DI suatu ruang kelas yang sederhana, lagu Bintang Kecil ciptaan Ibu Sud dengan syair seperti di atas dinyanyikan dengan penuh semangat. Sekitar 30 anak kelas I SD Ciklapa 8, Cilacap, Jawa Tengah itu menyanyikannya sambil memegangi beberapa batang korek api. Kemudian bagai penyanyi operet, pak guru memberi pertanyaan dengan lagu anak-anak Satu Ditambah Satu, yang dipopulerkan penyanyi cilik Melisa. "Satu ditambah kosong," pak guru tadi menyanyi dengan nada bertanya. Para murid pun menyahut dengan bernyanyi pula, "sama dengan satu." Mereka bukannya belajar drama atau menyanyi. Anak-anak yang menjajar biji korek sambil menyanyi itu ternyata belajar Matematika. "Anak-anak senang bila diajak belajar dengan kotak lidi," kata Sutartib, Kepala SD Ciklapa 8. Begitulah cara para guru di sekolah itu membangkitkan gairah belajar. Dengan menggunakan lidi korek api, para guru bukan hanya mengajar hitung-menghitung. Mereka juga dapat mengajar menggambar, menulis, dan membaca. Cara mengajar yang khas itu disebut Metode Lidi Praktis atau disingkat Medis, ciptaan Sutartib. Selama ini, lidi baru dikenal sebagai alat peraga belajar menghitung. Oleh Sutartib, sejak tahun 1965, lidi dikembangkan sebagai alat bantu untuk pelajaran lainnya. Bentuk angka dan huruf dapat diperagakan. Para murid, selain mengenal bentuk, juga mampu menghitung jumlah batang korek api, yang dipakai untuk menyusun angka dan huruf. Para guru, dengan metode lidi itu, dapat menyelipkan berbagai segi mata pelajaran yang lain. Misalnya, ketika murid membuat bentuk bintang, guru langsung dapat memasukkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Ilmu Pengetahuan Alam. "Bukankah sila pertama Pancasila berlambang bintang? Atau menerangkan benda-benda di angkasa," kata Sutartib. Dengan metode itu, kata penciptanya, buku paket yang diwajibkan Pemrintah tak perlu lagi bagi siswa kelas I SD untuk catur wulan pertama. Sutartib tak berlebihan. Ia telah mengujinya pada 85 SD di Cilacap sejak Juni 1989. Dari hasil tes sumatif, terbukti bahwa metodenya lebih efektif dibanding metode SAS (structural analytic synthetic, metode belajar untuk anak), yang selama ini dipakai. Dengan metode SAS diperlukan waktu setahun untuk menguasai 24 lambang suara (huruf), 10 angk biasa, dan 10 angka Romawi. Padahal, dengan Medis hanya diperlukan empat bulan. Sementara itu, dengan metode SAS jumlah murid yang berhasil menguasai pelajaran rata-rata 60% dan dengan Medis sekitar 89%. Sutartib telah minta ijin kepada Departemen P dan K setempat agar metodenya dapat dipakai secara resmi. Usahanya tak siasia. Sejak dua tahun lalu, Medis boleh dipakai di Kecamatan Kedungrejo, Cilacap. Bahkan, Jumat pekan lalu, temuan guru yang hanya lulusan PGSLP itu mendapat rekomendasi dari Kepala Unit Pengembangan Sumber Belajar (UPSB) IKIP Yogyakarta untuk mendapatkan hak cipta dari Departemen P dan K. "Keinginan saya adalah memberikan ilmu saya buat dunia pendidikan," kata guru yang berpengalaman 27 tahun itu. Hak cipta atas temuannya, tampaknya, menjadi salah satu cita-cita guru itu. Untuk itu, guru sederhana, yang tinggal di desa tanpa listrik dan angkutan umum, merasa perlu meminjam uang beberapa juta dari bank. Ia butuh biaya untuk mencetak buku sebagai syarat mendapatkan hak cipta. G.Sugrahetty Dyan K. dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini