Teori Bencana Menjalar JOHN A. KATILI* * Penulis adalah Penasihat Menteri Pertambangan dan Energi KETIKA Kabupaten Gorontalo diguncang gempa bumi yang berpusat di Laut Sulawesi beberapa waktu lalu, saya ditanyai sejumlah teman, "gunung api mana yang meletus?" Padahal, sejak SD kita tahu bahwa di Gorontalo tak ada gunung api. Sewaktu Gunung Unzen di Jepang mengembuskan awan panas, disusul semburan debu pekat Pinatubo di Filipina, orang pun mengkhawatirkan rangkaian letusan akan merambat ke Sulawesi Utara. Dalam pikiran awam, gempa bumi dan letusan gunung api dianggap dapat menjalar ke mana-mana. Bahkan, sebuah koran terkemuka di Jakarta pernah menulis, setelah letusan Pinatubo, maka kekuatan dahsyat dalam perut bumi ini akan menjalar ke Gorontalo, mengitari Samudera Pasifik dan setelah delapan hari mengguncang Gunung San Gabriel di Los Angeles. Gerakan itu, menurut penulisan naif ini bisa berbalik dan kemudian memorakporandakan Pulau Alor. Kesimpulan itu secara ilmiah jelas tak berdasar. Tambah lagi, "teori bencana menjalar" ini bisa membuat panik masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana itu. Sekembali dari lapangan meneliti gempa bumi beruntun (1990 dan 1991) di Kabupaten Bolaang Mongondou dan Gorontalo, saya menyimpulkan bahwa kedua gempa ini berkaitan erat dengan gerak sepanjang sistem patahan Gorontalo dan Atinggola. Kedua gempa itu tak ada kaitan sama sekali dengan kegiatan gunung api mana pun. Memang, pernah ada dugaan awam bahwa gempa bumi besar di Baguio, Filipina, (1990) telah menjalar ke Gorontalo (gempa Atinggola 1991). Hal ini tentu saja tak mungkin. Gempa Baguio berkaitan erat dengan sistem patahan Filipina yang memanjang 1.000 km lebih ke arah tenggara. Gempa Atinggola (Sul-Ut) berhubungan dengan sistem patahan Gorontalo. Jarak antara kedua patahan yang sejajar dan tak bersentuhan itu ratusan kilometer. Gempa Gorontalo dan Sulawesi Tengah terjadi karena gerak diferensial patahan Gorontalo dan Palu Koro. Kedua patahan kecil itu bergerak karena pergeseran patahan "raksasa" Sumatera dan Filipina ke arah tenggara. Keempat patahan itu berada di lempeng Asia Tenggara, dan tak ada kaitan sama sekali dengan patahan San Andreas di California. Dengan mempelajari peta tektonik di seputar Pasifik, terlihatlah adanya lempeng besar Pasifik yang stabil dan tak seis- mik. Lempeng ini dikelilingi sejumlah lempeng besar dan kecil, yang pinggirannya dibatasi oleh zone-zone penukikan atau subduksi dan patahan transform. Batas-batas lempeng ini sangat labil. Ada penukikan, pergeseran, dan benturan sesama kerak bumi. Maka, batas lempeng ditandai oleh gunung api aktif dan gempa kuat. Lempeng besar dan kecil ini tak punya batas langsung dengan yang lain. Antarlempeng terpisah satu sama lain oleh struktur-struktur kompleks yang dapat menjadi pusat pemekaran samudera, zone subduksi, atau patahan transform. Dengan demikian, istilah yang pernah dipakai, seperti zone Circum Pacific, Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) yang bisa menimbulkan konotasi perambatan atau migrasi gempa bumi dan letusan gunung api di sekitar Pasifik, tidaklah tepat. Yang benar ialah bahwa gempa bumi atau letusan gunung api bersifat lokal dan hanya terbatas pada lempeng tertentu. Letusan gunung api pada batas lempeng konvergensi berkaitan erat dengan zone subduksi atau penukikan kerak samudera di bawah kerak kontingen. Pada kedalaman kira-kira 125 km terjadi gesekan antara kedua lempeng, sedemikian rupa sehingga batuan menjadi cair dan membentuk magma. Melalui patahan atau rekahan, magma naik. Pada kedalaman antara 10 dan 15 km, dalam keadaan suhu dan tekanan tertentu terbentuklah kantung-kantung atau dapur magma. Dari sinilah melalui pipa kepundan, terjadi pasokan magma yang membentuk kerucut gunung api setelah lava menyembul ke muka bumi. Tempat perpotongan zone subduksi dengan permukaan kerak bumi bercirikan palung laut dalam. Karena itu, gunung api di Indonesia, Filipina, Jepang, bagian barat Amerika sejajar letaknya dengan palung laut dalam. Menurut beberapa teori, percepatan penunjaman zone subduksi ini dapat meningkatkan kegiatan gunung api secara lokal dalam batas lempeng tertentu. Letusan gunung api pada umumnya hanya membuat getaran-getaran kecil karena naiknya magma. Letusan katastrofal Krakatau pada tahun 1883, yang dianggap terbesar sepanjang sejarah manusia, tak mengakibatkan gempa tektonik di Banten atau Lampung. Tsunami atau gelombang pasang yang menelan korban 36.000 orang bukan diakibatkan oleh gempa bumi. Penyebabnya yakni tekanan gas yang sangat kuat, menjebol kompleks Krakatau. Semua gempa bumi besar -- 6-8 skala Richter -- disebut gempa tektonik. Ini berkaitan dengan batas lempeng, atau sering disebut gempa subduksi. Pusat-pusat gempa (hiposentrum) ini berada pada kedalaman 30 km sampai 700 km di sepanjang bidang sesar yang disebut zone Wadati-Benioff. Gempa subduksi dangkal yang letaknya dekat dengan palung laut dalam sangat berbahaya. Di Jepang, zone itu tak jauh dari pantai. Kalau terjadi guncangan gempa sampai 8 skala Richter, kota sekitar zone itu bisa porak-poranda. Gempa tektonik di kerak bumi yang bergerak mendatar sepanjang patahan transform sangat berbahaya. Misalnya San Francisco (1906), Padangpanjang (1926), Gorontalo (1941), dan Baguio (1990). Bertolak dari contoh-contoh itu, gempa-gempa besar sama sekali tak berkaitan dengan letusan gunung api. Namun, gempa tektonik yang sangat dahsyat kadang-kadang dapat memicu letusan gunung api. Contoh pengaruh langsung adalah letusan Gunung Una-Una (1988) di Sul-Teng. Sedang yang agak lama, misalnya, gempa Baguio (1990) yang menyebabkan letusan Gunung Pinatubo (1991). Gejala ini oleh para ahli gunung api disebut precursor. Memang, berdasarkan teori, penurunan tekanan dalam kerak bumi di wilayah gempa memungkinkan terbentuknya magma. Penurunan tekanan yang terjadi karena pelepasan energi sesudah gempa keras dapat memicu pembentukan magma asalkan suhu dan tekanan dapat membuat batuan itu meleleh. Karena itu, tak semua gempa keras serta-merta disusul letusan gunung api. Sebagai misal, letusan Gunung Galunggung yang diduga dipicu oleh gempa Garut (1979). Namun, itu tak diikuti letusan Gunung Papandayan atau Gunung Guntur yang berdekatan. Letusan Gunung Merapi dekat Yogya tak disusul Merbabu meskipun keduanya dijuluki gunung api kembar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini