkau ke angkasa, tapi hati mereka kering.. Orang mengatakan, bahwa ambisi dan kompetisi tak membutuhkan hati yang peka, dan keserakahan tetap tak bisa didefinisikan. Tapi mengapa Midas tak jadi berbahagia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus