Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

TKI: Harkat, Bukan Angka

Setiap hari, 500 TKI dipulangkan dengan berbagai alasan. Menanti undang-undang perlindungan TKI, akan terbit SKB lima menteri.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terpilih sebagai Ketua Umum PSSI bisa merupakan blessing in disguise bagi Jacob Nuwa Wea. Daripada ditambahi urusan sepak bola yang ruwetnya bukan main, lebih bermanfaat kiranya sang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi memusatkan pikiran dan perhatian atas nasib para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terlunta-lunta di sejumlah negara. Apalagi setelah dipanggil Presiden, Rabu pekan lalu, Jacob menerangkan kepada pers, "Presiden memerintahkan saya agar benar-benar membenahi dari hilir sampai hulu mengenai penempatan dan perlindungan TKI luar negeri." Tidak berarti bahwa selama ini beliau dianggap tidak benar-benar membenahi…. Masalah TKI tentu bukan urusan Jacob seorang. Hingga dua bulan lalu, di seberang lautan sana beredar 1,8 juta TKI, 20.972 orang di antaranya tersangkut berbagai musibah: sakit, tak mampu bekerja, ditahan, atau mengalami penganiayaan dan pelecehan seksual—dua terakhir ini terutama menimpa tenaga kerja wanita (TKW). Hingga bulan kemarin, sekitar seratus TKI wafat di berbagai negeri, ribuan lainnya meringkuk di penjara. Menurut Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, di Kuwait saja terdapat sekitar 1.500 TKI yang terkurung di bui. Keinginan sejumlah tokoh agar pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri bukannya menyimpang dari akal sehat. Lihatlah: kita tak mampu melindungi "anak-anak bangsa" itu dari kezaliman para majikan mereka di sana. Memang, menurut Menteri Perburuhan dan Sosial Arab Saudi, dari 335 ribu TKI yang bekerja di negerinya, hanya 400 yang bermasalah. Kecil sekali bila disimak sebagai data statistik. Tapi, sebagaimana kita bersetuju dengan Nurcholish Madjid, ini bukan perkara angka, melainkan harkat manusia. Presiden akhirnya menegaskan, pengiriman TKI ke luar negeri tak akan dihentikan. Keputusan ini pun sulit untuk tak dipahami, mengingat lapangan pekerjaan yang sempit dan kemiskinan yang makin meruyak di Tanah Air. Presiden meminta undang-undang tentang penempatan perlindungan TKI di luar negeri segera diselesaikan. Tapi, seraya menanti proses produksi undang-undang yang memang sangat dibutuhkan itu, payung hukum apa yang bisa dipakai, sementara setiap hari sekitar 500 TKI dipulangkan dengan berbagai alasan? Mengapa tak berangkat dari hal paling sederhana: mengubah sikap dan persepsi kita terhadap para TKI itu sendiri? Untuk sebuah undang-undang, kita mungkin perlu menunggu, katakanlah, sebulan paling cepat. Tapi, untuk mengubah sikap dan persepsi kita mulai hari ini, siapa yang bisa menghalangi? Untuk mengubah "pemandangan" di ruang kedatangan TKI di Bandara Soekarno-Hatta dan bandara lainnya di Tanah Air, tempat para TKI disambut dengan pelbagai tipu daya dan akal busuk, siapa yang bisa menghalangi? Bersama para guru, TKI sering mendapat julukan "pahlawan tanpa tanda jasa". Dalam kenyataannya, mereka cenderung diperlakukan sebagai orang "tanpa jasa apa-apa", walaupun dari jumlah 465 ribu TKI tahun lalu negara beroleh sumbangan devisa Rp 9 triliun. Tahun ini pemerintah mematok target 1,12 juta TKI, dengan total devisa US$ 3 miliar. Setarakah target itu dengan azab-aniaya yang ditanggung para TKI itu di berbagai negeri, bahkan sampai pada penistaan kehormatan? Mungkin karena khawatir dianggap tak cepat tanggap, pekan ini pemerintah rencananya membentuk lembaga perlindungan TKI di luar negeri, yang beranggotakan staf Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Perhubungan. Akan ada penandatanganan surat kesepakatan bersama (SKB), dan diharapkan dalam dua bulan tim sudah bekerja di Arab Saudi dan Kuwait. Sebetulnya, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pernah ada SKB 11 Juli 2001 tentang pembentukan tim penanggulangan permasalahan penempatan dan perlindungan TKI. SKB itu diteken Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Surjadi Soedirdja, Menteri Kehakiman dan HAM Marsilam Simanjuntak, Menteri Keuangan Rizal Ramli, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Al-Hilal Hamdi. Setelah pemerintahan berganti, tak jelas nasib SKB itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus