UMAR Kayam berhasil menampilkan wajah Obahorok yang lain dalam
tulisannya di TEMPO 9 Juni. Obahorok yang utuh, wajar dan segar
seperti 'dari sana'nya, waktu datang bertamu ke Jakarta. Konon
juga kedudukan ubi di perutnya tidak berhasil digeser oleh
berbagai makanan enak di Jakarta. Hanya kita tidak tahu persis
bagaimana sikapnya kalau menerima tamu yang datang ke rumahnya
di Baliem.
Kiranya tetap wajar, tanpa merasa harga dirinya berkurang. Pasti
dia tidak repot mencari apalagi mencuri mentega untuk melapis
ubinya, agar si tamu merasa sedikit at home di bidang
tenggorokan. Juga tidak usah mengerahkan isterinya pinjam tepung
kopi tetangga yang sudah pasti tidak ada. Kalau menang begitu,
maka sempurnalah kewajaran orang tua itu.
Lain Obahorok, lain si Oban dari Torok Golo. Saudara kita yang
terakhir ini tidak sampai hati menjamu tamunya pas-pas. Dia
kalau perlu mengerahkan kemampuan orang lain ya, berhutang
dulu. Gaya si Oban menerima tamu nampaknya sudah merupakan sikap
umum masyarakatnya, bahkan diwujudkan lebih resmi oleh bupatinya
sendiri.
Aneh? Tidak juga. Hanya membeli kain-kain adat dari pedagang di
pasar dengan "harga damai", dan bayar kemudian. Soal si pedagang
jadi macet dagangannya, itu soal lain. Yang jadi soal bagaimana
membuat tamu tertawa senang membawa pulang oleh-oleh yang khas.
Makanan si tamu, harus mendekati kelas restoran mahal di kota
besar. Dan itu hanya bisa dibikin oleh Cina-Cina tua jago masak.
Jadilah hutang makan dll. untuk tamu sebagai utang khusus.
Barangkali menyadari ketidakwajaran seperti ini Menteri Sosial
Supardjo waktu ke Lombok perlu mengingatkn agar tidak mengambil
dari dana bantuan bencana alam untuk menjamu pengunjung. Kalau
perlu bawa makan masing-masing.
Menghadapi tamu luar negeri begitu juga malah kadang lebih "baik
hati". Misalnya saja: sudah jelas ditentukan dalam pasal 11 UU
No. 1 Thn. 1967 tentang PMA, bahwa perusahaan asing hanya boleh
mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pimpinan dan tenaga ahli
-- untuk jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja
Indonesia. Tetapi sampai saat ini berapa orang sudah yang kita
dengar disuruh pulang karena kerja di sini bukan sebagai
pimpinan dan ahli? Berapa orang asing diusir karena baru
sampai di Indonesia belajar jadi ahli? Sudahlah. Karena nanti
kita susah sendiri, kalau investor itu lari ke negeri lain.
Mereka harus kerasan di sini.
Alasan takut investor asing pada lari akhir-akhir ini makin
membias kepada banyak hal. Misalnya kegiatan kaum buruh yang
sedikit melakukan gerak badan semacam 'tarik napas' untuk minta
tambah nasi. Begitu saja diperingatkan, agar hati-hati supaya
calon investor asing tidak merasa di negeri ini buruh ribut
melulu. Kita tidak mau tahu bahwa di negeri asal si investor
kaum buruhnya tidak sekedar tarik napas lagi, malah sering
berkelahi memperjuangkan hak mereka.
Kalau tidak salah alasan-investor ini terlengar juga dari
Semarang, waktu menghadapi soal pencemaran oleh pabrik Calcium
Citrat SDC (Semarang Diamond Chemical). Soalnya ganti rugi biasa
-- karena tanah dan sawah orang kampung jadi rusak kena bahan
keras dari itu pabrik, Team ganti rugi menaksir kerugian
meliputi sekitar Rp 120 juta. Tetapi pihak perusahaan hanya
sanggup bayar Rp 5 juta. Rasanya susah bertemu. Wajarnya dalam
soal begini kerugian yang telah diderita. Itu harus dibayar.
Kalau perlu tutup itu pabrik.
Soalnya memang tidak begitu sederhana, perlu banyak
pertimbangan. Terlebih untuk tidak sampai "merusak wajah Jawa
Tengah" di mata para investor. Tetapi sampai sekarang saya
sendiri begitu yakin, bahwa para investor akan lebih tertarik
kalau mereka tahu kita benar-benar tegas dalam menegakkan hukum.
Bahwa benar ada kepastian hukum, tidak "bisa diatur" seperti
yang mereka sering dengar dari rekannya seusaha.
Untuk amannya, pakai saja gaya Obahorok yang seadanya. Hanya
mungkin untuk ini perlu keberanian tersendiri. Untuk mengatakan
yang wajar sebagai hal wajar Bukan sebaliknya.
OTTO D. GAOET
Kantor Klinik Hukum Peradin,
Jl. H. Agus Salim 57 (Lantai II),
Jakarta Pusat.
Liburan Puasa: Puasa Katolik & Liburan Pegawai
Yth. drs. J.C. Tarunasayoga (TEMPO 16 Juni, Komentar). Memang
betul, bukan saja orang Islam yang mempraktekkan puasa. Namun,
sepengetahuan kami puasa yang dijalankan orang Katolik jauh
berbeda dengan puasa yang dijalankan orang Islam. Harapan kami,
sebagai seorang penghulu agama (pastor) sebaiknya jangan
mengambil suatu keputusan sebelum dipelajari.
ALIMUDDIN PATURUSI
IAIN Alauddin Cabang Kendari,
Kendari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini