SEPI menguasai lokasi penelitian di Desa Tambakboyo, Boyolali,
pada hari berlangsungnya gerhana matahari total (GMT) 11 Juni
lalu, cuma beberapa puluh orang yang tampak: peneliti dari
Jerman Barat berjumlah 15 orang dipimpin Wilhelm Foerster,
ditambah sekitar dua puluh peneliti amatir Indonesia. Sisanya
sekitar 40 orang penonton berkerumun agak jauh. Mereka bukan
penduduk setempat. Seluruh penduduk desa, sesuai perintah resmi,
patuh mengurung diri dalam rumah.
"Bumi ini seperti milik mereka," Guruh Sukarno Putra yang datang
ke Tambakboyo beberapa saat sebelum GMT mengomentari kehadiran
orang asing tersebut. Putra bekas Presiden Sukarno itu siap
menonton matahari dengan film yang terbakar.
Menjelang kontak pertama, Ny. Wilhelm membagikan kertas berwarna
perak. Penonton yang semula diam, mulai ikut mencoba menatap
langit memakai kertas itu. Ketika keremangan mulai datang dengan
suasana menakjubkan, Ny. Wilhelm membolehkan orang menatap
langsung GMT dengan mata telanjang, asal tak lama. Banyak yang
mengikut, termasuk Guruh yang mulai melepaskan film yang tadi
menempel di matanya. "Gila, gila, keindahan yang teramat langka
begini kok dilarang dinikmati," seru seorang pemuda.
Kemudian muncul pula seorang penduduk Tambakboyo, Pak Kromo,
mula-mula mencoba kertas berwarna perak itu, lalu menatap
matahari dengan mata telanjang selama beberapa detik. Lelaki
berusia 57 tahun ini, yang mengaku selama gerhana menutup
sumurnya atas perintah Lurah, nampak amat kagum akan keajaiban
matahari di saat memancarkan korona. Di saat gerhana masih
berlangsung, Pak Kromo berlari ke rumahnya lagi untuk
sembahyang. Banyak penduduk lain kemudian bersalat di surau,
melampiaskan rasa aneh dan ajaib itu dengan puji syukur kepada
Tuhan -- walau tak senekat Pak Kromo yang berani melihat
gerhana.
Laporan wartawan TEMPO di berbagai lokasi penelitian, senada:
masyarakat bisa menikmati matahari dengan mata polos di saat
GMT, antara lain karena dorongan para ahli. Di Tanjung Kodok,
bukan saja bintang film Slamet Rahardjo yang ternganga-nganga
dengan mata polos menatap matahari memancarkan korona, juga
ulama, pemilik kios, anggota hansip, polisi dan pejabat, yang
sebelumnya menyuruh penduduk ngumpet di rumah masing-masing.
Di Pantai Losari, Ujungpandang, berbondong-bondong masyarakat
yang kebanyakan tukang becak meneriakkan "Allahu Akbar..."
setelah terkesima menatap matahari dengan mata polos. Para
polisi yang sebelumnya mondar-mandr menjaga penduduk agar tidak
keluar, ikut menyaksikan kejadian langka itu. Mereka "dibimbing"
tim pengamat dari The Science University of Tokyo yang
mengadakan penelitian di sana. Masyarakat Ujungpandang di
sekitar stasiun TVRI pun semula "takut dengan gerhana". Tapi
setelah menyaksikan "orang TV saja banyak yang lihat, kenapa
harus takut," seperti kata seorang tukang becak, banyak orang
pada menatap langit.
Di kampus UGM, Bulaksumur, lebih dari lima ratus mahasiswa dan
masyarakat yang "melawan perintah masuk rumah", dan menikmati
GMT dengan aman dibimbing R.G. Rijmer, peneliti Amerika yang
tergabung dalam Amateur Astonomers Inc (AII). Mereka yang
ragu-ragu diberi kertas berwarna perak. Ada juga yang bergilir
melihat dengan teropong. "Pemerintah ini bagaimana sih, rugi
besar jika tak melihat gerhana," ujar Nardi Utomo, mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, setengah berteriak.
Sejak itu, sisa-sisa GMT yang singkat ditatap beramai-ramai.
Di Parangtritis sekitar dua ratus penduduk setempat di luar
anggota peneliti UGM menatap indahnya matahari dengan polos.
Mereka mengikuti "instruksi" Dr. Sugeng Martopo yang memimpin
penelitian. Bahkan Drs. Sunarso Simun dengan gencar memberi
perintah: "Lihat saja, lihat saja, tidak apa, sayang
dilewatkan..." Bupati Bantul Soeherman dan istri yang hadir di
sana kagum setelah menatap sekejap.
Di Lapangan Manahan, Sala dan di Bukit Dagi, Borobudur,
sekelompok pelajar SMA memanfaatkan GMT dengan beberapa
percobaan. Tidak begitu jelas apa yang diteliti calon ilmuwan
ini. Mereka berbekal film yang diekspos terbakar, dan kaca yang
dihitamkan dengan jelaga -- seperti yang pernah disarankan
pemerintah 5 bulan yang lalu. Pada saat gerhana penuh, alat
pengaman itu dilepas.
Mereka yang berada di sekitar lokasi penelitian, atau penduduk
yang berani menempuh risiko, melawan perintah hansip yang
berkeliling, mungkin beruntung. Karena gerhana matahari total,
untuk satu tempat, hanya berlangsung 360 tahun sekali. Kapan
lagi kita berkesempatan untuk melihat pemandangan ini: alam yang
seakan berhenti bernapas, udara dingin, matahari bersinar lembut
dan langit yang bersih. Hari seperti subuh, bintang pun muncul
di langit, sementara kegelapan di langit seperti bergerak.
Untuk lokasi di alam terbuka -- di Borobudur misalnya --
keindahan itu menurut banyak pengamat "sulit dituturkan". Tidak
berlebihan mungkin, jika di Tanjung Kodok dan Cepu, banyak
peneliti asing menangis menahan haru. Di Parangtritis, beberapa
mahasiswa bergulingan di pasir.
Pemerintah, dari sudut lain, bisa pula menyebut momentum GMT ini
sebagai bukti suksesnya penerangan terpadu. Kampanye gencar
aparat penerangan dengan melibatkan sampai tingkat RT, jutaan
pamflet yang disebar, ribuan spanduk yang menghias jalan, media
TV yang setiap sore memberi penyuluhan, sampai media tradisional
dimanfaatkan, hasilnya luar biasa. Sebagian besar penduduk
Ja-Teng dan Ja-Tim yang dilintasi GMT, mengurung diri di rumah
masing-masing. Lalu lintas sepi. Toko dan pasar tutup. Kegiatan
perekonomian berhenti. Demikian takutnya penduduk, sampai-sampai
terasa ngeri perjalanan menuju Parangtritis melewati
kampung-kampung yang bagaikan tanpa penghuni. "Seperti sedang
perang," komentar beberapa peneliti.
Di luar lintasan GMT, sepi jua mewarnai beberapa daerah.
Penduduk Pulau Bali juga masuk ke rumah, sampai ada yang
bilang, "suasananya lebih sepi dari Perayaan Nyepi". Di Medan,
toko juga banyak tutup dan lalu lintas sepi. Banyak sopir bemo
mengeluh tak bisa mencukupi setoran.
Di Bandung, mobil yang jalan bisa dihitung dengan jari. Di
Jakarta terjadi hal yang sama, gerhana matahari ternyata bisa
membebaskan jalan yang biasa macet. Manado juga sepi.
Suasana sunyi di daerah yang jauh dari lintasan GMT antara lain
karena masyarakat beramai-ramai menonton tv -- yang meliput
gerhana dengan baik. Orang berkerumun di depan tv, bahkan di
masjid pesawat itu dibawa untuk memuaskan mereka yang salat
gerhana. Peliputan RRI juga rapi. Ketika gerhana total hampir
sempurna, penyiar di Tanjung Kodok yang dikoordinasi Harry
Wiharso dan Sudyatmaka Sugriwa dengan puitisnya membandingkan
kekuasaan Tuhan dan "kekecilan manusia" diiringi musik karya
Jean Michel Jarre, Oxygene yang mendirikan bulu kuduk. Beberapa
saat setelah pindah ke studio Ujungpandang, terdengar suara:
"saudara pendengar, kontak kedua hampir terjadi, tiga, dua,
satu, saudara, Allahu Akbar . . . Allahu Akbar . . . Allahu
Akbar saudara pendengar, bulu kuduk kami berdiri, begitu
mencekam . . ." dan suara itu hilang sekejap.
Toh bahaya kebutaan yang diperingatkan pemerintah seperti
mendapat "bukti" juga. Di Bagian Mata RS Dr. Sardjito
Yogyakarta, sampai Minggu malam tercatat 387 orang yang
memeriksakan matanya. Keluhannya umumnya rasa perih sehabis
menyaksikan GMT. Ada 2 dokter dan 3 mahasiswa yang melayani.
Semua pasien diperbolehkan pulang, karena keperihan itu ternyata
dianggap tidak membahayakan. Pengobatan selama 2 hari sejak GMT
itu ditutup beberapa jam lebih awal, karena, kabarnya banyak
penderita sakit mata yang memanfaatkan pengobatan gratis itu
dengan dalih GMT.
Rasa perih, pegal, dan sedikit pening memang dianggap "risiko"
menatap matahari pada saat GMT itu. Bukan saja penduduk di
lintasan GMT. Tapi di Jakarta, Bandung, Denpasar, mereka yang
nekat menatap GMT juga merasakan "penyakit" itu. Umumnya hilang
beberapa jam kemudian.
Korban kecelakaan yang agak gawat hanya tercatat 2 orang. Wiji,
32 tahun, dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang. Ia melihat proses
gerhana sejak sebelum kontak pertama sampai selesai GMT dengan
mata telanjang. Pada kontak IV yang memang tiba-tiba silam, ia
tak mampu melihat lagi. Sementara Suwardiono, buruh di
Prambanan, mata kanannya tak bisa melihat. Tapi ia mengakui,
"sejak dulu mata kanan saya hanya bisa melihat samar-samar". Toh
ia nekat ingin membuktikan, apakah benar melihat gerhana bisa
mengakibatkan buta. Dengan mata kanan yang sakit itu ia menatap
matahari terus-menerus selama satu jam. Hasil penelitiannya
mata kanannya "buta", sementara mata kirinya yang ditutup rapat
tidak apa-apa.
Setelah diperiksa, ternyata retina mata mereka tak mengalami
kerusakan. Mata mereka masih bisa melihat. Menurut dr. Wilarjo,
yang menangani kasus itu, kebutaan yang dialami Wiji bukanlah
akibat GMT, tapi kemungkinan akibat pengaruh kejiwaan, karena
sebelumnya ditakut-takuti orang lain.
RS Mata Aini Jakarta, yang setelah GMT didatangi 3 pasien
bermata perih, langsung menyuruh mereka pulang setelah
diperiksa. "Retina mata maupun tajam penglihatan mereka tetap
normal. Hanya sugesti saja, waktu melihat gerhana seolah
penglihatan jadi kabur," kata dr. Nirwati dari RS Mata Aini.
Sugesti ini tentu saja akibat dari ketakutan gembar gembor
bahaya buta.
Barangkali masih ada kesempatan buat mereka yang merasa
"dirugikan". Menurut penjabat sementara Pimpinan Planetarium dan
Observatorium DKI Jaya, Darsa Sukartadireja, pada Desember 1984
akan terjadi GMT di bagian terpencil Irian Jaya. "Waktunya hanya
2 menit di pagi hari, jadi sulit dan kurang indah," katanya.
Yang lebih baik, bakal terjadi bulan Maret 1988, melintasi
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Filipina. "Lamanya sekitar 3
menit," kata Darsa. Cuma belum diketahui daerah mana yang akan
dilalui, begitu pula saat tepat berlangsungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini