TIKUS ternyata tidak tahan hidup berdesakan. John Calhoun telah
membuktikan hal ini pada tahun 1952 di Amerika Serikat. Dia
membiarkan sekelompok tikus di suatu perladangan yang dipagar
rapi. Disediakan cukup makanan, air dan bahan pembuat sarang.
Dijaga agar para predator pemakan tikus, seperti kucing, ular,
elang, dan sebagainya, tidak sampai nyelonong masuk. Nah,
berkembangbiaklah tikus-tikus itu dengan suburnya, maranak
sampulu pitu, marboru sampulu onom, di surga yang diciptakan
Calhoun yang gemah ripah loh jinai.
Rupanya di alam bebas habitatnya, para tikus itu hidup menurut
sila-sila peri ketikusan yang unik -- mencakup adat-istiadat,
sopan-santun, gaya hidup yang khas tikus. Misalnya, ada
tikus-tikus jagoan, yang biasanya merangkap lurah-lurah untuk
sekelompok tikus. Ilmu pengetahuan menamakan jenis ini tikus
alpha. Sifatnya mau menang sendiri, punya cewek-cewek cakep, dan
memang punya kemampuan untuk itu. Tidak ada tikus remaja atau
dari kelas beta ke bawah yang berani menantang alpha. Dan dalam
masyarakat tikus tidak ada perkelahian sistem keroyok.
Contoh lainnya adalah sopan santun pacaran. Dilarang pacaran
dengan cewek yang hamil atau yang lagi menyusui. Jika ada cowok
yang naksir cewek cakep, sang arjuna akan mengikuti dewinya yang
segera akan berlari masuk lubang. Sang arjuna tidak akan ikut
masuk, tapi menanti di depan lubang sambil bersenandung. Jika
sang dewi tergugah, dia akan keluar menyerahkan cintanya. Namun
kalau ditunggu beberapa saat dia tidak muncul, si pemuda akan
tahu diri, dan pergi.
Syahdan dalam waktu tidak terlalu lama, terjadilah pendesakan
penduduk di dalam surga Calhoun. Dalam bahasa kerennya ini
disebut crowding. Dan sejak itu, lambat tapi pasti, satu demi
satu rontoklah sila-sila peri ketikusasn. Calhoun mengamati:
mula-mula muncul gerombolan yang disebutnya probers, para
begundal remaja, yang mencoba-coba menantang lurah-lurah alpha.
Jika sang lurah marah, para begundal lari terbirit-birit. Namun
tidak lama kemudian mulai ada lurah yang benar-benar dikeroyok.
Sampai mati!.
Khaos pun mulai. Dengan segala kegalakan dan kerakusan, para
lurah selama ini menegakkan kamtib demi kelangsungan hidup
masyarakat tikus. Sekarang gali-gali ingusan ini berani
menyerang lurah, dengan cara tidak tahu etik lagi, main keroyok.
Di antara para remaja sendiri ada yang tidak kuat mentalnya
melihat ini. Lalu satu demi satu mulai muncul banci-banci,
lalu-lalang di tengah-tengah khaos, tidak mengganggu, tidak
diganggu.
Tapi kehancuran surga Calhoun baru benar-benar terjadi ketika
tata krama percintaan mulai dilanggar. Gali-gali ini tidak puas
menunggu di depan lubang. Beramai-ramai mereka menyerbu masuk
rumah cewek, memperkosanya bergantian, bahkan sering sampai si
korban mati. Kalau si wanita kebetulan sedang menyusui,
anak-anak tikus yang merah dan sangat lembut itu diterjang --
bahkan dimakan. Padahal Dewa Calhoun menyediakan cukup makanan
di atas sana.
Tidak! Manusia bukan tikus. Tidak satu ahli pun pernah
mengatakan bahwa dampak crowdin pada manusia akan sama dengan
pada tikus. Bahkan pada binatang lain pun dampaknya lain.
Lemming dari Norwegia, misalnya. Binatang keluarga Muridae ini
bahkan sudah menjadi cerita klasik. Setiap 11 atau 12 tahun,
berjuta-juta mereka turun dari gunung, ladang-ladang, dan
tempat-tempat habitat mereka, untuk melakukan perjalanan jauh
menuju laut, beramai-ramai menceburkan diri. Dan mati. Bangkai
mereka mengapung di antara ombak.
Sebuah kapal di lepas pantai Trondheim, kota kecil di pesisir
barat Norwegia, di tahun 1868 melaporkan telah membelah pulau
bangkai lemming selama lima belas menit. Sayang tidak
diberitakan berapa kecepatan kapal. Menurut penelitian para
ahli, semua (!) yang melakukan perjalanan maut itu adalah
perjaka dan dara-dara ting-ting: belum pernah melakukan hubungan
kelamin. Dan, walaupun di perjalanan banyak makanan, jika ada
lemming yang jatuh, kepalanya segera dikerkah rekan-rekannya,
otaknya dimakan duluan, kemudian bagian badannya yang lembut.
Para ahli sekarang tahu, di daerah utara yang jarang penduduknya
itu para lemming sebenarnya hampir tidak punya musuh. Dus
habitatnya mirip dengan surga tikus Calhoun. Namun yang tidak
dimengerti, mengapa justru para remaja yang jadi gelisah dan
mendapat tekanan batin sehingga secara beramai-ramai melakukan
perjalanan maut.
Tidak. Manusia pun bukan lemming. Cuma dari berbagai bacaan
jelas kita ketahui, bahwa crowding memang punya dampak negatif
pada binatang yang tergolong teritorial. Dan manusia, kabarnya,
termasuk golongan ini.
Entahlah. Saya bahkan tidak berani mengajak Anda untuk menengok
berkeliling, mencari-cari apakah ada persamaan dunia kita dengan
dunia tikus Calhoun atau para lemming. Siapa tahu memang tidak
ada. Saya kan bisa malu sendiri. Namun jauh di lubuk hati, saya
selalu mendoakan agar semboyan 'dua anak sudah cukup', yang
digembar-gemborkan BKKBN, benar-benar bisa diterima dan
dijalankan semua manusia Indonesia.
Sebab, seandainya (ini cuma seandainya) memang ada sedikit
pelajaran yang dapat kita tarik dari tikus-tikus Calhoun, bahkan
tindakan otoriter dan tidak manusiawi penguasa Cina yang
memaksakan 'satu anak saja!' pun rasanya jadi tidak terlalu
biadab lagi, kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini