Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Timur Tengah, tanpa Sharon

Mungkinkah kompromi yang selama ini dilakukan Sharon akan dilanjutkan oleh penerusnya dan benarkah, tanpa Sharon, Timur Tengah akan bergolak lagi?

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika stroke melumpuhkan Perdana Menteri Ariel Sharon, dengan segera tiga peta politik dibentangkan: peta politik internal Israel, peta politik Timur Tengah (dalam hubungannya dengan masalah Israel-Palestina), dan dengan sendirinya peta politik dunia. Bukan ha­nya para pejabat politik, tetapi juga para analis dan media besar di dunia merancang strategi untuk satu tujuan: apa yang harus dilakukan sekarang (dan nanti) setelah Sharon meninggal?

Tubuh Sharon, yang berusia 77 tahun itu, memang masih bernyawa. Tetapi, apa boleh buat, kehidupan bernegara harus terus berdenyut. Perdana menteri sementara (atau disebut acting prime minister), Ehud Olmert, sudah ditunjuk sesuai dengan konstitusi.

Problemnya adalah mengkhawatirkan apakah kompromi yang selama ini dilakukan oleh Sharon akan dilanjutkan oleh penerusnya atau siapa pun yang menang dalam pemilu Israel pada Maret nanti. Lebih jauh lagi, dan lebih penting lagi, bagaimana sikap Palestina terhadap siapa pun yang keluar sebagai pemenang pemilihan umum Israel nanti?

Untuk puluhan tahun lamanya, di mata Palestina, ne­ga­ra­-negara Arab, dan kawan-kawannya, Ariel Sharon sempat dianggap sebagai penjahat perang, terutama setelah dia dianggap bertanggung jawab karena membiarkan milisi Kristen membantai ratusan warga Palestina di permukim­an Sabra dan Shatila di Beirut. Langkahnya yang provokatif pada tahun 2000, dengan menginjak Temple Mount, memancing warga Palestina untuk menghidupkan (kembali) gerakan intifadah sebagai tanda protes dan sekali­gus meruntuhkan upaya Presiden AS (saat itu) Bill Clinton yang mencoba menjadi penengah negosiasi perdamaian antara Ehud Barak dan Yasser Arafat.

Karena itu, gerakan Sharon pada Agustus tahun silam sung­guh mengguncang dunia. Dengan tak mempedulikan kendala dari Partai Likud (partainya saat itu), Sharon meng­evakuasi seluruh permukiman Yahudi dari Jalur Gaza. Dia juga menyatakan empat permukiman besar di Tepi Barat harus dibongkar. Pembangunan pagar sekeliling Tepi Barat, yang memperlihatkan perbatasan antara area penduduk Pa­lestina dan Yahudi ini, kira-kira memperlihatkan Israel ha­nya akan mendapatkan sekitar 15 persen Tepi Barat.

Meski ini sebetulnya tak sepenuhnya diterima oleh pihak Palestina, langkah Sharon dianggap sebagai pengkhia­natan bagi kaum kanan di Israel. Apalagi untuk per­tama kali Sharon menyatakan menerima negara Palestina mer­deka sambil mengisyaratkan Yerusalem Timur dapat di­kem­balikan ke Palestina.

Problemnya kini, setelah sosok Sharon digerogoti stroke dan dinyatakan tak mampu berfungsi memimpin negara, lalu bagaimana masa depan politik Israel dan Timur Tengah? Lebih tepatnya lagi, apakah penerus Sharon akan melanjutkan langkah Sharon yang selama ini dianggap lumayan kompromistis dan pragmatis oleh kedua belah pihak?

Partai Kadima tanpa Sharon memang seperti sebatang pohon tanpa daun. Bukan hanya karena dia pendirinya, tetapi juga karena dialah yang meniupkan roh pragmatis­me dan ”kesadaran” bahwa bagaimanapun road map me­nuju perdamaian yang ditawarkan AS-Presiden Bush tidak bisa terlaksana jika Israel tidak mau hidup berdampingan dengan damai bersama warga Palestina. Ada ”kesadaran” bahwa Israel harus mundur dari wilayah Palestina yang diduduki sejak perang 1967 dan berkoeksistensi dengan negara Palestina yang berdaulat dan merdeka (suatu prinsip yang dulu ditentang Sharon dengan berapi-api).

Para pemimpin lain yang diperkirakan akan menggantikan Sharon, seperti Ehud Olmert atau Shimon Peres atau Tsipi Liuni, tidak sepopuler Sharon di mata Israel. Tetapi, yang penting bagi Palestina dan kawasan Timur Tengah sebetulnya adalah bagaimana cita-cita hidup berdampingan de­ngan damai antarkedua bangsa yang sudah terlalu lama itu bisa terselenggara dengan baik. Dan itu sebetulnya bukan ha­nya bergantung pada pemimpin Israel berikutnya, tetapi juga pada pemimpin Palestina, negara-negara Arab, dan AS, yang selama ini menjadi ”mentor” Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus