Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 tidak dilandasi alasan yang kukuh dan tepat. Dilihat dari berbagai sudut pandang, RUU tersebut tidak memiliki urgensi apa pun untuk dibahas dan diteruskan menjadi sebuah undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus membatalkan pembahasan mengenai RUU ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU ini merupakan satu dari 50 rancangan undang-undang yang disetujui Badan Legislasi untuk masuk dalam Prolegnas. Alasan utama penyusunan rancangan ini adalah bahwa ulama harus dilindungi dari ancaman persekusi dan kriminalisasi saat menyampaikan ajaran agama. Jadi, ini semacam hak imunitas yang dimiliki anggota Dewan saat bertugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan tersebut sangat mengada-ada. Sebab, bukan hanya ulama, setiap warga negara Indonesia juga harus dilindungi dari ancaman-ancaman serupa, apa pun latar belakang dan status sosialnya. Kedudukan ulama sama belaka di hadapan hukum dengan anggota masyarakat lainnya. Memaksakan harus ada aturan soal ini merupakan ide yang ganjil dan secara mendasar bertentangan dengan salah satu prinsip negara hukum, yakni persamaan di depan hukum (equality before the law).
Lagi pula, soal kriminalisasi terhadap ulama selama ini hanyalah klaim sepihak. Sederet nama yang ditunjukkan telah mengalami kriminalisasi, faktanya, memang bermasalah dengan hukum. Sedangkan soal persekusi, KUHP menyediakan sekian pasal pidana yang dapat menjerat pelaku aksi tersebut. Dari pasal-pasal yang terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan (ancaman hukuman 1 tahun penjara) hingga merampas kemerdekaan seseorang dengan ancaman hukuman 8 tahun kurungan.
Pendeknya, soal kriminalisasi ulama itu lebih terasa isu elitis dan politis karena di mana-mana para pendakwah saat ini masih bebas melakukan kegiatan kerohanian dan mensyiarkan ajaran agama. Isu itu pun hanya muncul saat riuh-rendah masa pemilihan presiden lalu, dan kini tak terdengar lagi. Saat itu terjadi komodifikasi agama untuk kepentingan politik.
Bisa diperkirakan, jika aturan ini diberlakukan, justru serangkaian persoalan akan muncul. Salah satunya, aturan ini rawan dijadikan komoditas politik dan tunggangan untuk menguatkan politik identitas. Atas nama hak perlindungan, misalnya, para tokoh agama bebas bicara di mimbar demi memperjuangkan tujuan politik pribadi atau kelompok. Ajaran-ajaran tentang iman yang menjangkau jauh untuk keselamatan ukhrawi bisa ditelikung demi tujuan duniawi.
Para tokoh agama, atau siapa pun yang menahbiskan diri sebagai tokoh agama, juga akan menjadi kebal hukum saat bicara di atas podium. Mereka bisa bicara apa saja, termasuk menyinggung, bahkan menyerang, keyakinan kelompok umat lain, dan tentu ini berpotensi merusak keharmonisan masyarakat.
Undang-undang ini tidak diperlukan dan terkesan sangat mengada-ada. Tokoh agama di Indonesia bukanlah kelompok sosial yang rentan, seperti anak-anak, penyandang disabilitas, ataupun kaum migran. Mereka justru menempati posisi sosial kuat dalam masyarakat. Sebagai agamawan, mereka juga telah memasrahkan diri pada spiritualitas dan perlindungan Ilahi, bukan mengandalkan perlindungan jasmani dari negara.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 21 Januari 2020