Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhtiar Suciwati, istri Munir Said Thalib, mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Pusat agar pemerintah membuka hasil temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir sudah semestinya dilakukan. Kasus pembunuhan Munir pada 7 September 2004 sampai sekarang belum terungkap tuntas. Gugatan ini diharapkan bisa membuka jalan sehingga siapa sesungguhnya otak pembunuhan keji pejuang hak asasi itu bisa diadili.
Munir dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta ke Belanda. Hasil autopsi memastikan kematiannya akibat racun arsenik. Meski sudah 12 tahun berlalu, belum juga tuntas siapa sesungguhnya dalang pembunuhan itu. Sejumlah pejabat Badan Intelijen Negara yang diduga terkait dengan pembunuhan itu dibiarkan melenggang. Hanya Pollycarpus Budihari Priyanto yang divonis 20 tahun penjara, selain mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan, yang dihukum karena kasus pemalsuan surat tugas.
Itulah sebabnya, Suciwati menuntut pemerintah membuka hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta. Laporan TPF itu sudah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Juni 2005, tapi laporan itu seperti tenggelam ke dasar lautan. Tak ada yang mau bicara. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang pembentukan TPF poin kesembilan, temuan TPF harus diumumkan.
Inilah saatnya Komisi Informasi Pusat (KIP) membuktikan bahwa mereka bukan macan ompong. Komisi ini seharusnya tak menyia-nyiakan wewenangnya yang begitu besar untuk membuka informasi demi mewujudkan tata kelola negara yang akuntabel—seperti tujuan pendirian lembaga ini. Kasus Munir ini merupakan kasus penting yang menjadi potret penanganan hak asasi manusia di Indonesia. Maka selayaknya Komisi berperan aktif mendorong pengungkapan data temuan TPF. Mereka bisa memanggil sejumlah pejabat terkait, tak terkecuali mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hampir 12 tahun setelah Munir dibunuh, jejak-jejak dalang intelektualnya semakin kabur. Padahal kesaksian Budi Santoso, mantan pejabat di badan intelijen, menyebutkan adanya konspirasi pembahasan rencana menghabisi sang aktivis. Deputi Penggalangan Muchdi Purwoprandjono pernah menjadi terdakwa, tapi ia bebas. Data bahwa pernah ada puluhan percakapan dengan Pollycarpus di telepon selulernya tak juga bisa membuktikan bahwa dialah perencana pembunuhan itu. Hendropriyono juga sempat diperiksa, tapi sebatas sebagai saksi di kepolisian, yang hasilnya tak dipublikasikan.
Di sinilah KIP bisa berperan penting. Dengan kewenangannya, Komisi bisa memaksa agar kasus tersebut dibuka lagi. Masih banyak kejanggalan yang belum terungkap. Apalagi belakangan Pollycarpus mendapat hadiah berupa hukuman bebas bersyarat serta sejumlah saksi kunci juga meninggal tak wajar.
Ketertutupan seperti itu harus diakhiri. Komisi Informasi harus menjaga marwahnya. Inilah saatnya mereka berperan aktif dalam era transparansi. Selama ini rekam jejak Komisi Informasi belum memuaskan. Dari 2014 hingga 2015, menurut Forestry Watch, tercatat ada 975 permohonan informasi publik kepada KIP, tapi hanya 127 informasi yang dibuka. Era ketertutupan sudah lewat. Komisi semestinya membuka seluas-luasnya informasi yang patut diketahui rakyat. Hanya melalui transparansi akan tercipta tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam kasus Munir, pemerintah Joko Widodo sudah berjanji mengungkap otak pembunuhan Munir. Jadi tunggu apa lagi? Keengganan pemerintah membuka hasil penyelidikan TPF justru bisa menimbulkan syak wasangka, jangan-jangan ada kesengajaan melindungi aktor yang terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo