Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari putri malu sampai kelelawar

Saat terjadinya gerhana matahari total, dan penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tentang pengaruh (akibat) gmt.(nas)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA cemas dan gusar yang menghantui para astronom asing di berbagai lokasi penelitian sehari sebelum GMT, lenyap seketika. Walau ramalan Badan Meteorologi & Geofisika menyebut daerah lintas GMT berawan banyak dan di sekitar Yogyakarta terjadi hujan setempat, langit pada 11 Juni itu sangat cerah. Bahkan sampai GMT usai, langit tetap cemerlang. "Luar biasa, saya terharu,' ujar Bill Thuem, peneliti dari Cyress Club, Texas, sambil menangis. "Fantastis, sungguh fantastis," komentar Dr. Gunn Akerlindh dari Swedia yang meneliti di Tuban. Pengamat asing di Cepu mengangkat toast meluapkan rasa gembiranya. "Astaga, orang Indonesia kok sembunyi dari keindahan tata surya," kata tiga turis Selandia Baru yang menjadi pengamat amatir di Surabaya. Sebagian peneliti asing itu sudah kembali ke negerinya. Hasil pengamatan tentang berbagai sifat matahari akan digodok dalam laboratorium di negaranya masing-masing. Hasilnya baru diketahui 3 bulan lagi, kalaupun itu diumumkan. Hasil penelitian ahli Indonesia dari berbagai disiplin ilmu kini juga sedang dianalisa, terutama yang "agak ruwet" seperti tata surya, atmosfir, dan pembelotan cahaya. Hanya penelitian yang menyangkut akibat GMT bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan sudah diketahui, walau hasil sementara. Hasil akhir masih menunggu diskusi dan pencocokan hasil di berbagai tempat yang berbeda. Daun putri malu, yang biasa menguncup malam hari, ternyata juga "tidur" selama GMT yang 5 menit itu. "Lihat, memang ada reaksinya, nah menguncup," kata Dr. Djalal Tanjung dari UGM yang meneliti di Parangtritis. Di Pangandaran, putri malu diteliti juga oleh ITB. Kebun Binatang Surabaya (KBS) juga melakukan penelitian serupa. Hasilnya sama: daunnya mengatup saat GMT dan mekar kembali setelah GMT. Ayam juga diteliti di Parangtritis, Pangandaran, dan KBS. Kesimpulannya sama, ayam terpengaruh GMT, dan pulang ke kandang di saat keremangan itu tiba. Berbagai jenis burung, yang diamati di tiga lokasi penelitian itu, bereaksi sama seperti di malam hari. Yang berbeda adalah kelelawar. Di Pangandaran, tim Universitas Nasional Jakarta mencatat, "ada yang keluar dari sarangnya saat GMT. Di Surabaya, tim yang dipimpin Drh. Sudharto menemukan, "kelelawar beterbangan dari sarangnya saat GMT, dan tidur lagi ketika sinar mulai terang." Hasil penelitian di Yogyakarta lain. "Ternyata kelelawar tidak dipengaruhi oleh sinar, tetapi siklus lingkungan. Binatang itu tetap tidur saat GMT. Jadi tak berpengaruh," kata Gabriel Padu dari IKIP Yogyakarta. Menurut rencana akan diadakan diskusi mengenai kelelawar ini. Binatang seperti harimau, babi hutan, dan ular pada saat gerhana bergerak seperti di malam hari. Hasil penelitian di Kebun Binatang Surabaya sama dengan di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Binatang lain seperti jenis kera, rusa, gajah, belum diketahui persis. Di KBS maupun di Gembira Loka -- juga di KB Ragunan, binatang ini menunjukkan kegelisahan. Tapi apakah itu karena GMT atau peneliti yang mendekat, masih "dianalisa". Kesulitannya karena semua jenis binatang itu berada di kebun binatang yang peka terhadap penonton. Penelitian tentan pengaruh GMT terhadap tinggi tubuh dan daya remas tangan, yang menurut rencana akan dilakukan dr. Agoes Supriyo dan dr. Budi Sampoerno dari UGM, dibatalkan. "Gerhana total terlalu singkat untuk itu, bukan karena penelitian itu mengada-ada," kata Dr. Sugeng Martopo, koordinator peneliti GMT dari UGM. Tim ITB di Pangandaran merasa sukses merekam shado band GMT. Ir. Reka Rio yang memimpin perekaman ini sangat gembira. "Dari lima gerhana matahari total di dunia yang diperhatikan shadow band-nya, baru dua yang berhasil dideteksi," kata dosen elektro ITB ini. Shadow band adalah kejadian yang mirip kita saksikan di lantai dasar kolam, jika air beriak. Pada waktu GMT, perubahan suhu daratan secara tiba-tiba melahirkan gelombang lapisan udara. Ini mempengaruhi sinar matahari mencapai bumi. Terjadi interferensi yang mengakibatkan adanya shadow band itu. Ini terjadi sekitar satu menit sebelum dan sesudah GMT. "Ini deteksi ketiga shadow band yang berhasil dan yang pertama direkam dengan video," kata Reka Rio. Rekaman ini dapat menerangkan, bagaimana perubahan lapisan udara yang terjadi akibat GMT dan sangat berguna untuk para ahli cuaca dan astronom. Gempa kecil pada saat gerhana, 11 Juni, ternyata tak begitu menarik para ahli. Baik peneliti asing, maupun ahli Indonesia seperti Bambang Hidayat, Sugeng Martopo, M.T. Zen yang diwawancarai TEMPO sependapat, "gempa hanya kebetulan saja." Prof. Dr. Katili juga menyebut, tak ada hubungan GMT dengan gempa. Perubahan suhu yang terjadi lebih kecil dari "pergantian siang dengan malam", tak akan mengakibatkan pergeseran lempeng bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus