Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN dua jaksa di Bondowoso, Jawa Timur, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya mencoreng korps Adhyaksa, tapi juga membuat semakin suram wajah dan nasib penegakan hukum di Indonesia. Mereka yang menjadi garda paling depan dalam penegakan hukum justru menggergaji pilar-pilar keadilan.
KPK menangkap tangan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso Puji Triasmoro dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Bondowoso Alexander Kristian Diliyanto Silaen, Rabu, 15 November 2023. Keduanya menerima duit ratusan juta rupiah dari pihak beperkara agar penyelidikan kasusnya disetop.
Kasus bermula dari Kejari Bondowoso yang menerima laporan masyarakat terkait dugaan korupsi proyek pengadaan peningkatan produksi dan nilai tambah holtikultura. Proyek itu dimenangkan CV Wijaya Gemilang milik Yossy S Setiawan dan Andhika Imam Wijaya. Keduanya pun telah diamankan dalam operasi tangkap tangan KPK.
Penangkapan Puji memperpanjang daftar korupsi oleh aparat penegak hukum. Agustus 2023 lalu, Kejaksaan Agung menahan mantan Kajari Buleleng, Bali, Fahrur Rozi, dan Direktur Utama CV Aneka Ilmu Suswanto terkait kasus suap. Tidak tanggung-tanggung, Jaksa Fahrur Rozi diduga menerima gratifikasi dari perusahaan tersebut selama 13 tahun, sejak 2006 hingga 2019.
Fahrur diduga mengarahkan agar desa-desa di Kabupaten Buleleng membeli buku CV Aneka Ilmu dalam proyek pengadaan buku perpustakaan desa di Kabupaten Buleleng. Sebagai imbalan, Fahrur mendapatkan fee total senilai hampir Rp 24,5 miliar.
Kasus suap juga menyeret Hakim Agung Gazalba Saleh dalam kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung. KPK menahannya, Desember 2022 lalu, lantaran diduga menerima suap Rp 2,2 miliar. Celakanya, ia diputus bebas oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, 1 Agustus 2023 lalu. Tapi jaksa mengajukan kasasi.
Kasus korupsi menara BTS 4G juga sempat menyeret institusi kejaksaan. Duit rasuah diduga untuk menghentikan proses penyelidikan di Kejaksaan Agung, yang hingga kini belum ada kejelasan soal ini. Dana mengalir hingga ke anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasih. Sungguh ironi, BPK sebagai lembaga yang seharusnya mendukung aparat penegak hukum, mengawasi dan mengaudit penggunaan uang negara, justru menilapnya.
Yang paling menggegerkan adalah drama ‘Mahkamah Keluarga’, di mana Ketua Mahkamah Konstitusi –saat itu dijabat Anwar Usman, ipar Presiden Joko Widodo-- mengabulkan gugatan tentang syarat usia calon wakil presiden. Dengan putusan itu, terbuka pintu bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang berarti keponakan Anwar, untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024 nanti. Gibran belakangan maju sebagai kandidat wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Kasus-kasus tersebut semakin membuktikan betapa penegakan hukum di Indonesia sedang berada titik terendah. Hukum telah menjadi alat untuk membela kepentingan para penegaknya, para pemilik modal, juga kepentingan pribadi dan penguasa.
Sulit berharap pembenahan terjadi jika rezim yang tengah berkuasa masih cawe-cawe dalam penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, agar penegakan hukum semakin tidak rusak, pada Pemilu 2024 nanti, publik harus memilih pemimpin yang bukan bagian dari penguasa saat ini yang terbukti kinerjanya jeblok dalam urusan tersebut.
Tak mungkin juga berharap kepada orang yang jelas-jelas maju dalam kontestasi nasional dengan cara mengakali hukum seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Penegakan hukum bisa memberikan keadilan bagi masyarakat jika penimpin yang terpilih benar-benar mereka yang patuh dan menghormati hukum itu sendiri.