SEPOTONG papan putih terpasang pagi 5 Juli lalu, di depan gapura
makam Bung Karno di Blitar. Tertulis dengan spidol hitam
pengumuman Walikota Blitar. Isinya: Makam sedang dibersihkan
hingga untuk sementara ditutup untuk umum. Rupanya pengumuman
itu dianggap belum cukup, hingga pintu makam juga diblokir
dengan beberapa drum. Beberapa polisi juga tampak menjaga di
samping regu Hansip yang biasanya bertugas.
Karuan saja penutupan itu mengecewakan pengunjung, termasuk
suatu rombongan dari Jakarta. "Padahal pagi harinya masih
terbuka," ujar Yusuf Hasyim, salah satu ketua PB NU pada Dahlan
Iskan dari TEMPO. Yusuf Hasyim datang dalam suatu rombongan 25
orang dari Jakarta yang diatur oleh biro perjalanan Tambora
Pariwisata.
Yang turut serta antara lain: bekas Menlu Prof. Soenario, bekas
Jaksa Agung Letjen Sugiharto, Mayjen Soekendro, Brigjen (Purn.)
Tjandra Hassan, bekas Komandan Kohanudnas Marsdya Soejitno
Soekirno, Sekjen PB NU Moenasir, Dr. Wahyu Kusumanegara Sekjen
Organisasi Islam Internasional, Brigjen Pol. Jassin, Ny. Soepeni
dan Manai Sophian. Yang sedianya ikut tapi urung berangkat
antara lain bekas Kapolri Hugeng dan Mayjen Mokoginta.
"Wah, kalau begini caranya saya tidak mau berbicara," ujar bekas
Jaksa Agung Letjen Sugiharto setelah melihat situasi di depan
makam itu. Maksudnya, ia urung mengucapkan ikrar yang telah
disetujui malam sebelumnya. Menurut ketua rombongan Surowo
Abdulmanap dari DHD Angkatan 45 DKI Jaya dan juga ketua Himpunan
Pengusaha Kecil Indonesia, tujuan rombongan ini selain untuk
berziarah juga untuk memperingati 20 tahun Dekrit 5 Juli 1959
yang diucapkan Bung Karno yang memutuskan kembali berlakunya UUD
1945.
Trisakti Tavip
Ikrar ini dirumuskan 4 Juli malam dalam suatu pertemuan di
Hotel Pelangi, Malang, tempat sebagian besar anggota rombongan
menginap. Isinya kesepakatan untuk meneruskan cinta dan
cita-cita Bung Karno Berdaulat dalam bidang politik, berdikari
dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Semboyan ini pernah terkenal sebagai Trisakti Tavip yang
disarikan dari pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1964.
Kemungkinan tidak diizinkannya rombongan memasuki makam Bung
Karno memang telah diperhitungkan dalam pertemuan di Hotel
Pelangi itu. Rencananya, rombongan ini akan menyelenggarakan
semacam mimbar bebas, dengan pembicara antara lain Letjen
Sugiharto dan Yusuf Hasyim. Tapi penutupan makam mendadak dengan
alasan "pembersihan" itu agaknya mengurungkan semua acara yang
direncanakan. Usaha menghubungi Walikota Blitar oleh seorang
anggota rombongan gagal karena Walikota "tidak berada di
tempat."
Di Jakarta sendiri, 5 Juli berlalu tanpa peringatan resmi
apapun juga. Mengapa ada kelompok yang menganggap perlu
memperingatinya secara khusus, di tempat yang khusus juga?
"Ini salah satu bentuk ekspresi dari keresahan," komentar Dr.
Yusuf Ismail, Direktur Leppenas dan Dubes RI di Jerman Barat. Ia
dikabarkan termasuk dalam rombongan Yusuf Hasyim dkk "tapi
sebetulnya saya pergi ke Malang untuk menengok ibu dan hanya
kebetulan menginap di hotel yang sama dengan rombongan itu."
Menurut pendapatnya, keresahan di kalangan "elite." ini bertolak
dari kurangnya kebebasan menyampaikan pendapat. "Kurang merasa
boleh ikut serta bertanggungjawab untuk kepentingan bangsa dan
negara," katanya pekan lalu pada A. Muthalib dari TEMPO. Dan
kalangan elite biasanya merasa risih untuk datang mengadu ke
DPR.
Bertele-tele
5 Juli pernah dianggap sebagai salah satu peristiwa sejarah
terpenting di Indonesia. Setelah 9 tahun mempraktekkan UUD
Sementara 1950, RI memutuskan kembali ke UUD 1945 yang oleh Bung
Karno dirumuskan sebagai "Penemuan Kembali Revolusi Kita."
"Konstituante hasil Pemilu 1955 macet setelah bersidang hampir 3
tahun antara 1956-1959," kata Roeslan Abdulgani yang waktu itu
menjabat Sekretaris Dewan Nasional. Sedang di luar tempat
sidang Konstituante di Bandung, terjadi keresahan dan
pergolakan, seperti pemberontakan PRRI/Permesta dan subversi
luar negeri, yang cukup menggoncangkan kelangsungan hidup
negara. Tambah lagi, persaingan di antara partai yang jumlahnya
hampir 30 buah sangat besar Sementara keadaan ekonomi menambah
kesulitan dan keresahan masyarakat.
Melihat kemacetan itu, kabinet Juanda, Dewan Nasional dan ABRI
berusaha mencari jalan keluar. Ketiganya sepakat untuk
mengadakan intervensi. "Cuma yang dimasalahkan waktu itu adalah
caranya. Lewat pintu depan atau pintu belakang. Akhirnya
diputuskan untuk memanfaatkan karisma Bung Karno mendobrak
kemacetan lewat pintu depan," ujar Roeslan.
Pendobrakan dilakukan 22 April 1959. Bung Karno selaku Presiden
dan Ketua Dewan Nasional, seluruh anggota Kabinet dan pimpinan
ABRI, datang ke Bandung. Dihadiri 464 dari 532 anggota
Konstituante, Bung Karno mengucapkan pidatonya: Res Publica,
Sekali Lagi Res Publica yang mengajak Konstituante untuk tidak
bertele-tele merencanakan UUD baru dan kembali saja pada UUD
1945. Jalan konstitusionil ini diambil setelah sebelumnya, pada
19 Februari 1959 Pemerintah resmi mengajukan permintaan yang
sama. Guna meredakan tantangan kelompok Islam, Pemerintah dalam
usul itu meyatakan Piagam Jakarta "menjiwai UUD 1945 dan
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi
tersebut."
Di Konstituante terdapat dua pendapat. Kelompok Islam yang
menuntut masukkannya secara lengkap Piagam Jakarta dalam UUD
1945 dan bukan sekadar pengakuan akan dokumen historis dan
kelompok lain yang mendukung sepenuhnya usul pemerintah itu.
Angkatan Darat, yang saat itu makin penting peranannya,
merupakan pendorong utama di belakang gerakan ini. Pada gustus
1958 KSAD secara resmi usulkan pada Presiden untuk kembali ke
UUD 1945.
Front Pembebasan
Sebelumnya kelompok Islam menganggap usul kembali ke UUD 1945
sebagai usaha "percobaan baru". UUD 45 dianggap terlalu
sederhana. Tindakan ketatanegaraan yang menurut UUDS 1950
dianggap penyelewengan dalam UUD 1945 tidak dianggap
penyelewengan. "UUDS 1950 lebih sempurna dan lebih terperinci
daripada UUD 1945," kata SM Abidin dari fraksi Masyumi dalam
salah satu sidang Konstituante.
UUDS 1950, kata Abidin, disusun dalam suasana di mana orang
lebih bebas berbuat dan berpikir dan dibuat juga setelah 5 tahun
berpengalaman dalam menjalankan UUD 1945. Hak asasi dan
kebebasan warganegara lebih terjamin dalam UUDS 1950. Ini
berarti pengorbanan yang sangat besar di pihak rakyat dan
keleluasaan yang sangat besar di pihak penguasa. "Nanti rakyat
harus memperjuangkan hak-hak itu kembali dari tangan
pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Memperjuangkan hak-hak asasi
dari tangan bangsa sendiri lebih sukar dan lebih berat daripada
memperjuangkannya dari tangan bangsa asing," kata Abidin.
Awal Juli 1959 Konstituante macet total. Dua kali pemungutan
suara tidak ada yang berhasil memperoleh 2/3 suara yang
diperlukan. Karena waktu itu Presiden sedang di luar negeri,
KSAD sebagai penguasa darurat dengan persetujuan Perdana
Menteri, menghentikan sementara kegiatan politik. Sekembali
Presiden, Minggu 5 Juli diadakan sidang kabinet di Bogor,
dihadiri KSAD dan Ketua Mahkamah Agung yang merumuskan Dekrit
berdasar hukum darurat negara. Sorenya, pukul 17.00 Presiden
Soekarno mengumumkan Dekrit itu di serambi Istana Merdeka di
depan massa rakyat yang dikerahkan Front Nasional Pembebasan
Irian Barat.
Betulkah tidak ada yang memperingati 5 Juli itu? Bekas Ketua
Konstituante Wilopo, ternyata mengadakan semacam selamatan
secara kekeluargaan -- khusus di kalangan bekas anggota PNI --
di rumahnya. "Bung Karno salah satu guru saya, jadi saya perlu
memperingatinya," katanya. Yang belum jelas ialah apakah Dekrit
5 Juli juga diperingati dengan mencatat juga pertentangan di
sekitarnya -- termasuk suara seperti yang diutarakan Abidin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini