Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Yang Punya Uang

Gilderisme dari George Gilder berpendapat bahwa kapitalisme bermula dengan memberi. majalah veto di polandia menulis: mereka yang punya uang tak perlu di curigai. ia dimaafkan di negeri sosialisme. (ctp)

7 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH majalah Polandia bernama Veto baru-baru ini menulis: "Kita harus berhenti mencurigai mereka yang punya uang." Mencurigai? Siapa yang mencurigai? Banyak orang, rupanya. Polandia tak termasuk negeri miskin, tapi menjadi kaya memang suatu perkecualian yang mencolok dan membikin jutaan orang mengintip. Hidup tidak mudah bagi mayoritas. Seorang wartawan Amerika pernah berkunjung ke sebuah sudut Kota Warsawa. Di sana, di sebidang lapangan rumput, terbentuklah pasar yang sebenarnya cerminan sebuah ekonomi yang sayu. "Seorang gadis menyodorkan, selama sekian jam, selembar selendang kumal. Seorang laki-laki menjajakan sehelai kemeja. Selusinan wanita berdiri, masing-masing mengepit sebuah mantel bekas. Sepasang sepatu diangkat laki-laki yang satu, setube tapal gigi dipegang yang lain." "Aku hampir saja mengeluarkan air mata di pasar ini," tulis wartawan itu dengan nada marah dan sedih. Wartawan itu, A.M. Rosenthal dari The New York Times, memang tak berpura-pura menulis obvektif. Tulisannya penuh dengan kecaman - dengan sikap seorang Amerika kaya yang tak terbiasa mengalami sosialisme. Apalagi sosialisme yang sedang payah. Apalagl sosialisme yang menaruh harga sesisir pisang terlampau tinggi buat kebanyakan rakyat. Dengan kata lain: sosialisme yang, dalam kata-kata Majalah Veto, "berada dalam krisis yang mendalam". Begitu dalam krisis itu, hingga orang mulai berpikir kembali tentang cara dan tujuan-tujuannya. Majalah Veto, misalnya, menyarankan agar orang-orang yang punya uang tak dihambat-hambat. Alasan: karena mereka "orang-orang yang berusaha meningkatkan suplai barang dan jasa". Betapa menarik. Sebuah majalah Polandia tiba-tiba bersuara seperti kita semua, ketika berada dalam krisis. Pada saat dana terbatas dan kebutuhan terus meningkat, kita pun mulai menggamit, dengan wajah terang, "mereka yang punya uang" untuk menyelamatkan. Barangkali ini memang dasawarsa yang kebelet. Barangkali ini memang dasawarsa yang terganggu oleh terlampau ributnya semangat sama rata dan sosialisme. Orang mulai bersedia memaafkan orang-orang kaya, yang punya modal dan punya niat untuk kaya terus. Barangkali ini memang masa Gilderisme. Gilderisme - dari George Gilder, tentu saja, orang yang berkata tentang kapitalisme dengan wajah merona. "Kapitalisme", tulisnya dalam Wealth and Poverty yang terbit 1981 (dan langsung dibaca Ronald Reagan yang tak gemar membaca itu), "bermula dengan membcri." Produksi kapitalis, kata Gilder, mengandung keyakinan: keyakinan kepada tetangga, kepada masyarakat, kepada jalannya alam semesta. Bukankah si pemilik modal berusaha tanpa jaminan kompensasi, tanpa balasan anugerah? Laba adalah surprise, bukan seperti upah. Ini ikhtiar yang menempuh risiko. Seakan-akan tak ada nafsu serakah. Seakan-akan sang pemilik modal adalah kesatria yang dengan tekad besar menembus hutan untuk menyelamatkan kita semua. Dalam kenyataan, Du Pont yang bermodal sekian milyar itu menelan Conoco, perusahaan besar yang satu bergabung dengan perusahaan besar yang lain, dan para pemimpinnya sibuk mendesak pemerintah agar memberikan proteksi. Kapitalisme rupanya memang tak identik dengan "pasar bebas". Orang yang punya modal, seperti halnya kita semua, senang untuk tetap menang - kalau bisa dengan mudah. Tapi Gilderisme yang keliru itu penting: ia memberi dongeng lain tentang orang-orang yang punya uang, yang selama ini dianggap berdosa. Bukankah Keynes juga pernah bilang, "Lebih baik orang jadi tirani atas rekeningnya di bank daripada atas warga negara yang lain"? Kekurangan Keynes di situ, tentu saja, ia tak melihat hubungan rekening bank dengan nasib orang lain di luar bank antara kekayaan dan kekuasaan, antara keberuntungan suatu kelompok dan iri hati kelompok yang satu lagi. Di Polandia, seperti ditulis Newsweek 26 Maret 1984, ada orang-orang yang mampu membeli pisang dan orang-orang yang tidak. Yang pertama berlibur ke Mragowo di timur laut, berkilau dengan Porsche dan Mercedes. Yang kedua menonton. Sosialisme di Polandia memang sedang sakit gigi. Tapi sayang sekali sosialisme ini (seperti halnya kapitalisme yang di Barat itu) telah menjanjikan Porsche dan pisang bagi setiap orang - sebab di situlah terletak legitimasi politiknya: penerimaan rakyat kepadanya sebagai sistem. Semangat egaliter yang menghendaki persamaan dan pernerataan memang suka ribut. Tapi siapa yang bisa mengelakkannya di zaman sekarang? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus