RASA cemas dan gusar yang menghantui para astronom asing di
berbagai lokasi penelitian sehari sebelum GMT, lenyap seketika.
Walau ramalan Badan Meteorologi & Geofisika menyebut daerah
lintas GMT berawan banyak dan di sekitar Yogyakarta terjadi
hujan setempat, langit pada 11 Juni itu sangat cerah. Bahkan
sampai GMT usai, langit tetap cemerlang.
"Luar biasa, saya terharu,' ujar Bill Thuem, peneliti dari
Cyress Club, Texas, sambil menangis. "Fantastis, sungguh
fantastis," komentar Dr. Gunn Akerlindh dari Swedia yang
meneliti di Tuban. Pengamat asing di Cepu mengangkat toast
meluapkan rasa gembiranya. "Astaga, orang Indonesia kok sembunyi
dari keindahan tata surya," kata tiga turis Selandia Baru yang
menjadi pengamat amatir di Surabaya.
Sebagian peneliti asing itu sudah kembali ke negerinya. Hasil
pengamatan tentang berbagai sifat matahari akan digodok dalam
laboratorium di negaranya masing-masing. Hasilnya baru diketahui
3 bulan lagi, kalaupun itu diumumkan.
Hasil penelitian ahli Indonesia dari berbagai disiplin ilmu kini
juga sedang dianalisa, terutama yang "agak ruwet" seperti tata
surya, atmosfir, dan pembelotan cahaya. Hanya penelitian yang
menyangkut akibat GMT bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan sudah
diketahui, walau hasil sementara. Hasil akhir masih menunggu
diskusi dan pencocokan hasil di berbagai tempat yang berbeda.
Daun putri malu, yang biasa menguncup malam hari, ternyata juga
"tidur" selama GMT yang 5 menit itu. "Lihat, memang ada
reaksinya, nah menguncup," kata Dr. Djalal Tanjung dari UGM yang
meneliti di Parangtritis. Di Pangandaran, putri malu diteliti
juga oleh ITB. Kebun Binatang Surabaya (KBS) juga melakukan
penelitian serupa. Hasilnya sama: daunnya mengatup saat GMT dan
mekar kembali setelah GMT.
Ayam juga diteliti di Parangtritis, Pangandaran, dan KBS.
Kesimpulannya sama, ayam terpengaruh GMT, dan pulang ke kandang
di saat keremangan itu tiba. Berbagai jenis burung, yang diamati
di tiga lokasi penelitian itu, bereaksi sama seperti di malam
hari.
Yang berbeda adalah kelelawar. Di Pangandaran, tim Universitas
Nasional Jakarta mencatat, "ada yang keluar dari sarangnya saat
GMT. Di Surabaya, tim yang dipimpin Drh. Sudharto menemukan,
"kelelawar beterbangan dari sarangnya saat GMT, dan tidur lagi
ketika sinar mulai terang." Hasil penelitian di Yogyakarta lain.
"Ternyata kelelawar tidak dipengaruhi oleh sinar, tetapi siklus
lingkungan. Binatang itu tetap tidur saat GMT. Jadi tak
berpengaruh," kata Gabriel Padu dari IKIP Yogyakarta. Menurut
rencana akan diadakan diskusi mengenai kelelawar ini.
Binatang seperti harimau, babi hutan, dan ular pada saat gerhana
bergerak seperti di malam hari. Hasil penelitian di Kebun
Binatang Surabaya sama dengan di Kebun Binatang Gembira Loka,
Yogyakarta.
Binatang lain seperti jenis kera, rusa, gajah, belum diketahui
persis. Di KBS maupun di Gembira Loka -- juga di KB Ragunan,
binatang ini menunjukkan kegelisahan. Tapi apakah itu karena GMT
atau peneliti yang mendekat, masih "dianalisa". Kesulitannya
karena semua jenis binatang itu berada di kebun binatang yang
peka terhadap penonton.
Penelitian tentan pengaruh GMT terhadap tinggi tubuh dan daya
remas tangan, yang menurut rencana akan dilakukan dr. Agoes
Supriyo dan dr. Budi Sampoerno dari UGM, dibatalkan. "Gerhana
total terlalu singkat untuk itu, bukan karena penelitian itu
mengada-ada," kata Dr. Sugeng Martopo, koordinator peneliti GMT
dari UGM.
Tim ITB di Pangandaran merasa sukses merekam shado band GMT.
Ir. Reka Rio yang memimpin perekaman ini sangat gembira. "Dari
lima gerhana matahari total di dunia yang diperhatikan shadow
band-nya, baru dua yang berhasil dideteksi," kata dosen elektro
ITB ini. Shadow band adalah kejadian yang mirip kita saksikan
di lantai dasar kolam, jika air beriak. Pada waktu GMT,
perubahan suhu daratan secara tiba-tiba melahirkan gelombang
lapisan udara. Ini mempengaruhi sinar matahari mencapai bumi.
Terjadi interferensi yang mengakibatkan adanya shadow band itu.
Ini terjadi sekitar satu menit sebelum dan sesudah GMT. "Ini
deteksi ketiga shadow band yang berhasil dan yang pertama
direkam dengan video," kata Reka Rio. Rekaman ini dapat
menerangkan, bagaimana perubahan lapisan udara yang terjadi
akibat GMT dan sangat berguna untuk para ahli cuaca dan
astronom.
Gempa kecil pada saat gerhana, 11 Juni, ternyata tak begitu
menarik para ahli. Baik peneliti asing, maupun ahli Indonesia
seperti Bambang Hidayat, Sugeng Martopo, M.T. Zen yang
diwawancarai TEMPO sependapat, "gempa hanya kebetulan saja."
Prof. Dr. Katili juga menyebut, tak ada hubungan GMT dengan
gempa. Perubahan suhu yang terjadi lebih kecil dari "pergantian
siang dengan malam", tak akan mengakibatkan pergeseran lempeng
bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini