Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

DPR Kok Ngurus Gorden

Proyek pengadaan gorden tak mencerminkan wajah dan tabiat anggota DPR kita. Semestinya mereka meniru Jokowi membangun gedung di ibu kota baru.

20 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • DPR seharusnya membuat proyek yang lebih mercusuar lagi.

  • Muruah DPR kita adalah tidak mendengarkan suara rakyat.

  • Proyek gedung DPR atau rumah dinas baru di IKN tentu lebih gurih.

SEMESTINYA Dewan Perwakilan Rakyat tak perlu pura-pura mendengarkan protes orang banyak dengan membatalkan proyek gorden rumah dinas mereka. Para anggota DPR bahkan seharusnya membuat proyek yang lebih mercusuar lagi, misalnya meniru Presiden Joko Widodo membuat sayembara gedung DPR di Kalimantan Timur. Buat apa mengganti gorden yang baru 12 tahun jika dua tahun lagi wakil-wakil kita itu harus pindah ke Ibu Kota Nusantara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemilih yang meributkan proyek gorden senilai Rp 43 miliar itu hanyalah rakyat yang cerewet. Bukankah para anggota DPR kita sudah sering mengabaikan suara mereka? Ketika kami menyerukan stop membahas Undang-Undang Cipta Kerja karena inkonstitusional, membahayakan lingkungan, dan mengancam hak asasi manusia, toh mereka terus. Ketika kami meminta mereka berhenti membahas UU Ibu Kota Negara karena bukan kebutuhan mendesak di masa pandemi, DPR malah mengebutnya dalam 40 hari.

Jadi, tipis kuping untuk proyek kecil semacam gorden lalu membatalkannya, itu bukan muruah DPR kita. Muruah DPR kita adalah tidak mendengarkan suara rakyat, abai terhadap protes, tak peduli pada suara publik, menadah komisi dari proyek-proyek infrastruktur besar. Jadi, tender gorden atau proyek tak penting lainnya, seperti mengecat gedung kura-kura senilai Rp 4,5 miliar dan Rp 11 miliar untuk pengaspalan kompleks parlemen itu, tak mencerminkan wajah DPR kita.

Mengecat gedung atau mengaspal jalan itu tak membuat DPR kita tidak bisa bekerja. Kita juga tahu rumah-rumah dinas anggota DPR itu tak mereka tempati. Aset negara itu jadi markas tim sukses atau staf ahli yang mengantar mereka duduk di parlemen, menikmati segala fasilitas dan keistimewaan pejabat negara. Kebanyakan para wakil kita lebih senang tinggal di rumah sendiri yang mewah, seraya tetap mendapatkan fasilitas negara yang wah.

Anggaran belanja DPR kita tahun ini Rp 5,71 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang Rp 5,07 triliun. Buat DPR, ini uang kecil. Setiap tahun mereka bekerja keras mengusir kantuk di ruangan yang dingin, membahas ribuan triliun rupiah dana APBN bersama pemerintah, termasuk menyetujui anggaran membangun ibu kota negara sebesar Rp 500 triliun.

Maka, jika kini mereka mengurus proyek kecil semacam gorden, pengecatan, dan pengaspalan, wakil-wakil rakyat kita itu tidak konsekuen. Jangan sampai pemerintah mutung karena DPR tidak mengajukan anggaran untuk hal-hal yang tak penting juga. Jangan sampai pemerintah membuat dekrit karena DPR tak mengajukan proyek yang sama besar untuk melengkapi fasilitas-fasilitas kerja di ibu kota baru.

Anggota DPR sudah setuju ibu kota Indonesia pindah ke Kalimantan pada 2024, tak elok jika pada 2022 masih ingin mengganti gorden di rumah dinas di Jakarta yang sebentar lagi tak terpakai. Tak ada salahnya, kan, DPR meniru Presiden Jokowi yang hendak membangun istana megah di tengah hutan?

Proyek gedung DPR atau rumah dinas baru di IKN tentu lebih gurih karena butuh anggaran besar, plus menguntungkan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kroni mereka. Soal transparansi atau keberatan publik, anggap saja angin lalu. Bikin alasan bahwa proyek itu untuk kesejahteraan rakyat. Sewa buzzer untuk membalikkan opini publik. Yang demo, tangkap saja. Yang bawel di media sosial, masukkan ke penjara memakai pasal pencemaran nama.

Ingat, sebentar lagi pemilu. Anggota DPR butuh uang banyak untuk kampanye. Karena itu, mereka perlu memperbanyak proyek besar dari APBN. DPR, kok, ngurus gorden yang murahan. Ya, kan?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Jakarta Jurnalis Award dan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita. Sejak 2023 menjabat wakil pemimpin redaksi

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus