ZAKAT berarti kesuburan, keberkatan atau kesucian. Ia sering
disebut dalam Kitab Suci hampir semua setelah kata shalat. Dari
tiga puluh kali, dua delapan di antaranya berbarengan. Dari
penyebutan itu kita terkesan bahwa ia adalah terpenting kedua
setelah shalat (sebelum puasa atau berhaji). Ia juga
diperintahkan sejak awal mula setelah Muhammad resmi menjadi
Nabi.
Kalau dilihat dari segi kata, memang zakat telah dikenal di
negeri ini. Tapi penunaiannya masih langka, kecuali zakat fitrah
-- karena momen yang tepat, ringan dan pelaksanaan teknis yang
mudah. Ada beberapa hal yang mungkin kurang menunjang. Masih ada
kecenderungan di sebagian besar masyarakat kita bahwa mereka
memerlukan prestise, gengsi dan status sosial. Sebagai contoh
gelar insinyur, doktorandus dll. yang diperoleh setelah selesai
sekolah. Tetapi juga gelar yang diperoleh setelah selesai
berhaji. Tidak demikian dengan orang yang memberi zakat: ia
tidak digelari Zaaki. Ia hanya kehilangan sebagian harta yang di
tangannya.
Juga karena langka penulis atau da'i yang mengupas dan
menganjurkan penunaiannya -- dengan segi segi yang betul betul
dapat membukakan hati para hartawan itu. Kurang populer. Bukan
mereka kurang mampu mengungkapkannya, tetapi karena pandangan
yang mengatakan "belum saatnya", karena tingkat keimanan yang
"belum mencapai tarafnya."
Zakat fitrah umumnya diurus suatu panitia insidentil yang khusus
dibentuk untuk itu. Dengannya kewajiban membayar itu mudah
penyalurannya. Untuk zakat mal agak sulit, karena tak adanya
pengurusan yang jelas. Setelah Presiden Suharto menyatakan
dirinya sebagai 'amil, ekornya terbentuklah BAZ (Badan Amil
Zakat). Badan setengah resmi itu kurang menarik. Pada umumnya
masyarakat was-was.
Dengan itu hartawan-hartawan ragu menyerahkan sebagian hartanya.
Atau hanya diserahkan kepada lembaga tertentu seperti panti
asuhan, yayasan sosial atau pendidikan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu lembaga yang dapat
dipercaya masyarakat, dan popularisasi zakat dengan mengingatkan
segi-segi sosial yang menyentuh hati si kaya, akan dapat
membantu terlaksananya.
Perlu para ekonom, alim ulama dan para entrepreneur mengurus dan
memikirkannya -- terutama merubah penerimaan yang langsung
dikonsumsi menjadi suatu yang dapat berproduksi. Tentu saja
perlu pemikiran lebih lanjut. Adalah tantangan !
AHMAD MUSLIM
Jalan Ganesa 7,
Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini