Mereka bersikap golput karena percaya bahwa ikut pemilu itu durhaka pada Tuhan. LOMO Samosir, 67 tahun, petani dari Desa Tigadolok, di dekat Danau Toba, tak pernah kenal Arief Budiman. Namun, Lomo punya sikap yang mirip doktor lulusan Universitas Harvard itu: ia dan 242 orang penduduk Simalungun menolak ikut pemilu. Sikap Lomo dkk. ini juga diikuti hampir seratus warga Airputih, Asahan, dan Kualahulu, Labuhanbatu. Kabar tentang sikap mereka ini tersebar ketika mereka menolak meneken daftar pemilih yang diedarkan petugas pendaftar pemilih Mei lalu. Mereka juga tak beranjak meski kejaksaan mengancam mengenakan sanksi hukum. Mereka juga tak acuh pada batas waktu pendaftaran, Senin pekan ini. "Apa pun risikonya, terserah," kata Lomo pada TEMPO. Agar tahu saja, mereka yang umumnya para petani ini dikenal sebagai penganut aliran Bible Kring. Yakni paham yang menyempal dari gereja HKBP pada 1943 di Simalungun. Kelompok yang mengklaim diri pengamal Injil secara murni ini ternyata melihat pemilu bertentangan dengan Alkitab. Menurut Lomo, salah seorang anggota tertua dari Rible Kring, mereka berpegang pada Rum 13 ayat 1-4: Yang mengangkat pemerintah itu adalah kuasa Tuhan. Bukan manusia. Lagi pula, menurut mereka pemilu itu bersifat perlombaan merebut kekuasaan yang tak dibenarkan ajaran Kristus. Karena itu, ikut dalam pemilu mereka tafsirkan "durhaka pada Tuhan". Mereka juga tak mau menghormat bendera merah putih karena "bendera itu adalah benda mati". "Berdosalah yang menyembah benda mati," kata Lomo, mengutip Yesaya 2 ayat 8 dan 9. KTP juga tabu dimiliki karena seolah berperan bak penyelamat. "Hanya Tuhanlah penyelamat manusia," katanya. Sebaliknya, seperti diakui Humas Pemda Simalungun, Charles Aruan, pada TEMPO, "mereka adalah pembayar pajak paling taat". Untuk itu Lomo mengutip Rum 13 ayat 7: Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar. Jadi, Lomo dkk. tak berniat melawan pemerintah. Sikap Lomo itu berbeda dengan "Surat Gembala" MAWI (sekarang KWI) Pusat pada 1976. Saat itu kepada umat Katolik diserukan, selain bebas memilih, juga bebas "untuk tidak memilih". "Tapi edaran itu berfokus pada kebebasan manusia sesuai dengan asas demokrasi. Bukan seruan golput," ujar Uskup Medan, Mgr. A.B. Datubara, pada TEMPO. Bible Kring sebenarnya sudah dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Mereka dianggap menimbulkan konflik sesama sekte Kristen. Namun, mungkin karena tidak ada tindak lanjut dari larangan tadi, sekte ini masih tetap hidup dan berkembang. Akibat kepercayaannya itu, Lomo sendiri berkali-kali menderita. Katanya, ia pernah ditahan seminggu oleh Belanda pada 1946 (daerah tersebut waktu itu masih diduduki Belanda) dan kepalanya sampai benjol-benjol dipukuli. Lalu, puluhan pengikut sekte ini pernah juga dipenjara selama 70 hari pada 1951. Pasalnya, mereka menolak mengibarkan bendera merah putih ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Danau Toba. Lomo dan dua temannya dijebloskan penjara selama tiga bulan lagi pada 1960 karena dianggap tak setia pada negara. Menjelang Pemilu 1987, puluhan teman Lomo "diamankan" selama dua bulan dalam penjara. "Tapi tanpa disidangkan hakim," kata Lomo. Lalu kali ini? "Ya, bisa saja diadili," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Siantar, I Ketut Jona, pada TEMPO. Konon, karena Muspida masih berupaya agar sikap golput ini tak merebak. Bersihar Lubis dan Irwan K. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini