Blair A. King *)
*) Kandidat doktor ilmu politik di Ohio State University, AS
PADA zaman Orde Baru, kalimat "wasit merangkap pemain" kerap dipakai untuk mengeluhkan posisi politik Golkar. Dengan ditopang birokrasi sipil dan militer, Golkar telah menciptakan medan politik yang tidak adil. Ironisnya, saat ini, kalimat tersebut bisa juga menggambarkan posisi konstitusional MPR dalam pertikaian antara presiden dan DPR.
Pada separuh pertama tahun ini, pertikaian antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR semakin menjadi-jadi. Kedua lembaga tinggi negara tersebut sama-sama menganggap diri lebih konstitusional dalam bertindak dan saling menuduh bahwa lawannya telah melanggar UUD 1945. Pada saat itu, cukup sering terdengar seruan supaya konflik tersebut diserahkan saja kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk diselesaikan. Maka, sidang istimewa pun digelar dan hasilnya Presiden Abdurrahman diberhentikan dari jabatannya.
Seruan tersebut berasumsi seolah-olah MPR adalah wasit yang netral dalam menilai tindakan para pemain, yaitu presiden dan DPR. Sayangnya, asumsi tersebut tidak berdasar. Justru sebaliknya, MPR sebagai wasit juga merangkap sebagai pemain karena 72 persen dari anggotanya adalah anggota DPR dan 19 persen dari anggotanya (para utusan daerah) juga hampir semua berasal dari partai-partai yang duduk di DPR. Artinya, 91 persen dari anggota MPR merupakan orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam konflik yang akan ditengahinya.
Apa yang terjadi dalam keadaan demikian? Berdasarkan hasil sidang istimewa, rakyat Indonesia tidak mendapat suatu kata putus yang memuaskan dan bisa dipercaya mengenai berbagai persoalan konstitusional yang mewarnai konflik antara Presiden Abdurrahman dan DPR selama tahun ini, misalnya: apakah MPR bisa mewajibkan Presiden memberikan pertanggungjawaban pada sidang istimewa? Apakah Presiden masih dapat memberhentikan dan mengangkat Kepala Kepolisian RI secara sepihak (tanpa melibatkan DPR) karena kerangka hukum yang ada baru berbentuk ketetapan MPR yang bunyinya cukup umum dan memang belum dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rinci?
Untung bagi MPR dan DPR, kedua persoalan tersebut tidaklah begitu kontroversial. Sebagian besar politisi dan pakar hukum (dan masyarakat luas?)—juga penulis—berkesimpulan bahwa MPR dan DPR lebih benar. Kita menganggap aturan main yang berlaku memang mengharuskan Presiden memberikan pertanggungjawaban pada Sidang Istimewa MPR. Kita juga menganggap pemberhentian Kapolri Jenderal (Pol.) Surojo Bimantoro secara sepihak oleh Presiden setidaknya melanggar semangat Tap MPR Nomor VII/2000, sekalipun peraturan pelaksanaan ketetapan tersebut belum ada. Karena itu, baik elite politik maupun masyarakat luas menerima pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid. Beliau sendiri "membantu" proses tersebut dengan bertindak lebih jauh dan mengeluarkan maklumat, yang jelas-jelas melanggar aturan main dan membahayakan demokrasi.
Namun, harus disadari bahwa penyelesaian tersebut lebih ber-dasarkan pertimbangan politik daripada hukum dan hanya akan ber-tahan sepanjang konstelasi politik mendukungnya. Sebagai bandingan, mari kita bayangkan seandainya di masa yang akan datang persoalan-persoalan konstitusional yang melatarbelakangi konflik antara presiden dan DPR lebih kontroversial sehingga tidak mudah mencari tafsiran yang diterima secara luas. Lembaga politik harus dirancang untuk menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk yang cukup rumit. Jika tidak, lembaga tersebut tidak akan bertahan lama. Artinya, gara-gara sistem konstitusional yang berlaku saat ini di Indonesia tidak memiliki wasit yang netral, pada suatu saat seluruh sistemnya bisa runtuh akibat pertikaian antara presiden dan DPR yang merembet ke masyarakat luas karena tidak ada kata putus yang bisa diterima dan dipercaya.
Bagaimana mengatasi keadaan ini? Sebagai bagian dari proses amandemen UUD 1945 selanjutnya, MPR harus menetapkan wasit yang lebih netral. Lembaga yang paling baik untuk memainkan peran tersebut adalah lembaga yang sudah diusulkan yang bernama Mahkamah Konstitusi, atau sebagai alternatif bisa juga Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi (atau Mahkamah Agung) harus diberi wewenang tidak hanya untuk menguji undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawahnya, tapi juga untuk memberikan tafsiran atas konstitusi itu sendiri. Wewenang tersebut sebaiknya diperbolehkan untuk digunakan secara aktif tanpa menunggu pengaduan dari pihak yang bertikai. Di samping itu, keputusan Mahkamah Konstitusi harus mengikat semua pihak.
Menariknya, pada sidang istimewa yang lalu, DPR dan MPR telah membuat sebuah preseden yang baik dan sejalan dengan usul ini, sewaktu Mahkamah Agung diminta memberikan fatwa mengenai maklumat yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman. Sekarang tinggal membuat aturan main yang baku dan konstitusional mengenai wewenang tersebut.
Dengan demikian, di masa depan, rakyat Indonesia tidak bakal lagi menyaksikan pertikaian antar-lembaga tinggi negara yang berlarut-larut dan berakhir tanpa kata putus yang memuaskan. Dan wasit tidak lagi harus merangkap sebagai pemain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini