Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang obahorok: dan "jamuan buat...

Komentar terhadap tulisan umar kayam tempo 9 juni 1979. dinyatakan dalam tulisan ini bahwa para investor lebih baik kita perlakukan menurut hukum atau diperlakukan seadanya seperti suku obahorok. (kom)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMAR Kayam berhasil menampilkan wajah Obahorok yang lain dalam tulisannya di TEMPO 9 Juni. Obahorok yang utuh, wajar dan segar seperti 'dari sana'nya, waktu datang bertamu ke Jakarta. Konon juga kedudukan ubi di perutnya tidak berhasil digeser oleh berbagai makanan enak di Jakarta. Hanya kita tidak tahu persis bagaimana sikapnya kalau menerima tamu yang datang ke rumahnya di Baliem. Kiranya tetap wajar, tanpa merasa harga dirinya berkurang. Pasti dia tidak repot mencari apalagi mencuri mentega untuk melapis ubinya, agar si tamu merasa sedikit at home di bidang tenggorokan. Juga tidak usah mengerahkan isterinya pinjam tepung kopi tetangga yang sudah pasti tidak ada. Kalau menang begitu, maka sempurnalah kewajaran orang tua itu. Lain Obahorok, lain si Oban dari Torok Golo. Saudara kita yang terakhir ini tidak sampai hati menjamu tamunya pas-pas. Dia kalau perlu mengerahkan kemampuan orang lain ya, berhutang dulu. Gaya si Oban menerima tamu nampaknya sudah merupakan sikap umum masyarakatnya, bahkan diwujudkan lebih resmi oleh bupatinya sendiri. Aneh? Tidak juga. Hanya membeli kain-kain adat dari pedagang di pasar dengan "harga damai", dan bayar kemudian. Soal si pedagang jadi macet dagangannya, itu soal lain. Yang jadi soal bagaimana membuat tamu tertawa senang membawa pulang oleh-oleh yang khas. Makanan si tamu, harus mendekati kelas restoran mahal di kota besar. Dan itu hanya bisa dibikin oleh Cina-Cina tua jago masak. Jadilah hutang makan dll. untuk tamu sebagai utang khusus. Barangkali menyadari ketidakwajaran seperti ini Menteri Sosial Supardjo waktu ke Lombok perlu mengingatkn agar tidak mengambil dari dana bantuan bencana alam untuk menjamu pengunjung. Kalau perlu bawa makan masing-masing. Menghadapi tamu luar negeri begitu juga malah kadang lebih "baik hati". Misalnya saja: sudah jelas ditentukan dalam pasal 11 UU No. 1 Thn. 1967 tentang PMA, bahwa perusahaan asing hanya boleh mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pimpinan dan tenaga ahli -- untuk jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia. Tetapi sampai saat ini berapa orang sudah yang kita dengar disuruh pulang karena kerja di sini bukan sebagai pimpinan dan ahli? Berapa orang asing diusir karena baru sampai di Indonesia belajar jadi ahli? Sudahlah. Karena nanti kita susah sendiri, kalau investor itu lari ke negeri lain. Mereka harus kerasan di sini. Alasan takut investor asing pada lari akhir-akhir ini makin membias kepada banyak hal. Misalnya kegiatan kaum buruh yang sedikit melakukan gerak badan semacam 'tarik napas' untuk minta tambah nasi. Begitu saja diperingatkan, agar hati-hati supaya calon investor asing tidak merasa di negeri ini buruh ribut melulu. Kita tidak mau tahu bahwa di negeri asal si investor kaum buruhnya tidak sekedar tarik napas lagi, malah sering berkelahi memperjuangkan hak mereka. Kalau tidak salah alasan-investor ini terlengar juga dari Semarang, waktu menghadapi soal pencemaran oleh pabrik Calcium Citrat SDC (Semarang Diamond Chemical). Soalnya ganti rugi biasa -- karena tanah dan sawah orang kampung jadi rusak kena bahan keras dari itu pabrik, Team ganti rugi menaksir kerugian meliputi sekitar Rp 120 juta. Tetapi pihak perusahaan hanya sanggup bayar Rp 5 juta. Rasanya susah bertemu. Wajarnya dalam soal begini kerugian yang telah diderita. Itu harus dibayar. Kalau perlu tutup itu pabrik. Soalnya memang tidak begitu sederhana, perlu banyak pertimbangan. Terlebih untuk tidak sampai "merusak wajah Jawa Tengah" di mata para investor. Tetapi sampai sekarang saya sendiri begitu yakin, bahwa para investor akan lebih tertarik kalau mereka tahu kita benar-benar tegas dalam menegakkan hukum. Bahwa benar ada kepastian hukum, tidak "bisa diatur" seperti yang mereka sering dengar dari rekannya seusaha. Untuk amannya, pakai saja gaya Obahorok yang seadanya. Hanya mungkin untuk ini perlu keberanian tersendiri. Untuk mengatakan yang wajar sebagai hal wajar Bukan sebaliknya. OTTO D. GAOET Kantor Klinik Hukum Peradin, Jl. H. Agus Salim 57 (Lantai II), Jakarta Pusat. Liburan Puasa: Puasa Katolik & Liburan Pegawai Yth. drs. J.C. Tarunasayoga (TEMPO 16 Juni, Komentar). Memang betul, bukan saja orang Islam yang mempraktekkan puasa. Namun, sepengetahuan kami puasa yang dijalankan orang Katolik jauh berbeda dengan puasa yang dijalankan orang Islam. Harapan kami, sebagai seorang penghulu agama (pastor) sebaiknya jangan mengambil suatu keputusan sebelum dipelajari. ALIMUDDIN PATURUSI IAIN Alauddin Cabang Kendari, Kendari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus