SATU nama lagi muncul dalam deretan tokoh yang dicalonkan
sebagai Wakil Presiden: Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Suatu
kelompok yang menamakan dirinya Generasi Muda Indonesia Asal
Irian Jaya Sewilayah DKI Jakarta dalam pernyataannya yang
disampaikan ke DPR 20 November lalu mengusulkan dua hal pada MPR
hasil Pemilu 1982.
Pertama, menetapkan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto
sebagai Presiden RI periode 1983-1988 dan sekaligus menerima
gelar Bapak Pembangunan Masyarakat Pancasila. Usul berikutnya:
"mengangkat dan menetapkan Bapak Jenderal Amirmachmud sebagai
Wakil Presiden RI Periode 1983-1988 dan sekaligus memberikan
gelar Bapak Pembangunan Daerah".
Mendagri Amirmachmud ternyata menyesalkan pemberitaan tentang
usul pencalonan itu. "Adanya pemberitaan tentang warga
masyarakat yang mencalonkan saya itu sama dengan membunuh saya.
Karena Pak Harto yang selama ini baik dengan saya bisa menjadi
tidak baik. Dan saya menjadi sulit," kata Mendagri dalam acara
rapat kerja antara Komisi II DPR dengan Mendagri/Ketua LPU Rabu
pekan lalu.
Menurut Amirmachmud, pencalonan Wapres hendaknya berpegang pada
prinsip sila Kemanusiaan dalam Pancasila. "Karena Pak Adam Malik
masih hidup, ada baiknya soal pencalonan Wapres tidak perlu
ribut-ribut," katanya. Apalagi MPR-lah yang kemudian menentukan
siapa yang pantas menduduki jabatan itu. Di samping itu Presiden
terpilih nantinya ikut menentukan siapa yang bakal
mendampinginya sebagai Wapres.
Berbeda dengan masalah calon Wapres yang belum pasti, Presiden
Soeharto makin pasti terpilih kembali sebagai presiden untuk
satu periode lagi. Dukungan demi dukungan makin ngalir. Serentak
dengan itu menggelinding pula dukungan pada usul agar MPR
nantinya memberi gelar Bapak Pembangunan Nasional pada Jenderal
Purnawirawan Soeharto.
Es Kopyor
Namun pekan lalu mendadak muncul suara lain. Datangnya dari
Wakil Ketua DPR/MPR Mashuri yang juga menjabat anggota Dewan
Pembina Pusat Golkar.
Kepada wartawan yang diundangnya ke ruangan kerjanya di DPR
pekan lalu, Mashuri menyatakan: usul pemberian gelar Bapak
Pembangunan kepada Presiden Soeharto agar direm atau dihentikan.
Dia khawatir masyarakat bisa bosan kalau usul pemberian gelar
itu dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang.
Bekas Menteri Penerangan itu mengambil contoh. "Kalau kita haus
lalu disuguhi satu gelas es kopyor, rasanya enak sekali. Tetapi
gelas kedua rasanya sudah berbeda. Apalagi gelas ketiga,
keempat, kelima dan seterusnya. Kita bukan saja bisa muak,
malahan bisa muntah," katanya.
Mashuri berpendapat, Presiden Soeharto sebetulnya tidak senang
dengan pemberian gelar itu. Ini disimpulkannya setelah
pertemuannya dengan Presiden di Bina Graha belum lama ini serta
setelah berbicara dengan "beberapa pejabat yang pernah berbicara
dengan Pak Harto"
"Saya sudah membicarakan masalah ini empat mata dengan Pak
Harto. Sebetulnya Pak Harto sendiri sungkan dengan pemberian
gelar itu. Jelas Pak Harto menolak memperoleh gelar itu. Tapi
karena Pak Harto itu orang Jawa, beliau tidak menolak
terang-terangan dan memakai cara yang nJawani, secara halus
saja," kata Mashuri.
Tapi pendapat Mashuri itu ada yang menyoal: kalau sudah
dinyatakan rakyat memang menghendaki, bisakah Pak Harto menolak?
Seperti juga kehendak untuk memilihnya kembali sebagai presiden
untuk periode 1983-1988?
Mashuri mengatakan, "Bagi Golkar, Pak Harto tidak ada masalah
lagi untuk dicalonkan." September yang lalu pimpinan Golkar
memang menyatakan dukungan itu--dan juga dukungan untuk gelar
"Bapak Pembangunan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini