Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Allahu akbar di tengah kecemasan...

Saat terjadinya gerhana matahari total, dan penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tentang pengaruh (akibat) gmt.(nas)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPI menguasai lokasi penelitian di Desa Tambakboyo, Boyolali, pada hari berlangsungnya gerhana matahari total (GMT) 11 Juni lalu, cuma beberapa puluh orang yang tampak: peneliti dari Jerman Barat berjumlah 15 orang dipimpin Wilhelm Foerster, ditambah sekitar dua puluh peneliti amatir Indonesia. Sisanya sekitar 40 orang penonton berkerumun agak jauh. Mereka bukan penduduk setempat. Seluruh penduduk desa, sesuai perintah resmi, patuh mengurung diri dalam rumah. "Bumi ini seperti milik mereka," Guruh Sukarno Putra yang datang ke Tambakboyo beberapa saat sebelum GMT mengomentari kehadiran orang asing tersebut. Putra bekas Presiden Sukarno itu siap menonton matahari dengan film yang terbakar. Menjelang kontak pertama, Ny. Wilhelm membagikan kertas berwarna perak. Penonton yang semula diam, mulai ikut mencoba menatap langit memakai kertas itu. Ketika keremangan mulai datang dengan suasana menakjubkan, Ny. Wilhelm membolehkan orang menatap langsung GMT dengan mata telanjang, asal tak lama. Banyak yang mengikut, termasuk Guruh yang mulai melepaskan film yang tadi menempel di matanya. "Gila, gila, keindahan yang teramat langka begini kok dilarang dinikmati," seru seorang pemuda. Kemudian muncul pula seorang penduduk Tambakboyo, Pak Kromo, mula-mula mencoba kertas berwarna perak itu, lalu menatap matahari dengan mata telanjang selama beberapa detik. Lelaki berusia 57 tahun ini, yang mengaku selama gerhana menutup sumurnya atas perintah Lurah, nampak amat kagum akan keajaiban matahari di saat memancarkan korona. Di saat gerhana masih berlangsung, Pak Kromo berlari ke rumahnya lagi untuk sembahyang. Banyak penduduk lain kemudian bersalat di surau, melampiaskan rasa aneh dan ajaib itu dengan puji syukur kepada Tuhan -- walau tak senekat Pak Kromo yang berani melihat gerhana. Laporan wartawan TEMPO di berbagai lokasi penelitian, senada: masyarakat bisa menikmati matahari dengan mata polos di saat GMT, antara lain karena dorongan para ahli. Di Tanjung Kodok, bukan saja bintang film Slamet Rahardjo yang ternganga-nganga dengan mata polos menatap matahari memancarkan korona, juga ulama, pemilik kios, anggota hansip, polisi dan pejabat, yang sebelumnya menyuruh penduduk ngumpet di rumah masing-masing. Di Pantai Losari, Ujungpandang, berbondong-bondong masyarakat yang kebanyakan tukang becak meneriakkan "Allahu Akbar..." setelah terkesima menatap matahari dengan mata polos. Para polisi yang sebelumnya mondar-mandr menjaga penduduk agar tidak keluar, ikut menyaksikan kejadian langka itu. Mereka "dibimbing" tim pengamat dari The Science University of Tokyo yang mengadakan penelitian di sana. Masyarakat Ujungpandang di sekitar stasiun TVRI pun semula "takut dengan gerhana". Tapi setelah menyaksikan "orang TV saja banyak yang lihat, kenapa harus takut," seperti kata seorang tukang becak, banyak orang pada menatap langit. Di kampus UGM, Bulaksumur, lebih dari lima ratus mahasiswa dan masyarakat yang "melawan perintah masuk rumah", dan menikmati GMT dengan aman dibimbing R.G. Rijmer, peneliti Amerika yang tergabung dalam Amateur Astonomers Inc (AII). Mereka yang ragu-ragu diberi kertas berwarna perak. Ada juga yang bergilir melihat dengan teropong. "Pemerintah ini bagaimana sih, rugi besar jika tak melihat gerhana," ujar Nardi Utomo, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, setengah berteriak. Sejak itu, sisa-sisa GMT yang singkat ditatap beramai-ramai. Di Parangtritis sekitar dua ratus penduduk setempat di luar anggota peneliti UGM menatap indahnya matahari dengan polos. Mereka mengikuti "instruksi" Dr. Sugeng Martopo yang memimpin penelitian. Bahkan Drs. Sunarso Simun dengan gencar memberi perintah: "Lihat saja, lihat saja, tidak apa, sayang dilewatkan..." Bupati Bantul Soeherman dan istri yang hadir di sana kagum setelah menatap sekejap. Di Lapangan Manahan, Sala dan di Bukit Dagi, Borobudur, sekelompok pelajar SMA memanfaatkan GMT dengan beberapa percobaan. Tidak begitu jelas apa yang diteliti calon ilmuwan ini. Mereka berbekal film yang diekspos terbakar, dan kaca yang dihitamkan dengan jelaga -- seperti yang pernah disarankan pemerintah 5 bulan yang lalu. Pada saat gerhana penuh, alat pengaman itu dilepas. Mereka yang berada di sekitar lokasi penelitian, atau penduduk yang berani menempuh risiko, melawan perintah hansip yang berkeliling, mungkin beruntung. Karena gerhana matahari total, untuk satu tempat, hanya berlangsung 360 tahun sekali. Kapan lagi kita berkesempatan untuk melihat pemandangan ini: alam yang seakan berhenti bernapas, udara dingin, matahari bersinar lembut dan langit yang bersih. Hari seperti subuh, bintang pun muncul di langit, sementara kegelapan di langit seperti bergerak. Untuk lokasi di alam terbuka -- di Borobudur misalnya -- keindahan itu menurut banyak pengamat "sulit dituturkan". Tidak berlebihan mungkin, jika di Tanjung Kodok dan Cepu, banyak peneliti asing menangis menahan haru. Di Parangtritis, beberapa mahasiswa bergulingan di pasir. Pemerintah, dari sudut lain, bisa pula menyebut momentum GMT ini sebagai bukti suksesnya penerangan terpadu. Kampanye gencar aparat penerangan dengan melibatkan sampai tingkat RT, jutaan pamflet yang disebar, ribuan spanduk yang menghias jalan, media TV yang setiap sore memberi penyuluhan, sampai media tradisional dimanfaatkan, hasilnya luar biasa. Sebagian besar penduduk Ja-Teng dan Ja-Tim yang dilintasi GMT, mengurung diri di rumah masing-masing. Lalu lintas sepi. Toko dan pasar tutup. Kegiatan perekonomian berhenti. Demikian takutnya penduduk, sampai-sampai terasa ngeri perjalanan menuju Parangtritis melewati kampung-kampung yang bagaikan tanpa penghuni. "Seperti sedang perang," komentar beberapa peneliti. Di luar lintasan GMT, sepi jua mewarnai beberapa daerah. Penduduk Pulau Bali juga masuk ke rumah, sampai ada yang bilang, "suasananya lebih sepi dari Perayaan Nyepi". Di Medan, toko juga banyak tutup dan lalu lintas sepi. Banyak sopir bemo mengeluh tak bisa mencukupi setoran. Di Bandung, mobil yang jalan bisa dihitung dengan jari. Di Jakarta terjadi hal yang sama, gerhana matahari ternyata bisa membebaskan jalan yang biasa macet. Manado juga sepi. Suasana sunyi di daerah yang jauh dari lintasan GMT antara lain karena masyarakat beramai-ramai menonton tv -- yang meliput gerhana dengan baik. Orang berkerumun di depan tv, bahkan di masjid pesawat itu dibawa untuk memuaskan mereka yang salat gerhana. Peliputan RRI juga rapi. Ketika gerhana total hampir sempurna, penyiar di Tanjung Kodok yang dikoordinasi Harry Wiharso dan Sudyatmaka Sugriwa dengan puitisnya membandingkan kekuasaan Tuhan dan "kekecilan manusia" diiringi musik karya Jean Michel Jarre, Oxygene yang mendirikan bulu kuduk. Beberapa saat setelah pindah ke studio Ujungpandang, terdengar suara: "saudara pendengar, kontak kedua hampir terjadi, tiga, dua, satu, saudara, Allahu Akbar . . . Allahu Akbar . . . Allahu Akbar saudara pendengar, bulu kuduk kami berdiri, begitu mencekam . . ." dan suara itu hilang sekejap. Toh bahaya kebutaan yang diperingatkan pemerintah seperti mendapat "bukti" juga. Di Bagian Mata RS Dr. Sardjito Yogyakarta, sampai Minggu malam tercatat 387 orang yang memeriksakan matanya. Keluhannya umumnya rasa perih sehabis menyaksikan GMT. Ada 2 dokter dan 3 mahasiswa yang melayani. Semua pasien diperbolehkan pulang, karena keperihan itu ternyata dianggap tidak membahayakan. Pengobatan selama 2 hari sejak GMT itu ditutup beberapa jam lebih awal, karena, kabarnya banyak penderita sakit mata yang memanfaatkan pengobatan gratis itu dengan dalih GMT. Rasa perih, pegal, dan sedikit pening memang dianggap "risiko" menatap matahari pada saat GMT itu. Bukan saja penduduk di lintasan GMT. Tapi di Jakarta, Bandung, Denpasar, mereka yang nekat menatap GMT juga merasakan "penyakit" itu. Umumnya hilang beberapa jam kemudian. Korban kecelakaan yang agak gawat hanya tercatat 2 orang. Wiji, 32 tahun, dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang. Ia melihat proses gerhana sejak sebelum kontak pertama sampai selesai GMT dengan mata telanjang. Pada kontak IV yang memang tiba-tiba silam, ia tak mampu melihat lagi. Sementara Suwardiono, buruh di Prambanan, mata kanannya tak bisa melihat. Tapi ia mengakui, "sejak dulu mata kanan saya hanya bisa melihat samar-samar". Toh ia nekat ingin membuktikan, apakah benar melihat gerhana bisa mengakibatkan buta. Dengan mata kanan yang sakit itu ia menatap matahari terus-menerus selama satu jam. Hasil penelitiannya mata kanannya "buta", sementara mata kirinya yang ditutup rapat tidak apa-apa. Setelah diperiksa, ternyata retina mata mereka tak mengalami kerusakan. Mata mereka masih bisa melihat. Menurut dr. Wilarjo, yang menangani kasus itu, kebutaan yang dialami Wiji bukanlah akibat GMT, tapi kemungkinan akibat pengaruh kejiwaan, karena sebelumnya ditakut-takuti orang lain. RS Mata Aini Jakarta, yang setelah GMT didatangi 3 pasien bermata perih, langsung menyuruh mereka pulang setelah diperiksa. "Retina mata maupun tajam penglihatan mereka tetap normal. Hanya sugesti saja, waktu melihat gerhana seolah penglihatan jadi kabur," kata dr. Nirwati dari RS Mata Aini. Sugesti ini tentu saja akibat dari ketakutan gembar gembor bahaya buta. Barangkali masih ada kesempatan buat mereka yang merasa "dirugikan". Menurut penjabat sementara Pimpinan Planetarium dan Observatorium DKI Jaya, Darsa Sukartadireja, pada Desember 1984 akan terjadi GMT di bagian terpencil Irian Jaya. "Waktunya hanya 2 menit di pagi hari, jadi sulit dan kurang indah," katanya. Yang lebih baik, bakal terjadi bulan Maret 1988, melintasi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Filipina. "Lamanya sekitar 3 menit," kata Darsa. Cuma belum diketahui daerah mana yang akan dilalui, begitu pula saat tepat berlangsungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus