Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENCERMATI kerusuhan Tanjungbalai, Jumat dua pekan lalu, banyak hal bisa dipelajari. Pertama, tidak seyogianya setiap kerusuhan bisa dipukul rata dan digeneralisasi sekadar akibat meningkatnya intoleransi dan radikalisme.
Tidak selalu akar kerusuhan bisa disimpulkan secara gampangan, sehingga tawaran solusinya pun tidak pula sederhana dan seragam. Setiap kerusuhan punya akar berbeda dan dengan demikian sesungguhnya mengandung karakter yang spesifik. Perbedaan itu ditentukan sejumlah faktor: sejarah, geografi, bahkan demografi.
Tanjungbalai Asahan—untuk membedakannya dengan Tanjungbalai Karimun di Kepulauan Riau—adalah kota tua di muara Sungai Asahan dan Sungai Silau, berhampiran dengan Selat Malaka. Sejak 1620, kota ini sudah menjadi kota raja Kesultanan Asahan dengan penduduk berbagai-bagai. Pembukaan perkebunan besar di sekitar Kabupaten Asahan kemudian membuat Tanjungbalai menjadi rantau tujuan berbagai etnis.
Para perantau Tionghoa menghampiri kota ini sejak zaman kesultanan. Di rumah seorang bangsawan Asahan, Tengku Alang Yahya namanya, malah mengabdi seorang koki "Hailam"—nama lain untuk Hainan. Tanah untuk mendirikan Balai Kota Tanjungbalai yang pertama adalah hibah dari seorang hartawan Tionghoa, Njoo Tjiang Seng. Perantau Tionghoa gelombang berikutnya datang bersamaan dengan pembukaan rel kereta api Medan-Tanjungbalai-Rantau Prapat dan berdirinya Deli Spoorweg Maatschappij, 1883.
Sebelum 1965, Tanjungbalai satu-satunya kota di Sumatera yang setiap tahun mementaskan Opera Beijing di panggung terbuka selama sebulan penuh. Penduduk menyebutnya "Wayang Cino". Pemainnya terdiri atas petani-petani Tionghoa dari suatu tempat yang bernama "Kebun Sayur", beberapa kilometer dari pusat kota. Artinya, orang Tionghoa bukanlah "makhluk asing" bagi orang Tanjungbalai.
Gelombang terakhir perantau Tionghoa "menyerbu" Tanjungbalai setelah 1965. Mereka datang dari sekitar hulu sungai, bahkan dari tepi perbatasan Riau. Mereka adalah orang yang merasa terancam di daerah asalnya dan pindah sekalian bersama modalnya. Tanjungbalai, yang pada 1980-an dinyatakan sebagai kota terpadat di Asia Tenggara, berubah komposisi demografisnya.
Harus diakui, pendatang baru itu tak semuanya membangun bisnis bersih. Bukan rahasia bahwa Tanjungbalai termasuk kota peredaran narkotik yang cukup "panas". Penyelundupan juga gencar karena perjalanan dari muara Sungai Asahan ke daratan Malaysia hanya membutuhkan beberapa jam dengan perahu cepat. Bukan rahasia pula bahwa bisnis seperti ini memerlukan kolusi antara pelaku dan pihak yang bisa "melindungi".
Jurang miskin-kaya yang makin lebar: itulah sebetulnya akar persoalan. Kenyataan bahwa di Tanjungbalai terdapat lebih dari lima vihara dan kelenteng membuktikan penduduk kota ini tidak "alergi" terhadap rumah ibadah umat dengan kepercayaan lain. Sudah tepat bahwa kepolisian sedang mencari pelaku dan dalang kerusuhan—sehingga kasus ini tidak berhenti di tengah jalan. Siapa yang diuntungkan oleh peristiwa semacam ini; itu juga pertanyaan yang perlu dijawab.
Kerusuhan Tanjungbalai tak bisa diselesaikan sekadar "secara adat": bersalaman dan makan bersama. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh mempersempit jurang kemiskinan dan membasmi bisnis haram yang membelit kota ini. Karena itu, semua pihak, terutama penegak hukum, harus mendekati masalah dengan mengesampingkan kepentingan sempit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo