NAMANYA Yesus. Konon kata ini berasal dari bahasa Romawi, Yesus
atau dari bahasa Yunani, lesous. Konon pula asal sebenarnya
adalah Yeshu'a yang--menurut seorang ahli--berarti "pertolongan
Yahwe". Dan Yahwe, tentu saja, adalah Tuhan bagi orang Yahudi
sebagaimana Allah bagi orang Islam.
Jika kita bicara lewat buku sejarah, dia memang pemuda Yahudi.
Selama beberapa ratus tahun setelah ia wafat orang sebenarnya
belum bisa memastikan, kapan persisnya dia lahir. Sejak abad
kedua, gereja Kristen Timur merayakan Natal pada 6 Januari.
Dalam pertengahan abad ke4 gereja Barat, termasuk Roma,
merayakannya 25 Desember.
Tapi akhirnya, kepersisan tak teramat penting di sini. Di ujung
abad ke-4 baik gereja Timur maupun Barat sepakat, bahwa 25
Desember adalah hari kelahirannya. Dan seperti Kiekergaard,
filosof Denmark itu, kita pun setuju bahwa kenyataan historis
tidak relevan bagi iman.
Yang menarik tentu mengapa iman sebegitu banyak orang dapat
ttlmbuh sedemikian kuat, hingga tokoh ini bagi mereka bukan lagi
sekedar tokoh empiris, yang bisa dikenai kritik sejarah? Dan
mengapa tak hanya orang Kristen yang tersentuh olehnya?
Kita bisa menjawabnya sebagaimana orang Kristen akan menjawab.
Atau sebagai orang lslam, yang menganggap lesus, atau Isa,
sebagai nabi mereka juga. Tapi kita pun bisa menjawabnya seperti
Hegel, yang terkesima atas kata-kata Yesus: "Belum pernah
kata-kata serevolusioner itu diucapkan . . ."
Dan kita pun bisa memandangnya dalam garis sejarah, serta
kembali menengok negeri Yudea: negeri tempat para nabi datang
silih berganti. Negeri ini, setelah tegak jadi kerajaan, dan
berkembang pula ekonominya, akhirnya mengenal apa yang kini kita
juga kenal: keresahan sosial.
Di Yerusalem proletariat berkembang-biak. Daerah kumuh
berlingkarlingkar, sementara di tengahnya kekayaan pribadi dan
kerajaan dipamerkan. Riba dan pengisapan jadi terorganisasi.
Sulaiman memang telah mendirikan Kuil, atau Kenisah yang besar,
tapi memang bukan itu yang bisa menyelamatkan keadaan. Justru di
sekitar bangunan megah itu orang-orang kaya berlindung.
Dari situasi itulah muncul cetusancetusan, yang memperingatkan
khalayak ramai. Bahasa Ibrani menyebut para pencetus suara itu
nabi, dan orang Yunani menyebutnya pro-phe-tes, atau orang yang
memaklumkan. Dan tentulah Tuhan berkenan pula memberikan api dan
cahaya dalam diri mereka.
Sebab mereka dapat melihat apa yang akan terjadi dan itu tak
lain adalah bencana. Mereka pun menyeru dengan suara yang paling
bergeur, dan itu adalah suara orang yang mengetahui tentang dosa
dan kesucian.
Suara itu, mau uk mau, adalah juga suara amarah. "Celakalah
mereka yang menggabungkan rumah dengan rumah," ujar Yesaya
mengutuk keserakahan, "dan menggandengkan ladang dengan ladang,
sampai tidak ada lagi lowongan, dan kamu sendiri saja diam di
tengah negeri ini."
Yesaya bukanlah satu-satunya, tentu. Bahkan kemarahan itu kadang
sampai pada tingkat kemarahan Yeremia. Bagi Yeremia, kedatangan
serbuan raja Babilonia yang kejam, Nebukadnezar, justru
merupakan titah Tuhan untuk menghukum orang-orang Yudea dalam
ketidakadilan dan keserakahan mereka. Tuhan, bagi nabi-nabi
Yahudi ini, sebagaimana terasa jika orang membaca Kitab
Perjanjian lama, memang seakan-akan penuh dengan sabda yang
menggelegar, menjelang suatu destruksi.
Syahdan, zaman kemudian berubah meskipun penderitaan negeri
Yudea itu tidak juga berkurang. 500 tahun sesudah itu, negeri
itu kembali terasa menunggu datangnya penyeru yang lain--bahkan
seorang Juru Selamat. Yudea yang dijajah Romawi, dan mengalami
pahitnya pemberontakan-pemberontakan yang gagal, ingin
dibebaskan. Ke sanalah Yesus dilahirkan.
Tapi kemudian yang tercatat dari dia bukanlah sekedar ulangan
Yeremia. Bukannya dia tanpa kemarahan. Hanya agaknya ada sesuatu
yang lebih kuat dari kemarahan itu: sesuatu yang menutupi
segalanya, menanggung segalanya, sesuatu yang membebaskan. Dan
dunia pun diterima sebagai jembatan: kita tak membangun rumah di
ausnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini