Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pakar pengentasan kaum miskin kelas dunia berada di Jakarta pekan ini. C.K. Prahalad menyampaikan paradigma baru dalam melihat kaum miskin. Pengajar di sekolah bisnis Universitas Michigan ini, melalui bukunya yang terkenal, The Fortune at the Bottom of the Pyramid, mencoba meyakinkan publik bahwa kaum papa bukanlah "masalah" melainkan potensi pasar yang menguntungkan. Tentu dengan catatan bahwa kelompok miskin tersebut terintegrasi ke dalam dinamika pasar dunia.
Pakar yang satu lagi, Hernando de Soto, penulis buku The Mystery of Capital, menjelaskan bagaimana caranya mengintegrasikan kelompok marginal itu ke dalam jejaring pasar global. Pengusaha sukses asal Peru dan pendiri Institut Demokrasi dan Liberalisme ini berkeyakinan, pemisah utama kaum miskin dengan pasar modal dunia adalah berbagai hukum dan peraturan pemerintah yang selama ini hanya menguntungkan kaum elite.
Keyakinan itu bukan sekadar teori, melainkan hasil penelitiannya di dunia kaum papa. Ia menghitung sendiri lama dan sulitnya wiraswasta cilik untuk masuk ke dunia bisnis formal di negara-negara berkembang. Di Peru, misalnya, untuk mengurus izin usaha perusahaan saja dibutuhkan waktu 210 hari dan biaya setara upah minimum enam bulan. Wajar jika mereka yang berjiwa wiraswasta tapi bermodal lemah akhirnya memutuskan berniaga di dunia informal, lapangan bisnis yang tak mendapat perlindungan hukum bahkan acap kali terancam oleh operasi penertiban aparat negara.
Lokasi berniaga di wilayah "luar hukum" inilah yang menyebabkan kaum miskin sulit mengembangkan usahanya. Akses pada modal terputus karena kepastian hak milik dan usaha mereka tak ada. Perlindungan terhadap gejolak pasar, seperti jasa asuransi, juga mustahil diperoleh. Bahkan soal mendasar seperti jaminan hukum untuk bebas dari pemerasan dan ancaman para preman serta aparat korup pun tak dimiliki.
Ketiadaan perlindungan hukum ini, menurut Hernando de Soto, yang menjadi penyebab utama ketidakberdayaan kaum miskin di seluruh dunia. Mereka sebenarnya memiliki aset yang lumayan besar, tapi tak dapat dimanfaatkan karena tak diakui hukum yang berlaku. Ini bukan soal teoretis. Di Indonesia saja hanya sekitar tujuh persen dari seluruh tanah yang dikuasai penduduk memiliki sertifikat resmi. Ini berarti lebih dari 90 persen tanah di Indonesia tak dapat dijadikan agunan oleh pemiliknya untuk mengambil kredit ke bank. Padahal, di negara maju seperti Amerika Serikat, sekitar 80 persen pengusaha memulai bisnisnya dengan memanfaatkan tanahnya sebagai agunan untuk pinjaman modal dari bank.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjanjikan akan menurunkan tingkat kemiskinan absolut Indonesia dari 18,2 persen pada 2002 menjadi 8,2 persen pada 2009, perlu menyimak gagasan ini dan segera menjalankannya. Ia harus segera membuat tim ahli yang memantau dan memastikan semua aturan pemerintah berefek memberdayakan kaum miskin dan bukan malah membuat mereka semakin terhambat.
Dengan upaya ini janji kampanye itu jadi mungkin ditepati, bahkan boleh jadi ditambah bonus meningkatnya pendapatan pemerintah. Soalnya, penerapan cara ini di Peru terbukti langsung menambah perolehan pajak pemerintah senilai US$ 2 miliar, walaupun rate pajaknya diturunkan. Ini tentu layak ditiru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo