Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tokoh revolusioner

Yesus, bagi orang kristen, bukan hanya tokoh empiris yang tak bisa dikenai kritik sejarah. ia sebagai to koh revolusioner, yang diakui orang islam sebagai nabi isa. tapi negeri kelahirannya kini resah.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Yesus. Konon kata ini berasal dari bahasa Romawi, Yesus atau dari bahasa Yunani, lesous. Konon pula asal sebenarnya adalah Yeshu'a yang--menurut seorang ahli--berarti "pertolongan Yahwe". Dan Yahwe, tentu saja, adalah Tuhan bagi orang Yahudi sebagaimana Allah bagi orang Islam. Jika kita bicara lewat buku sejarah, dia memang pemuda Yahudi. Selama beberapa ratus tahun setelah ia wafat orang sebenarnya belum bisa memastikan, kapan persisnya dia lahir. Sejak abad kedua, gereja Kristen Timur merayakan Natal pada 6 Januari. Dalam pertengahan abad ke4 gereja Barat, termasuk Roma, merayakannya 25 Desember. Tapi akhirnya, kepersisan tak teramat penting di sini. Di ujung abad ke-4 baik gereja Timur maupun Barat sepakat, bahwa 25 Desember adalah hari kelahirannya. Dan seperti Kiekergaard, filosof Denmark itu, kita pun setuju bahwa kenyataan historis tidak relevan bagi iman. Yang menarik tentu mengapa iman sebegitu banyak orang dapat ttlmbuh sedemikian kuat, hingga tokoh ini bagi mereka bukan lagi sekedar tokoh empiris, yang bisa dikenai kritik sejarah? Dan mengapa tak hanya orang Kristen yang tersentuh olehnya? Kita bisa menjawabnya sebagaimana orang Kristen akan menjawab. Atau sebagai orang lslam, yang menganggap lesus, atau Isa, sebagai nabi mereka juga. Tapi kita pun bisa menjawabnya seperti Hegel, yang terkesima atas kata-kata Yesus: "Belum pernah kata-kata serevolusioner itu diucapkan . . ." Dan kita pun bisa memandangnya dalam garis sejarah, serta kembali menengok negeri Yudea: negeri tempat para nabi datang silih berganti. Negeri ini, setelah tegak jadi kerajaan, dan berkembang pula ekonominya, akhirnya mengenal apa yang kini kita juga kenal: keresahan sosial. Di Yerusalem proletariat berkembang-biak. Daerah kumuh berlingkarlingkar, sementara di tengahnya kekayaan pribadi dan kerajaan dipamerkan. Riba dan pengisapan jadi terorganisasi. Sulaiman memang telah mendirikan Kuil, atau Kenisah yang besar, tapi memang bukan itu yang bisa menyelamatkan keadaan. Justru di sekitar bangunan megah itu orang-orang kaya berlindung. Dari situasi itulah muncul cetusancetusan, yang memperingatkan khalayak ramai. Bahasa Ibrani menyebut para pencetus suara itu nabi, dan orang Yunani menyebutnya pro-phe-tes, atau orang yang memaklumkan. Dan tentulah Tuhan berkenan pula memberikan api dan cahaya dalam diri mereka. Sebab mereka dapat melihat apa yang akan terjadi dan itu tak lain adalah bencana. Mereka pun menyeru dengan suara yang paling bergeur, dan itu adalah suara orang yang mengetahui tentang dosa dan kesucian. Suara itu, mau uk mau, adalah juga suara amarah. "Celakalah mereka yang menggabungkan rumah dengan rumah," ujar Yesaya mengutuk keserakahan, "dan menggandengkan ladang dengan ladang, sampai tidak ada lagi lowongan, dan kamu sendiri saja diam di tengah negeri ini." Yesaya bukanlah satu-satunya, tentu. Bahkan kemarahan itu kadang sampai pada tingkat kemarahan Yeremia. Bagi Yeremia, kedatangan serbuan raja Babilonia yang kejam, Nebukadnezar, justru merupakan titah Tuhan untuk menghukum orang-orang Yudea dalam ketidakadilan dan keserakahan mereka. Tuhan, bagi nabi-nabi Yahudi ini, sebagaimana terasa jika orang membaca Kitab Perjanjian lama, memang seakan-akan penuh dengan sabda yang menggelegar, menjelang suatu destruksi. Syahdan, zaman kemudian berubah meskipun penderitaan negeri Yudea itu tidak juga berkurang. 500 tahun sesudah itu, negeri itu kembali terasa menunggu datangnya penyeru yang lain--bahkan seorang Juru Selamat. Yudea yang dijajah Romawi, dan mengalami pahitnya pemberontakan-pemberontakan yang gagal, ingin dibebaskan. Ke sanalah Yesus dilahirkan. Tapi kemudian yang tercatat dari dia bukanlah sekedar ulangan Yeremia. Bukannya dia tanpa kemarahan. Hanya agaknya ada sesuatu yang lebih kuat dari kemarahan itu: sesuatu yang menutupi segalanya, menanggung segalanya, sesuatu yang membebaskan. Dan dunia pun diterima sebagai jembatan: kita tak membangun rumah di ausnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus