Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cerita Dari Beberapa Kota

Pengadilan terhadap mahasiswa di beberapa kota masih berlangsung. Dituduh menghina terhadap kepala negara atau penguasa umum. Pledoi mahasiswa ITB yang dibukukan dilarang beredar. (nas)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI ditahan 1 tahun lebih, Moh. Sholeh, 25 tahun, malah agak gemuk. Rambutnya gondrong. Mengenakan jaket biru ITS dan celana putih, Selasa pekan lalu bekas Sekretaris Umum DM ITS itu mendengarkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, setelah bersidang 26 kali sejak 5 bulan lalu. Dalam vonis sepanjang 21 folio tulis tangan itu, Sholeh dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 6 bulan potong tahanan sementara. Sholeh tampak gembira saja. Malah kemudian ia berteriak lantang kepada para mahasiswa yang hadir. "Bagaiana teman-teman? Diterima atau ditolak?" "Ditolaaak!" jawab para mahasiswa yang hari itu hadir 2 kali lipat dari biasanya. Beberapa gerombol di antaranya duduk di lantai. "Nah, Bu Hakim, saya menolak," tukas Sholeh kepada Hakim Ketua Nyonya Wahyudi SH. Adegan semacam itu juga berlangsung di Pengadilan Negeri DIY di Semaki, Yogya, Senin lalu. Ketika Majelis Hakim memutuskan hukuman penjara 2 tahun potong tahanan bagi Maqdir Ismail, 25 tahun, bekas Ketua Departemen Ekstern DM UII itu juga minta pertimbangan para mahasiswa yang hadir: "Bagaimana teman-teman mahasiswa, kita terima atau naik banding?" Para mahasiswa pun serentak menjawab "Naik banding!" Tuduhan kepada sejumlah mahasiswa itu umumnya melakukan tindak pidana penghinaan terhadap Kepala Negara dan atau penguasa umum dan badan-badan umum lainnya. Sementara bekas Ketua Umum DM IKIP Malang, awal Juni lalu sudah dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 4 bulan oleh Pengadilan Negeri setempat, perkara di Ja-Tim tinggal satu Harun al-Rasyid, bekas Ketua Umum DM ITS. Mendobrak Belenggu Perkara yang di Medan, sampai akhir Juni lalu baru mendengarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum W. Sinaga. Terhadap ketiga tertuduh, Irwan Bahrum (bekas Ketua Umum DM USU), Fauzi Yusuf Hasibuan (bekas Sekretaris Umum DM USU) dan Yose Rizal (mahasiswa FT USU), Sinaga menuntut masing-masing 2 tahun penjara segera masuk, potong tahanan sementara. Di Jakarta, perkara sebagian besar baru dalam taraf pemeriksaan saksi. Misalnya perkara Lukman Hakim, Bram Zakir, Doddy Suriadiredja (UI), Hudari Hamid (IKIP) serta Nizar Dahlan dan Nazmi Ali Imron. Setelah beberapa sidang agak sepi, akhir-akhir ini tampak pengunjung kembali ramai. Hal itu lantaran Rektor UI Mahar Mardjono tampil sebagai saksi a decharge bagi Doddy dan Lukman Hakim. Minggu-minggu mendatang sidang diperkirakan juga akan ramai bila Rektor IKIP, Winarno Surachmad, jadi tampil sebagai saksi a decharge dalam perkara Hudari Hamid. Yang telah mencapai tingkat tuntutan adalah perkara Haryono Yusuf (bekas Sekjen DM IAIN) dan Rosmel Jalil/Indra Tjahya Kadi. Haryono dituntut 6 tahun sementara Rosmel/Indra 5 dan 4 tahun penjara. Di Bandung, perkara mahasiswa itu juga sudah sampai tingkat tuntutan. Yang menarik: para mahasiswa Bandung cenderung membukukan duplik atau pleidoinya. Pleidoi Ramles Manampang (ITB) setebal 180 halaman misalnya berjudul "Dari Kelabu ke Abu-abu" sedang duplik Iskadir Chottob (bekas Ketua Umum DM Unpad) diberi judul "Kembalikan Indonesia Kepadaku." Heri Akhmadi, bekas Ketua Umum DM ITB, juga membukukan pleidoinya, dengan judul "Mendobrak Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia. "Berukuran 21 x 16 cm, buku setebal 200 halaman itu dicetak rapi dengan kertas HVS. Dimuat pula 15 buah karikatur dan beberapa grafik. Naskah itu pernah dibacakan depan Pengadilan Negeri Bandung pada 7,8 dan 9 Juni lalu. Dengan kata pengantar dari Adnan Buyung Nasution, Heri memulai pembelaannya dengan mengutip sebuah adegan sandiwara dalam buku Max Havelaar karya Multatuli. "Saya mengutip karya Multatuli itu untuk mencoba mencari gambaran pembanding dari keadaan hukum dan pengadilan di Indonesia sekarang ini," tulis Heri. Buyung sendiri menulis dalam kata pengantarnya, "mereka melihat bahwa pada saat ini pengadilan sudah tidak lagi terjamin sebagai benteng keadilan." Inkonstitusionil Tapi buku itu, 3 Juli lalu, dilarang beredar di seluruh wilayah hukum Ja-Bar oleh Kejati setempat. Alasannya, "isinya dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum." Pelarangan yang juga berdasarkan permintaan Laksusda Ja-Bar itu juga mengutip pasal 1 UU No. 4/PNPS/1963. Reaksi pertama atas pelarangan itu datang dari Albert Hasibuan, ketua Persahi dan anggota Komisi III DPR-RI. Menurut Albert, wewenang pelarangan terhadap barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum hanya ada pada Jaksa Agung. Dan hal itu juga sesuai dengan bunyi UU No. 4/PNPS/1963 itu sendiri. Bisa diduga bila Senin siang kemarin muncul protes dari Bandung. Tim Koordinasi Pusat Pembelaan Mahasiswa -- ditandatangani Pj. Ketuanya Haryono Tjitrosubono -- menyatakan bahwa UU No. 4/PNPS/1963 itu sudah dicabut dan digantikan oleh UU No. 4/1967 pasal 1 seperti dijelaskan dalam penjelasan umum UU tersebut. Karenanya, Tim tersebut menilai pelarangan Kejati Ja-Bar sebagai inkonstitusionil. Sementara itu, juga di Bandung, Wakil Direktur LBH Minang Warman menyatakan bahwa ketika Heri membacakan pembelaannya, baik Majelis Hakim maupun Jaksa tidak keberatan dan tidak melarang. Dan buku tersebut sudah pula diserahkan kepada Majelis Hakim. Komite Pembelaan Mahasiswa ITB bahkan menyatakan pelarangan tersebut sebagai "penghinaan terhadap pengadilan." Juga sebagai "tindakan sewenang-wenang" yang menghalangi masyarakat untuk mengetahui proses pencarian keadilan. Protes-protes tersebut juga mengingatkan bahwa pembelaan Heri Akhmadi diucapkan dalam sebuah sidang pengadilan yang asasnya bebas dan terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus