Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYEBARKAN "pengakuan" terpidana mati Freddy Budiman bukanlah sebuah kejahatan. Ditulis oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Haris Azhar, cerita yang kemudian tersebar di media sosial itu merupakan kritik kepada penegak hukum kita. Tapi, alih-alih berterima kasih, perangkat negara berlaku represif: Haris dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penyebaran "pengakuan" Freddy perlu diletakkan dalam konteks advokasi sang aktivis yang menolak hukuman mati. Kata "pengakuan" ditempatkan di antara tanda petik karena, ketika tulisan Haris disebarkan, Freddy telah dieksekusi bersama tiga terpidana lain. Diwarnai pro-kontra, selama dua tahun pemerintah Joko Widodo telah mengeksekusi 17 narapidana dalam tiga gelombang.
Haris menulis kelemahan hukum di Indonesia, yang menjadi dasar penolakannya terhadap eksekusi mati. Dia mengisahkan pernyataan Freddy, yang ditemuinya dua tahun lalu di Nusakambangan, Jawa Tengah, tentang keterlibatan sejumlah personel kepolisian, tentara, Bea dan Cukai, serta Badan Narkotika Nasional dalam penyelundupan narkotik. Poin yang hendak dia sampaikan: selalu ada kemungkinan salah dalam proses hukum yang menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa.
Tak cergas menelusuri "pengakuan" Freddy, aparat mempersoalkan sang pembawa pesan. Badan Narkotika Nasional dan Tentara Nasional Indonesia melaporkan Haris ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Pendekatan aparat terhadap Haris itu sangat aneh. Kepolisian seharusnya lebih dulu menelusuri kebenaran informasi yang disampaikan sang aktivis. Mungkin benar, tidak semua pernyataan Freddy yang disampaikan Haris seratus persen akurat. Tapi, sebaliknya, mengabaikan seluruh informasi Freddy justru menunjukkan sikap defensif aparat.
Selama ini desas-desus keterlibatan aparat dalam kejahatan narkotik, juga dalam proses hukumnya, kerap terdengar. Bahkan ada olok-olok di masyarakat bahwa aparat yang korup sering bertanya kepada pengguna atau pengedar yang tertangkap: "Mau jadi beras atau berkas?"—isyarat bahwa sebuah kasus bisa diselesaikan dengan jalan "damai". Dalam perkara Freddy pun, hampir mustahil tidak ada aparat yang terlibat. Indikasinya, sang terpidana bisa leluasa memproduksi narkotik, sekaligus mengedarkannya, dari sel tempat ia menjalani hukuman.
Karena itu, kepolisian sepatutnya membentuk tim untuk menyelidiki kebenaran tuduhan Freddy. Jika perlu, tim bisa melibatkan anggota independen yang kredibel. Tim ini bisa merunut kembali petugas-petugas yang berhubungan dengan Freddy pada periode dia menjalani hukuman sebelum akhirnya dihukum mati. Petugas keamanan penjara bisa dimintai keterangan untuk mengetahui personel Badan Narkotika Nasional yang meminta kamera keamanan di sel Freddy dihilangkan, seperti disebutkan Freddy.
Haris Azhar tidak sedang merongrong kewibawaan lembaga negara ketika ia menulis pernyataan Freddy. Ia justru menyampaikan kritik yang harus dipandang sebagai usaha memperbaiki lembaga-lembaga itu. Memberangus Haris dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik harus dibaca sebagai ancaman kepada para peniup peluit yang ingin membuka pelbagai kejahatan.
Sang aktivis sebenarnya bahkan sedang berusaha mendorong pemerintah menempatkan Indonesia di jajaran bangsa beradab dengan menyingkirkan hukuman mati. Ancaman pidana ini terbukti tidak efektif menghentikan pelbagai kejahatan, termasuk kejahatan narkotik. Dalam perkara Freddy, vonis mati bahkan tak membuatnya jera: setelah divonis mati, berkali-kali ia mengulangi kejahatannya.
Indonesia pun kehilangan pijakan moral untuk menerapkan hukuman mati. Aparat hukum yang kotor berpotensi melakukan kesalahan ketika menjatuhkan vonis. Eksekusi mati terpidana menghilangkan kesempatan koreksi terhadap kesalahan hukuman yang mungkin terjadi. Negara tidak berhak mengakhiri hidup seseorang.
Prioritas yang perlu dilakukan saat ini adalah membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum. Pangkas semua aparat yang terbukti terlibat kejahatan narkotik, tak peduli kesatuan asalnya dan tinggi-rendah pangkatnya. Keterangan Freddy melalui Haris selayaknya dijadikan kesempatan memulai usaha itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo