Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mentari baru terbit di ufuk timur ketika Nur Salim, 41 tahun, menuntun motor bututnya keluar rumah. Mengenakan baju safari lengan pendek warna cokelat, pria itu menghidupkan mesin dan langsung menclok di atas sadel. Tak berselang lama, raungan mesin motornya memecah pagi yang masih perawan di Desa Pecabean, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Vespa tua buatan 1974 itu satu-satunya kendaraan yang Salim miliki.
Dengan motor itu Salim menempuh jarak tujuh kilometer setiap hari menuju tempatnya mengajar: Sekolah Menengah Kejuruan Pristek Kalikangkung, Tegal, Jawa Tengah. Ia tak mampu membeli motor yang lebih baru. ”Buat ngecat baru aja nggak kuat,” katanya, Kamis pekan lalu.
Sebagai guru sekolah swasta, Salim tak punya gaji tetap. Penghasilannya dihitung berdasarkan jumlah jam kerja yang dilakoni. ”Satu jam mengajar Rp 12 ribu,” katanya. Kecilnya honor yang diterima membuat Salim memborong jam pelajaran. Ia mengajar kimia dari kelas satu sampai tiga. Kendati begitu, selama sebulan maksimal ia hanya bisa mendapat 40 jam. Itu berarti honornya cuma Rp 480 ribu.
Pendapatan tersebut jelas tak cukup untuk mensejahterakan keluarganya. Padahal, sang istri sudah membantu dengan mengajar di Taman Kanak-kanak dan mendapat gaji Rp 100 ribu per bulan. Kehidupan keluarga mereka tetap morat-marit. Tinggal pun masih di rumah mertua. Belum lagi harus membiayai sekolah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Salim terpaksa mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kebutuhannya. ”Saya kerja serabutan,” katanya. Ayah tiga anak ini tak malu untuk bekerja apa saja. Ia pernah menjadi calo jual-beli motor. Kemudian pekerjaan itu ditinggalkan karena tak bisa memberikan pemasukan tetap. ”Malah beberapa kali nombok,” katanya. Di masa pemilihan umum, ia menjadi Panitia Pengawas Pemilu.
Sekarang Salim menyambi sebagai petani. Sehabis mengajar ia mencangkul sawah mertua yang hanya seluas 200 meter persegi. Lahan tanaman tebu itu diolahnya selama 2,5 jam setiap hari. Setelah setahun menggarap, barulah bisa dipanen dan menghasilkan uang sekitar Rp 1 juta.
Kendati pekerjaan bertani juga tak memberikan hasil memuaskan, Salim merasa memperoleh ketenangan. Ia jadi lebih memahami pekerjaan pokoknya. ”Saya tahu gaji guru seperti saya sangat kecil, tapi ini pekerjaan mulia. Saya mencintainya,” katanya.
Salim memulai karier sebagai guru pada 1990. Ketika itu, ia baru satu tahun lulus dari Akademi Keuangan dan Akuntansi (AKA) di Semarang, Jawa Tengah. Ia mula-mula mengajar di Madrasah Tsanawiyah Hasnaba—setingkat Sekolah Menengah Pertama—di Tegal. Gajinya waktu itu hanya Rp 30 ribu per bulan.
Sepuluh tahun kemudian ia pindah mengajar ke Sekolah Menengah Kejuruan Pristek. Setelah dua tahun, sambil mengajar ia melanjutkan studi ke Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, Yogyakarta. Soalnya, ijazah akademi yang dikantonginya tak cukup untuk bekal mengajar di tingkat Sekolah Menengah Atas.
Dua tahun lalu, ia lulus menjadi sarjana di bidang kimia. Harapannya membubung untuk memperoleh gaji yang lebih besar. Nyatanya tidak. Dengan status sebagai guru swasta, ia tetap cuma bisa mengandalkan penghasilan dari lamanya waktu mengajar. Laki-laki kurus berkulit sawo matang itu cuma bisa berharap suatu hari nanti hidupnya bakal lebih baik. ”Saya berdoa, perjuangan guru saat ini bisa meningkatkan derajat ekonomi kami,” katanya.
Bersama ribuan guru swasta di Tegal, Salim menuntut pemberian insentif sebesar Rp 200 ribu per bulan. Mereka tergabung dalam Forum Guru Swasta (Forgusta) dan aktif unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten Tegal maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tegal. Demonstrasi itu setidaknya sudah berlangsung empat kali. Mereka unjuk rasa terakhir kali 5 Januari lalu.
Rifki, salah satu guru yang juga ikut aktif berdemonstrasi, bernasib lebih malang. Penghasilannya sebagai pengajar di Sekolah Menengah Atas NU Hasyim Ashari, Kecamatan Tarub, Tegal, hanya Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per bulan. Sering kali sekolah bahkan tak punya uang untuk membayar gaji karena banyak siswa yang menunggak Sumbangan Pokok Pendidikan. ”Ya sudah, pasrah, berarti tidak ada bayaran,” katanya.
Pemuda 25 tahun itu terpaksa menjalani profesi sebagai guru. Semula, lulusan Institut Agama Islam Negeri Walisongo tahun 2005 ini ingin mencari pekerjaan lain di Semarang, tapi orang tuanya tak mampu lagi membiayai, sehingga ia terpaksa pulang kampung. Ia sudah berusaha melamar pekerjaan ke berbagai tempat, antara lain melamar menjadi pegawai negeri sipil, namun semua upaya itu gagal.
Alhasil, menganggurlah Rifki selama beberapa bulan. Tak tahan mendengar cemoohan orang karena tak bekerja, Rifki akhirnya melamar menjadi guru dan diterima di sekolah itu. ”Saya lelah mencari pekerjaan lain,” katanya.
Lantaran belum mendapatkan pekerjaan sampingan lain yang bisa menambah penghasilan, Rifki ia tak mampu mengontrak rumah sendiri. Jadilah ia tetap tinggal bersama orang tua. ”Sebenarnya malu, tapi terpaksa,” katanya.
Begitu pula nasib Siti Rohimah, 32 tahun. Guru Madrasah Ibtidaiyah—setingkat Sekolah Dasar—Slarang Lor, Tegal, ini, tak memiliki pekerjaan sampingan selain mengajar. Toh, kendati sudah mengajar sejak 1990, gajinya sampai sekarang hanya Rp 40 ribu per bulan.
Awalnya, ia merasakan beban berat sebagai guru. Setiap hari, untuk menuju sekolah, lulusan Sekolah Pendidikan Guru ini harus berjalan kaki sejauh 500 meter dari rumahnya. Dengan gaji yang kecil, menjalani hidup seperti itu tentu tidak mudah. ”Ini sangat berat,” katanya.
Semula ia berharap gajinya akan naik. Setelah bertahun-tahun penghasilannya tak juga meningkat, akhirnya ia pasrah. Ia menjadikan pekerjaannya sebagai kewajiban sosial. Ia merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak di sekolah. Dirinya rela tak mendapat bayaran yang mencukupi, asalkan apa yang dikerjakannya berguna bagi orang banyak. ”Saya ikhlas lillahi ta’ala,” ujarnya.
Tentu saja, ia tetap berharap pemerintah memperhatikan gaji para guru. Jika nasib guru lebih diperhatikan, mereka bisa bekerja sepenuh hati mencerdaskan anak didiknya. ”Dengan kondisi sekarang ini, bagaimana bisa bekerja maksimal?” kata wanita yang rajin ikut demonstrasi ini.
Apa mau dikata, anggaran pendidikan di negeri ini begitu kecil. Sekretaris Direktur Jenderal Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Bachrul Hayat, cuma bisa berharap pemerintah daerah ikut membantu agar kesejahteraan guru bisa ditingkatkan.
Pemerintah pusat tahun ini sudah menganggarkan dana dekonsentrasi untuk membantu 500 ribu guru honorer di sekolah swasta di semua provinsi. Dinas pendidikan provinsi dan kabupaten akan mendata guru-guru yang perlu mendapat bantuan. Soalnya, ada juga guru-guru di sekolah swasta yang sudah mapan. Mereka yang berhak mendapat bantuan bisa memperoleh dana kesejahteraan Rp 115 ribu per bulan. Pencairannya dilakukan per tiga bulan. ”Tanggal 1 Maret sudah bisa cair,” kata Bachrul.
Sayangnya, imbauan Bachrul agar pemerintah daerah ikut membantu agaknya sulit terlaksana di Tegal. Bupati Tegal, Agus Supriyanto, mengatakan sulit memenuhi tuntutan Forgusta. Ia khawatir bila tuntutan itu dipenuhi akan muncul tuntutan dari organisasi yang lain. ”Elemen-elemen lain bisa ikut datang ke Pemda,” katanya.
Menurut Agus, Pemerintah Kabupaten Tegal hanya bisa menyediakan anggaran guru Rp 2,7 miliar tahun ini. Dana itu untuk 4.500 guru swasta di Tegal. Ini berarti masing-masing guru memperoleh Rp 50 ribu per bulan. Nantinya, dana itu akan diberikan melalui yayasan tempat guru itu bernaung. ”Bukan langsung ke personal guru,” ujarnya.
Pemerintah daerah juga mensyaratkan guru yang mendapat insentif hanya yang sudah memiliki sertifikat keguruan. Di Tegal, dari 4.500 guru swasta yang ada, hanya 2.578 guru yang mempunyai sertifikat. Dengan demikian, tak semua guru akan mendapat dana kesejahteraan itu.
Koordinator Forgusta, Fatah Yasin, tentu tak setuju dengan syarat itu. Ia ingin semua guru, yang memiliki sertifikat ataupun tidak, diberikan tunjangan Rp 200 ribu per bulan. Alasannya, mereka mempunyai beban tugas yang sama. ”Semua guru harus dapat,” katanya.
Lis Yuliawati, Ari Aji H.S. (Purwokerto), Rofiudin (Tegal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo